Sorry, we couldn't find any article matching ''
Bentuk-bentuk Pelecehan Seksual di Sekitar Kita
Dari verbal hingga fisik, kadang kita tidak sadar saat mengalaminya sendiri.
Beberapa waktu lalu, kita dikagetkan oleh viralnya video yang memperlihatkan pegawai Starbucks mengintip bagian payudara pelanggan perempuan melalui rekaman CCTV. Kasus ini menuai tanggapan ramai di media sosial. Pihak manajemen gerai cepat bertindak dengan memecat pelaku dan memprosesnya secara hukum.
Sebetulnya, di luar kasus ini -yang kebetulan saja viral- kita sering sekali mendengar kasus pelecehan seksual. Di KRL, misalnya. Di angkot, atau di transportasi publik lain. Beberapa tahun silam, saya bahkan pernah mengalami, saat dalam perjalanan bersepeda. Seorang pria yang berdiri di pinggir jalan, entah gimana, tangannya meraih payudara saya. Kejadiannya sangat cepat.
Pelecehan seksual ini vulgar sekali terjadi di mana-mana. Bukan hanya mengintai di tempat-tempat sepi, tapi juga berani terang-terangan di tengah keramaian. Tidak ada takutnya. Para predator ini ada di mana-mana, mereka seperti elang yang siap ‘menyambar’ mangsa.
Makanya saya setuju banget kita perlu punya peraturan tegas dan berpihak pada korban kekerasan seksual, seperti Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS). Sungguh disayangkan, kalau legislatif kita malah hendak membatalkan pembahasan RUU PKS ini. Apa karena, kalau sampai lolos, maka DPR takut polisi akan sibuk menerima aduan kekerasan seksual, ya. Saking banyaknya.
Menyangkut kekerasan seksual, salah satu pasal dalam RUU PKS ini, menyatakan, "Kekerasan seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang, dan/atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang, dan/atau fungsi reproduksi, secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang, yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau relasi gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan/atau politik". Cakupannya termasuk pelecehan seksual dan eksploitasi seksual.
Bermula dari Iseng
Kembali ke kasus Starbucks, mereka (para pelaku ini) tidak sadar sedang mendokumentasikan kebodohan mereka sendiri. Pelecehan seksual dianggap hal yang sudah sangat biasa. Iseng, katanya. Perempuan memang rentan mengalami pelecehan, termasuk yang berbentuk verbal.
Secara tidak langsung, saat berhadapan dengan lawan jenis, cara berkomunikasi yang kurang pas bisa dianggap pelecehan. Misalnya, ada lawan jenis yang memuji kecantikan kita, radar perempuan kita bisa menangkap apakah cara bicaranya mengandung unsur godaan atau bukan. Mengandung pelecehan atau tidak. Seorang teman saya, yang berwajah jelita, pernah terang-terangan ditawar orang saat sedang makan di resto. “Tarifmu berapa?” tanyanya. Teman saya shock dengernya.
Salah Baju Atau Otak?
Pada kasus video karyawan Starbucks, tak sedikit tanggapan yang seolah menyalahkan baju yang dikenakan konsumen perempuan. “Siapa suruh pakai baju kebuka gitu.” Sering sekali, kita dengar argumentasi yang menyalahkan baju korban. Roknya kependekan lah, dadanya terlalu turun, baju tak berlengan, ketat, dan sebagainya. Pakai ini salah, pakai itu salah. Terus, ujung-ujungnya, perempuan yang diatur-atur pakaiannya.
Saya setuju, standar kesopanan atau dengan kata lain dresscode tetap harus diperhatikan. Misalnya, untuk situasi kerja, tentu ada kode atau aturan tersendiri. Begitupun, ke mal. Masa pakai baju tidur. Kalau mau yogaan atau fitness di studio, wajar-wajar saja cuma pakai sport bra dan legging. Atau, di kolam renang, ya pake baju renang. Menurut saya, itu yang namanya menempatkan diri. Saat naik angkutan umum, ya, saya akan kenakan baju yang nyaman, untuk berdesakan dengan banyak orang, tidak mengundang pencopet, juga yang tidak gampang tertiup angin.
Makanya, sebagai perempuan, kita harus waspada juga, saat ada lawan jenis matanya ‘lari’ ke dada atau bokong, atau bagian-bagian ‘intim’ tubuh.
Kelumpuhan Sementara
Jangan salahkan korban kalau mereka baru cerita suatu kejadian yang telah lama lewat. “Kok diem aja. Kenapa nggak langsung lapor?” Kenapa nggak melawan?” Kenapa nggak lari?” Teriak, dong!” dan sebagainya. Begitulah kira-kira pertanyaan-pertanyaan yang sering diajukan orang lain saat seseorang menceritakan pengalaman pelecehan seksual yang dialami. Tidak semudah itu, Ferguso!
Pengalaman saya sendiri, menjadi korban pelecehan seksual di KRL, beberapa tahun silam (maaf, saya tidak bisa cerita detailnya), saya baru sadar bahwa saya mengalaminya, beberapa jam kemudian. Pada saat kejadian, otak saya seperti lumpuh. Tidak mampu berpikir dan mencerna apa yang terjadi. Dalam kondisi kereta penuh sesak, boro-boro bisa geser. Gerak saja sulit.
Belakangan, saya baru tahu, ternyata ada penjelasannya. Pada korban yang mengalami kekerasan atau pelecehan seksual, dia bisa mengalami kelumpuhan sementara atau disebut tonic immobility. Hal ini merupakan reaksi alamiah tubuh saat seseorang merasakan suatu ketakutan. Otak tidak mampu merespons stimulasi apa pun yang diterima tubuh. Kelumpuhan sementara ini bersifat alami dan spontan.
Bahkan, ada peristiwa pemerkosaan di waktu kecil, yang baru disadari oleh korban setelah peristiwa tersebut berlalu belasan tahun kemudian. Jadi paham, kan, kenapa tidak semua kekerasan seksual itu bisa diproses hukum.
Quid Pro Quo
Pelecehan seksual juga banyak terjadi di tempat kerja. Seperti pada kasus skandal di Fox News dan produser film Hollywood Harvey Weinstein. Bentuk pelecehan seksual yang berkaitan dengan dunia profesi, dikenal juga sebagai quid-pro-quo, yakni ketika seseorang dengan kekuasaan institusional (atau dianggap berkuasa) menuntut sesuatu dari seseorang dengan kekuasaan yang relatif lebih rendah, sebagai imbalan atas kemajuan karier atau kenaikan pangkat, atau dengan ancaman pembalasan. Bisa antara atasan dengan bawahan, atau dengan klien di luar kantor. Di Indonesia gimana? Coba tanya bisik-bisik sama teman-teman kantor.
Kalau ada teman atau di sekitar kita ada yang mengalami salah satu bentuk pelecehan seksual, maka sebaiknya tidak kita diamkan saja. Akan lebih mudah apabila orang lain yang bersuara, sebab kondisi psikologis korban tidak selalu mudah untuk memperjuangkan nasibnya sendiri. Teman saya, contohnya. Sosoknya macho. Badannya kuat. Dia tipe yang blak-blakan, suaranya kenceng, galak, berani melabrak orang kalau haknya terganggu. Tapi giliran dia sendiri yang mengalami pelecehan seksual, dia juga tidak berkutik.
Kadang, kita perlu menawarkan diri terlebih dahulu, sebab, banyak juga korban yang sama sekali tidak mau dibantu untuk lapor, dan memilih tidak memperpanjang urusan. Terlalu kompleks, memang. Jadi, tidak semudah itu untuk bilang, speak up!
Baca:
Pelecehan Seksual pada Anak dan Remaja: Apa Saja Tanda-tanda Emosi, Perilaku, dan Fisik?
Lawan Pelecehan Seksual di Media Sosial dengan Cara Ini
Tujuh Hal yang Harus Diketahui Orangtua Mengenai Pelaku Pelecehan Seksual
Share Article
COMMENTS