banner-detik
SELF

Penderita Skizofrenia dan Hamil, Harus Bagaimana?

author

annisast06 Feb 2020

Penderita Skizofrenia dan Hamil, Harus Bagaimana?

Skizofrenia adalah gangguan mental yang mengakibatkan penderitanya halusinasi dan punya kekacauan berpikir. Bagaimana jika mereka hamil?

Dari Riset Kesehatan Dasar tahun 2018, dari 1000 rumah tangga di Indonesia, terdapat 6,7 anggota keluarga yang mengalami skizofrenia atau psikosis. Jumlah totalnya mencapai setengah juta orang.

overthinking, think, pikir, mental

Dari angka itu, 84,9% di antaranya sudah berobat namun yang minum obat secara rutin hanya 48,9%. Sisanya tidak minum obat karena merasa sudah sehat atau tidak mampu membeli obat secara rutin.

Saya bertanya-tanya, dengan jumlah penderita sebanyak itu, tentu banyak yang hamil atau punya anak. Saya pun mewawancarai dokter spesialis kejiwaan dari Klinik Angsamerah dr. Gina Anindyajati, SpKJ.

Dok, apa pernah menangani kasus perempuan penderita skizofrenia yang hamil? Umumkah penderita skizofrenia hamil?

Beberapa kali pernah merawat kasus kehamilan dengan gejala psikotik, termasuk yang diagnosisnya skizofrenia. Orang dengan skizofrenia (ODS) dapat hamil, baik yang statusnya menikah maupun tidak menikah. Kehamilan pada ODS pun ada yang sifatnya terencana dan ada yang tidak diharapkan.

Mengenai jumlah ODS yang menikah, saya tidak bisa memastikan jumlahnya. Yang jelas ODS pun memiliki hak untuk menikah dan mempunyai keturunan sebagaimana orang lainnya selama mereka memahami konsekuensi dari pernikahan serta tanggung jawab membesarkan anak.

Bagaimana penanganannya? Apa ada obat-obatan khusus yang diberikan untuk penderita skizofrenia yang sedang hamil?

Ada beberapa skenario yang dapat terjadi. Pertama ODS yang sudah dalam kondisi stabil (dengan maupun tanpa pengobatan) dapat merencanakan kehamilannya. Umumnya obat antipsikotika dihindari penggunaannya pada trimester pertama, karena mempertimbangkan kemungkinan efeknya bagi janin. Bila kehamilan berlangsung lancar, maka bisa saja tidak diperlukan pengobatan sama sekali.

Kedua, pada ODS yang rentan, gejala skizofrenia dapat muncul kembali saat hamil, sehingga membutuhkan pengobatan. Pemberian obat dapat dilakukan setelah trimester kedua dengan pilihan obat dan dosis sesuai anjuran dokter. Obat dapat diteruskan hingga trimester ketiga bahkan setelah persalinan jika ada indikasi. Selama kehamilan, kondisi ibu dan janin perlu dipantau untuk mengamati keefektifan obat serta efek samping yang mungkin timbul.

Apakah skizofrenia menurun sehingga anaknya nanti akan berisiko skizofrenia juga?

Gangguan jiwa, termasuk skizofrenia, dapat terjadi akibat interaksi faktor biologis, psikologis, dan sosial. Anak yang lahir dari ibu ODS memiliki kerentanan secara biologis, namun belum tentu nantinya mengalami skizofrenia.

Gangguan jiwa dapat diminimalkan risikonya dengan menjaga kondisi kesehatan ibu dan janin selama kehamilan, menjalani proses persalinan yang aman, memenuhi kebutuhan nutrisi sejak dalam kandungan hingga masa tumbuh kembang, serta mengembangkan daya tahan tubuh yang baik untuk mencegah infeksi yang dapat menyerang otak.

Hal lain yang dapat dilakukan untuk menurunkan kemungkinan seseorang mengalami skizofrenia adalah dengan menyediakan lingkungan yang aman bagi anak untuk berkembang, mencukupi dengan kasih sayang dan ikatan yang kuat antara orangtua dengan anaknya, menjalin komunikasi yang konsisten dan terjalin dua arah.

Dari riset Riset Kesehatan Dasar masih banyak penderita skizofrenia tidak dapat penanganan medis, hambatan utamanya di mana ya?

Penanganan bagi ODS, sebagaimana gangguan jiwa lainnya, bukan perkara yang sederhana selama masih ada stigma. Hambatan terbesar untuk mencari bantuan adalah stigma dan pemahaman yang kurang terhadap gangguan jiwa.

Anggapan bahwa gangguan jiwa adalah akibat kutukan, kurang beriman, “kiriman”, diguna-guna, dsb diyakini lebih kuat dibandingkan pemahaman bahwa skizofrenia merupakan suatu masalah medis. Dengan meyakini bahwa skizofrenia adalah akibat hal gaib, maka ada harapan yang lebih besar untuk menghilangkannya.

Sementara bila menganggap skizofrenia adalah suatu masalah medis, orang kemudian akan melabel dengan terminologi yang merendahkan serta muncul banyak kekhawatiran tentang pengobatan.

Masalah lain adalah tentang akses ke fasilitas kesehatan, kemampuan tenaga kesehatan untuk mengenali skizofrenia, dan ketaatan pengobatan. Skizofrenia merupakan penyakit kronis yang membutuhkan penanganan jangka panjang.

ODS dapat merasa bosan atau tidak perlu minum obat sehingga berisiko sering kambuh. Oleh karena itu, penting untuk memahami bahwa skizofrenia adalah gangguan yang daoat dikelola secara medis, dan berpotensi untuk pulih serta menjalani kehidupan seperti orang pada umumnya.

Wah, pencerahan sekali ya. Memang masih banyak PR untuk menganggap kesehatan jiwa ini sama dengan kesehatan fisik, supaya tidak dibiarkan dan tidak ditangani.

Baca juga:

Kenapa Kesehatan Mental Begitu Penting untuk Jadi Orangtua yang Lebih Baik

Sekadar Tingkah Laku Remaja Normal atau Tanda-Tanda Mental Illness?

9 Tanda Kita Terlalu Lama Mengabaikan Kesehatan Mental

Share Article

author

annisast

Ibu satu anak, Xylo (6 tahun) yang hobi menulis sejak SD. Working full time to keep her sanity.


COMMENTS


SISTER SITES SPOTLIGHT

synergy-error

Terjadi Kesalahan

Halaman tidak dapat ditampilkan

synergy-error

Terjadi Kesalahan

Halaman tidak dapat ditampilkan