Kata seorang ahli sejarah Steven Mintz Ph.D, ada empat sumber masalah kenapa pernikahan itu memang menantang untuk dijalankan, jadi jangan melulu menyalahkan diri sendiri ketika pernikahan mommies sedang dirundung masalah.
Menurut saya menikah itu bukan pencapaian hidup, tapi pilihan yang menempatkan kita ke kehidupan yang punya level kesulitan lebih tinggi. Hal senada juga saya temui dari pernyataan Steven Mintz Ph.D, professor sejarah dari Universitas Texas di Austin dan Direktur Eksekutif Institut Sistem Pembelajaran Transformasional Universitas Texas. Kata Steven kesulitan tersebut bersumber dari empat hal:
Masih ada anggapan yang beredar di masyarakat, perempuan lah yang membuat pernikahan mampu berjalan baik-baik saja. Misalnya, yang saya pernah saya temukan di sekeliling, karena satu dan banyak hal, istri berkorban resign dari pekerjaan, untuk menjaga anak di rumah. Sementara selama hal ini berlangsung, ada ketegangan yang terjadi, dan terlalu berat ditanggung si individu – merasa masih ada tanggung jawab untuk aktualisasi diri. Daripada hanya mengandalkan kebahagiaan dari pernikahan.
Atau sebaliknya, aktualisasi diri juga bisa terjadi pada si ayah. Merasa perjalanan kariernya kurang mumpuni, untuk merealisasikan mimpi-mimpi keluarganya. Sementara di sisi lain harus menjaga kualitas waktu dengan istri dan anak.
Kecenderungan yang terjadi ketika kita bicara soal pernikahan, adalah ikatan emosional dua orang yang berbeda latar belakang. Atau soal menciptakan suasana rumah yang aman untuk anak-anak bertumbuh.
Tapiii, coba sempatkan lihat lebih dalam, dan seperti yang sudah terjadi berabad-abad lamanya, pernikahan adalah tentang menciptakan pondasi ekonomi yang kuat. Untuk memenuhi kebutuhan semua anggota keluarga dan pencapaian keluarga di tataran investasi. Poinnya jangan sampai gaya hidup melebihi kemampuan finansial kita.
Tidak ada konsep hubungan yang bebas konflik, setuju ya sampai sini mommies? Apalagi sebuah pernikahan yang melibatkan banyak sekali keputusan. Mulai dari soal pengasuhan anak, keuangan, seks, dan lain-lain. Sanking seringnya keputusan-keputusan tadi dibuat, sering kali berdampak romantisme suami istri memudar.
Harapan setiap pasangan pada pernikahan kian melambung, tapi di sisi ada sesuatu yang tidak diurus dengan baik. Hubungan antara pasutri itu sendiri. Kata Steven, seiring waktu pernikahan tumbuh menjadi ikatan emosional. Selama 5 tahun menikah, ini juga yang saya rasakan. Jika kita sudah merasa ada masalah dalam pernikahan, jangan pernah ragu untuk mencari bantuan, misalnya ke psikolog pernikahan. Mengelola harapan, dengan memperkuat pondasi ikatan emosional antar suami istri.
Artikel ini diadaptasi dari www.psychologytoday.com