Kemampuan memecahkan masalah memang bisa dilatih melalui kegiatan sehari-hari, tapi, bagaimana supaya anak terlatih dengan tepat?
Ngomongin soal problem solving, rasanya semua perkembangan yang anak lalui selalu akan berujung pada yang namanya kemampuan problem solving. Ya, secara, hidup itu sendiri, kan, memang tentang terus menerus memecahkan masalah!
Cara yang bisa kita lakukan untuk melatih kemampuan problem solving anak, tentu banyak sekali. Namun, kita perlu memahami cara yang tepat, supaya kitanya nggak kelewat ambisius padahal minim arahan, atau sebaliknya, kebablasan membantu, sampai anak jadi malah nggak bisa memecahkan masalahnya sendiri.
Problem solving merupakan serangkaian keterampilan yang mampu dilakukan oleh seorang anak dalam melihat, berpikir dan memahami dunianya. Termasuk juga kemampuan mengingat dan membuat keputusan. Rangkaian keterampilan ini sering dikenal dengan istilah keterampilan kognitif.
Tanpa latihan, sebetulnya bayi pun sudah mampu memecahkan masalah. Hal ini terbukti saat ia menangis setiap kali merasa lapar, mau digendong, mau tidur, bahkan ketika bangun. Masuk usia 1 tahun, anak mulai memperlihatkan kemandiriannya dalam memecahkan masalah, yaitu saat ia mengambil sendiri mainan pilihannya.
Busy board dengan kegiatan buka tutup kancing, ikat tali sepatu, buka kunci, sampai dengan menekan tombol.
Selain lewat permainan, kita juga bisa melakukan ini:
Di usia 12 bulan, berikan banyak arahan dan contoh, misalnya, sehabis main, rapikan dan kembalikan mainan ke tempatnya. Mulai usia 18 bulan, biarkan anak sesekali bermain sendiri dan tawarkan pilihan. Misalnya, saat ia minta dibacakan buku, respon dengan, “Kamu, ya, yang pilih bukunya!”. Dengan dibiasakan memilih dan bermain sendiri, di usia 3 tahun ke atas, anak akan mampu membuat kreasi dari mainan pilihannya sendiri.
Masuk usia 2 tahun, keinginan anak akan cenderung makin ajaib. Kalau dulu dikasih mainan saja dia bisa tenang, makin besar, nggak hanya minta mainan, tapi banyak embel-embel di belakangnya. Tentu keinginannya tersebut tidak bisa selamanya kita penuhi, ada kalanya, si kecil tetap harus memilih meski di antara kedua pilihan tersebut tidak ada yang sesuai dengan harapannya.
Bila sudah begini, berikan pilihan C, di mana ia tetap tidak akan mendapatkan “keinginan ajaibnya”, namun ada sesuatu yang baru dan berbeda dari pilihan sebelumnya, yang bisa mengalihkan perhatiannya sehingga membantunya merasa lebih baik.
Seorang life coach asal Amerika, Tami Green, dalam artikel ini, mengatakan bahwa, “Pada dasarnya, begitulah hidup. Ada yang namanya usaha, ada yang namanya kegagalan, dan ada yang namanya konsekuensi. Anak akan mengalaminya ketika ia dewasa, dan satu-satunya yang bisa ia lakukan adalah belajar dari kegagalan tersebut dan mencoba lagi.”
Baca juga:
Pertanyaan Tentang Edukasi Seks pada Anak yang Sering Membuat Orang tua Pusing
Saat Orang tua Berurusan dengan Polisi, Bagaimana Menjelaskan ke Anak?