Suatu hari di meja makan siang kantor Female Daily Network, pembicaraannya terasa mellow sekali. Topiknya umum: Ego orang tua.
Saya mikirin ini banget lho: Ilmu parenting yang berkembang atau memang manusia berevolusi sehingga semakin memikirkan segala hal sedetail-detailnya termasuk soal anak?
Sebabnya orang tua zaman dulu (baik orang tua kita sendiri atau bahkan nenek kakek kita) sepertinya membesarkan anak hanya bermodal bagaimana mereka dibesarkan dulu. Kalau saya diperlakukan ortu seperti itu maka saya akan memperlakukan anak hal yang sama.
Tidak peduli ortu dulu itu salah atau benar, saya orang tua, saya lebih tua dari anak saya maka saya benar. Dulu juga sama, mereka orang tua, mereka lebih tua dari saya yang anaknya maka mereka benar. Titik.
Ego orang tua.
Satu di antara teman saya itu bahkan ayahnya sudah pake dead card. Alias kalau salah langsung bilang “papa tuh udah tua, dikit lagi mati, kok kamu nggak mau nurut”. Padahal umur anaknya udah 23 tahun, udah bisa lah menentukan jalan hidupnya sendiri. Ini contoh orang tua yang tidak pakai akal sehat dan tidak bisa move on dari anaknya bayi.
(Baca: Saat Anak Mengaku Gay, Bagaimana Reaksi Kita Sebagai Orang tua?)
Padahal peran orang tua kan berbeda di tiap tahapan usia. Sampai usia pre teen perannya masih mengarahkan dan menentukan benar salah. Di usia remaja perannya sudah jadi coach, hanya memberi saran tapi tidak boleh baper kalau tidak diterima. Di usia dewasa, perannya hanya konsultan, kalau tidak ditanya ya tidak perlu memberi nasihat. Kan tujuan membesarkan anak itu agar mandiri, ini sudah mandiri kok ya masih saja diatur ini itu?
Ego orang tua ini padahal bisa dengan mudah dikalahkan dengan akal sehat. Conscious parenting bahasa kerennya, parenting dengan sadar. Parenting dengan sepenuhnya memikirkan sebab akibat, parenting dengan seluruhnya sadar bahwa meski kita lebih tua belum tentu kita benar. Kita tidak mungkin 100% benar karena manusia memang selalu punya celah untuk salah.
Hanya karena kita sudah berusia 20-30 tahun lebih tua, bukan berarti kita yang akan paling tahu soal anak. Anak adalah individu sendiri, gen boleh berbagi tapi ia punya pemikiran yang boleh berbeda dengan kita dan itu tidak apa-apa, sepanjang bisa saling menghargai.
(Baca: Begini Cara Menghadapi Orang Tua dengan Post-Power Syndrome)
Anak kita bukan kita, tapi bisa dipakaikah akal sehat kita untuk memahami itu?
Anak memang lahir dari rahim kita tapi sesungguhnya dia berhak atas hidupnya sendiri. Betul orang tua mengarahkan, tapi bukan memaksa apalagi tanpa mempertimbakan perasaan si anak. Tidak peduli anak sedih atau kecewa.
Jadi mari berlatih menggunakan akal sehat. Berlatih untuk berhenti dulu sesaat sebelum mengambil keputusan untuk anak. Berlatih memikirkan apa yang anak rasakan kalau saya memaksakan hal ini? Apa yang anak rasakan tentang saya kalau saya sebagai ibunya tidak mempertimbangkan perasaan anak saya?
Mari jadi orang tua yang menghentikan lingkaran setan turun temurun atas ego orang tua.