Sorry, we couldn't find any article matching ''
6 Penyebab Kekerasan Seksual pada Perempuan Terus Terjadi di Indonesia
Kalau bisa memilih, tentu semua orang akan memilih tidak pernah mengalami tindak kejahatan, tindak pemerkosaan, ataupun kekerasan seksual. Tragedi kemanusiaan yang menghantui kaum perempuan.
Masih ingat tentang NF? Gadis remaja yang membunuh bocah berusia 6 tahun, yang tak lain tetangganya sendiri. Semua mengecamnya. Bahkan, sampai ada yang menghubung-hubungkannya dengan efek film dan game.
Kabar terbaru, dari Direktorat Jenderal Rehabilitasi Sosial Kementerian Sosial, dikatakan, NF merupakan korban kekerasan seksual dan kini tengah hamil 6 bulan. NF diperkosa oleh 3 orang yang berbeda. Mencelos rasanya hati ini mendengarnya. Kemalangan NF ini yang kadang membuat saya meratapi, masyarakat macam apa yang membiarkan kekejian semacam ini terjadi.
Kekerasan seksual terus saja terjadi. Secara statistik, jumlahnya terus bertambah. Komnas Perempuan mencatat, sepanjang 2019, terjadi 406.178 kasus kekerasan terhadap perempuan. Terbaru, kejadian di Lampung Timur. Anak korban perkosaan yang dititipkan di rumah aman Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A), malah kembali mengalami perkosaan yang dilakukan oleh Kepala UPT P2TP2A. Miris!
Bagi perempuan dewasa seumuran saya, saya yakin, tak sedikit dari kita yang pernah mengalami kekerasan seksual. Karena satu dan lain hal, tidak semuanya mau mengungkap.
Kenapa rantai kekerasan ini sulit diputus? Kalau merujuk dari UN Women, kekerasan seksual ini memang masalah global. Selama budaya pemerkosaan masih berakar, kasus-kasus tersebut akan sulit dihapuskan. Budaya atau lingkungan sosial yang masih membenarkan kontrol patriarki dan ketimpangan gender. Mari kita lihat, hal-hal di sekitar kita yang menjadi akar dari masalah kekerasan seksual ini atau disebut juga sebagai rape culture, kultur yang melanggengkan pemerkosaan dan pelecehan pada perempuan.
Mencurigai Feminisme. Dengan dalih agama, feminisme dituding sebagai produk Barat dan sudah kelewat batas. Misalnya, perempuan yang mengambil peran di publik, dituding menelantarkan anak. Sementara, suami yang kemudian berselingkuh karena istri ‘sibuk kerja’, dibenarkan tindakannya. Begitu juga, kalangan yang membenarkan poligami dan menganggap istri tidak punya hak untuk melarang suami menikah lagi.
Masih adanya miskonsepsi feminisme. Feminisme dianggap sebagai perang antara perempuan melawan pria. Feminisme adalah gerakan membenci dan menginjak-injak pria. Jika merunut dari Encyclopedia Britannica, feminisme berarti kepercayaan pada kesetaraan sosial, ekonomi, dan politik dari kedua jenis kelamin, yakni pria dan wanita. Kesetaraan, bukan sebagai sebuah perang gender, satu gender berkuasa atas yang lain. Jadi, bisa dikatakan, feminisme adalah tentang kesetaraan dan keadilan.
Menganggap Kekerasan Seksual adalah ‘Drama’. Masih ingat dengan kasus pelecehan seksual anak yang dilakukan oleh guru dan karyawan di JIS tahun 2014? Kasus ini diragukan dan dianggap penuh rekayasa. Lembaga Kontras menilai, dalam kasus ini tindakan polisi kurang hati-hati, tidak independent, dan memaksakan sebuah kasus dari bukti-bukti yang sangat lemah. Sampai sekarang, kebenarannya belum terang.
Betul bahwa di luar sana memang ada saja pihak-pihak yang mengungkapkan tuduhan palsu. Kesempatan ini yang sering dijadikan modus para pelaku atau predator seksual, yakni berusaha mengaburkan fakta, dengan menganggap bahwa dirinya adalah korban tuduhan palsu. Misalnya, belum lama, seorang alumni Universitas Islam Indonesia, dilaporkan oleh sebanyak 30 perempuan yang mengadu ke LBH Yogyakarta, yang mengaku menjadi korban atas tindak kekerasan seksual yang dilakukannya, selama periode 2016-2020 di Indonesia dan Australia. Terduga pelaku menyebut apa yang dituduhkan kepadanya sebagai "pembunuhan karakter".
Victim Blaming. Masih adanya sikap menyalahkan korban yang mengalami kekerasan seksual. “Salah sendiri pulang malam.” “Lihat saja, bajunya kebuka gitu.” “Lu sih, ikutan mabuk.” “Mau terkenal lewat segala cara.” “Ngefans, kali!” Ada narasi seolah-olah pihak korbanlah yang sengaja memancing terjadinya kekerasan seksual.
Misalnya, yang sedang rame, film Bombshell, yang mengangkat kasus kekerasan seksual yang dialami para presenter di Fox News, yang dilakukan oleh CEO-nya, Roger Ailes. Contoh lain, skandal yang dilakukan oleh produser film Hollywood, Harvey Weinstein, yang tak sedikit korbannya para aktris Hollywood terkenal.
Di kalangan yoga, ada juga skandal kekerasan seksual yang dilakukan oleh Bikram. Yang terakhir ini juga sudah difilmkan dengan judul Uncover Bikram. Padahal, katanya, “I am the most spiritual man.” Bikram menyanggah semua tuduhan atasnya, dan mengatakan, para perempuan itu yang tergila-gila padanya.
Stigma Maskulinitas. Kalangan pria yang mempraktikkan feminisme dalam kehidupan sehari-hari dipandang rendah. Penyebutan ‘suami-suami takut istri’, cengeng, lemah, dan tidak jantan, misalnya, disematkan kepada para suami yang mau melakukan pekerjaan domestik atau mengasuh anak. Dalam hal ini, ketidakadilan gender tidak hanya dialami oleh perempuan saja, tapi juga pria. Maskulinitas ini sangat berperan dalam kasus kekerasan seksual. Karena bagaimana pun, tindak pemerkosaan ataupun pelecehan seksual adalah masalah relasi kuasa, di mana pelaku ingin menunjukkan kekuasaan pada korban.
Sikap Pembiaran. Entah itu di WAG, FB, Twitter, kita pasti sering menemukan komentar yang bernada melecehkan. Saat joke-joke yang mengandung pelecehan seksual dibiarkan dan dianggap receh, atau malah ditertawakan, itu artinya kita sudah memberikan toleransi atau pembiaran terjadinya pelecehan dan kekerasan seksual. Komentar-komentar yang kelihatannya kecil, tapi kalau dipraktikkan sehari-hari, akan membawa dampak besar.
Baca juga:
Tugas Berat Ibu dari Anak Laki-Laki: Mengurangi Angka Kekerasan pada Perempuan!
Share Article
COMMENTS