Ditulis oleh: Ficky Yusrini
Anda ingin dikenang menjadi ibu seperti apa? Mulailah dengan membayangkan masa depan seperti apa.
Saya sering menemui teman-teman yang amat mengagumi ibundanya. Ibu sebagai panutan, sosok dengan pengorbanan yang luar biasa, kecantikan yang mengundang decak kagum, ataupun orang yang amat berjasa membentuk dan menggembleng karakter mereka menjadi seperti sekarang. Jujur, hubungan saya dengan ibu tidak ‘semegah’ itu. Tapi, saya tertarik untuk menceritakan sharing teman tentang ibunda mereka.
Seorang teman, dikirim sekolah ke Amerika Serikat sejak ia berusia 13 tahun. Tinggal jauh dan terpisah dari orangtua yang berdomisili di Indonesia. Bertahun-tahun tinggal di negeri Paman Sam, begitu lulus kuliah S2, ia memilih kembali ke Indonesia.
Lalu ia bercerita, baru sekarang bisa membayangkan betapa kuat ibunya dulu melepas anak demi pendidikan. Sekarang, ketika ia sudah menjadi ibu, saat anaknya menginjak usia 13 tahun, ia tak bisa melakukan hal yang sama. “Bahkan untuk melepas anak pergi summer camp selama seminggu saja ke luar kota, rasanya berat banget,” cerita teman ini.
(Baca: Untuk Kurangi Drama, Ini Saatnya Benahi Hubungan dengan Mama)
Saya juga mengenal baik bapak dan ibundanya. Menurut kedua orangtuanya, tujuan mereka dulu adalah memberikan pendidikan terbaik untuk anak-anaknya, agar anak bisa lebih mudah masuk kuliah di perguruan tinggi top di Amerika. Walaupun untuk itu, harus dibayar dengan keterpisahan jarak. Belum lagi, dana yang harus disiapkan, membuat orangtuanya -yang sebetulnya terbilang kelas menengah pas-pasan- harus mengencangkan ikat pinggang.
Ada pula, seorang selebritas sukses, berkisah tentang sosok ibunya. Sang ibu dikhianati oleh suami, berjuang keras membesarkan empat anak sendirian dengan bekerja serabutan. Setiap kali ia sedang kesal dengan mamanya, ia akan ingat, betapa dulu ibunya bekerja keras untuk mereka.
“Setiap hari mama akan bersepeda mengantarkan rantang makan siang ke sekolah untuk saya dan adik-adik. Pernah, suatu kali mama kecelakaan dan jatuh dari sepeda. Dalam keadaan luka-luka, ia tetap membawa rantang dengan makanan yang masih bisa diselamatkan untuk diberikan pada kami,” cerita sesembak seleb ini.
(Baca: Pesan Untuk Anak Mama yang (Mungkin) Ingin Ikut Demo)
Menjadi seorang ibu tidak ada sekolahnya maupun rumus yang baku. Kita juga tidak bisa menyontek ‘rumus’ teman tentang pola asuh seperti apa yang ia terapkan di rumah. Semua kembali pada keputusan pribadi. Meminjam istilah Stephen R.Covey, penulis The 7 Habits of Highly Effective People, untuk merumuskan tujuan, kita bisa lakukan dengan ‘Begin with the End in Mind’.
Sama halnya dengan pertanyaan yang sering kita terima sewaktu kecil, “Kalau sudah besar nanti mau jadi apa?” Hal yang sama sesungguhnya bisa kita terapkan dalam konteks menjadi ibu. Setelah kelahiran seorang anak, otomatis Anda adalah seorang ibu. Lalu, ajukan pada diri Anda sendiri, sebuah pertanyaan, “Anda nanti ingin dikenang jadi ibu seperti apa?”
Begin with the End in Mind adalah mendasarkan pola asuh yang ingin kita terapkan lewat berimajinasi. Apa yang ada dalam benak Anda saat ini. Menurut Covey, ibarat sebuah rumah, dibangun berdasarkan blueprint atau cetak biru yang sudah dibuat. Jika Anda tidak melakukan upaya sadar untuk memvisualisasikan siapa Anda dan apa yang Anda inginkan dalam hidup, maka Anda membiarkan orang lain untuk membentuk Anda dan menentukan hidup Anda.
(Baca: Surat untuk Anak Laki-lakiku: Tak Perlu Malu Menjadi Anak Mama)
Di masa depan, kehidupan seperti apa yang Anda bayangkan? Anak-anak menjadi orang sukses dan berkelimpahan materi sehingga bisa membahagiakan orangtua? Anak-anak menjadi orang yang supersibuk sehingga tak punya waktu untuk menengok orangtua? Anak-anak menjadi orang yang hormat pada orangtua?
Bayangan-bayangan itulah yang akan menentukan setiap keputusan hidup Anda. Sebab, seperti kata Covey, Anda lah yang menciptakan nasib Anda sendiri dan bisa mewujudkan masa depan yang Anda impikan. Seperti yang disampaikan Ellen Kristie, penulis buku Cinta yang Berpikir, “Jika yang Anda kejar adalah penilaian orang lain atau apa yang bagus di mata orang lain, maka bisa jadi Anda sedang menyandarkan tangga pada tembok yang salah. Jika yang Anda kejar adalah materi, mengejar uang mau sampai seberapa? Naik pangkat mau sampai setinggi apa?”
Dalam merumuskan tujuan pribadi, Ellen memberi saran, sebaiknya kita tidak menyandarkan tujuan pada kebahagiaan ataupun materi semata. “Bahagia belum tentu hidupnya berkualitas. Begitu juga prestise atau materi, suatu saat bisa menjadi bumerang. Sebagai ibu, kita bertumbuh untuk mengabdi pada sesuatu yang lebih besar daripada dirimu sendiri,” tutur Ellen.