Masa-masa bayi merupakan periode emas dari pengasuhan responsif, walaupun ia bukan dari darah daging kita sendiri.
Beberapa waktu sebelum pandemi, saat ketemuan dengan sahabat, ia sempat mengutarakan niatnya untuk mengadopsi anak. Setelah sepuluh tahun menikah, mereka belum juga dikaruniai anak. Sahabat saya ini malah sampai empat kali mengalami keguguran.
Antara sudah nyaman hidup berdua saja, namun masih menyimpan mimpi menggendong bayi sendiri, ia maju mundur dengan keputusannya. “Tapi, bisa nggak ya, adopsinya yang udah usia 3 tahun ke atas. Aku takut nggak bisa handle kalau masih terlalu bayi. Ditinggal-tinggal kerja. Rewel siang malam. Gimana, ya?” cemasnya. Dalam hati saya, ya kali, adopsi semudah memilih baju di olshop. Tinggal lihat katalog. Pilih, bawa pulang.
Bermacam-macam motif adopsi. Ada yang memang karena mengidam-idamkan anak, motif sosial, capek ditanya orang ‘kapan punya anak?’, maupun motif personal lainnya. Jujur, adopsi juga sempat masuk agenda saya, jika Tuhan mengizinkan.
Saya pribadi tak terlalu mencemaskan, akankah anak yang lahir bukan dari darah daging kita akan memiliki kedekatan yang sama dengan anak kandung. Baca-baca dari web babycenter.com, dalam membangun keterikatan dengan anak, baik adopsi maupun bukan, berlaku pola pengasuhan yang sama, yakni pengasuhan responsif.
Menurut Joanne Solchany, asisten dosen di Nursing and Infant Mental Health, Universitas Washington, pengasuhan responsif adalah kunci untuk hubungan yang aman dan penuh cinta. Kunci untuk membentuk keterikatan yang sehat dengan anak. Masa-masa bayi justru merupakan periode emas dari pengasuhan responsif. Lantas, seperti apa, sih, pengasuhan responsif menurut Joanne itu?
1. Berikan kepastian. Anak perlu tahu, kapan pun dia membutuhkan Anda, Anda pasti datang. Tanggapi segera setiap tangisan, teriakan, atau panggilannya, baik secara verbal maupun fisik.
2. Bersikap empatik. Cobalah untuk memahami apa yang ada dalam pikiran anak, “Kira-kira, dia lagi mikir apa sekarang?” "Kejadian seperti ini, kalau dari sudut pandang anak, seperti apa?” Jangan berasumsi anak punya pikiran yang sama dengan Anda.
3. Mengekspresikan emosi pada anak. Anak akan menangkap pancaran berbagai emosi Anda. Tanpa melihat pun, anak bisa merasakan atmosfernya. Jika anak sedang tersenyum saat berbicara dengan Anda, tunjukkan rasa senang Anda melihatnya tersenyum. Kalau anak menangis, ekspresikan bahwa Anda juga sedih. Bantu anak untuk memahami dan mengenali emosinya.
4. Jangan baper. Kalau anak sedang menolak untuk dipeluk, lari dari Anda, atau bahkan bilang, “Kami bukan ibuku!” Kalau kata Joanne, reaksi semacam ini bukan penolakan. “Ini adalah ekspresi ketakutan, kemarahan, frustrasi, teror, dan perasaan sulit lainnya. Kemampuan anak untuk mengekspresikan emosi belum sepenuhnya berkembang.”
5. Berinteraksi dengan bayi seperti teman. “Saat masuk ke kamar anak untuk membangunkannya, ajak ia bercakap-cakap,” saran Joanne. Ada benarnya sih. Bahkan sejak anak masih bayi, saya selalu mengajaknya bercakap-cakap dan memperlakukannya seperti layaknya ia teman dewasa. Bukan obyek yang harus diurus.
6. Berperilaku dengan anak seolah-olah dia telah bereaksi dengan cara yang Anda harapkan. Jika anak memalingkan kepalanya ketika Anda pulang kantor, berpura-puralah seolah dia menatap Anda, meraih Anda dengan tangan terbuka, dan tersenyum.
7. Pahami saat anak merasa bahwa dirinya adalah pusat perhatian. Ini adalah bagian dari fase tumbuh kembangnya. Sejak bayi, orang belajar untuk memuaskan kebutuhan APE (Attention, Power, dan Excitement). Jika yang didapatkannya adalah kemarahan dan kesedihan, APE yang didapatnya akan negatif. APE positif didapat dari cinta kasih dan pengalaman yang menyenangkan.
8. Lakukan kontak mata saat berkomunikasi dengan anak. Tidak sambil ‘multitasking’ lihat handphone atau laptop.
9. Saat anak tantrum, jangan ditinggal pergi. Tunggui sampai ia selesai. Perilaku ini akan mereda ketika anak belajar mengekspresikan dirinya lebih baik. Tanggapi dengan positif dan bantu ia mengungkapkan emosinya lewat validasi emosi. Anak yang tidak pernah tantrum juga perlu diwaspadai, bisa jadi ia tidak tahu bagaimana mengekspresikan kebutuhannya dan mungkin perlu bantuan Anda dalam belajar mengekspresikan perasaan yang sulit.
10. Buat ritual dan rutinitas. Jika anak tahu dan bisa memprediksi apa saja yang akan dilakukannya hari itu, stresnya akan berkurang.
Baca:
Kapan Saat Tepat Memberitahu Anak Jika Ia Diadopsi?
4 Film Sarat Pesan Parenting, Wajib Tonton untuk Para Orangtua
Ibu 5 Anak Ini Sumbangkan Rahim untuk Pasangan yang Berjuang untuk Punya Keturunan