Jadi Orangtua Jangan Seperti Pemadam Kebakaran

Parenting & Kids

adiesty・07 Aug 2017

detail-thumb

“Orangtua itu sering seperti pemadam kebakaran. Saat terjadi sesuatu sama anak baru panik dan bertindak. Padahal itu kan itu anaknya sendiri.... ” ungkap Mbak Najellaa Shihab.

‘Ketampar’ banget, nggak sih, dengan apa yang dikatakan Mbak Najella Shihab ini? Kalau saya sih, iya. Karena saya sadar, meskipun saya paham kalau setelah jadi orangtua harus lebih bisa memperhitungkan segalanya, tapi dalam praktiknya saya cukup sering jadi ‘pemadam kebakaran’. Baru bertindak ketika sudah terjadi apa-apa. Apalagi saya dikenal sebagai orang yang santai :D.

Terlambat? Ya, pasti, sih.

Setelah ketemu mbak Ellaa, saya jadi berasa diingatkan kalau sebagai orangtua sudah waktunya segala sesuatu harus lebih penuh perhitungan dan terencana. Kalau kata suami saya, “Setelah jadi orangtua, mau nggak mau memang bikin kita harus penuh perhitungan. Bukan cuma terkait persoalan finansial. Tapi, semua langkah, semua tindakan, dan segala perbuatan harus diperhitungkan dan direncanakan. Karena apapun efeknya, itu akan memengaruhi hidup keluarga”.

orangtua jangan seperti pemadam kebakaran-mommiesdaily

Dalam hal ini Mbak Najellaa Shihab mengatakan agar tidak menjadi ‘pemadam kebakaran’, baru panik jika terjadi sesuaitu pada anak kita, maka ada hal penting yang perlukita pahami lebih dulu. Yaitu bagaimana perlunya orangtua memahami tahapan perkembangan sesuai usia anak. Dengan begitu, kita sebagai orangtua jadi bisa tahu apakah apakah perilaku anak di usianya wajar atau tidak.

Kita perlu tahu dulu, bagaimana sih sebenarnya perilaku sesuai tahapan perkembangan anak? Seperti apa saja? Orangtua juga perlu tahu lebih dulu, bagaimana tantangan berikutnya. Misalnya, saat anak usia anak 8 tahun, biasanya mereka jadi lebih mudah berkonflik.  Kalau anak 8 tahun juga biasanya sudah mulai senang punya geng. Jadi apa yang harus dilakukan orangtua? Orangtua jadi perlu belajar untuk lebih bisa mendengarkan anak. Kalau mengadu, bagaimana menyikapi konflik anak,” ungkap Mbak Najellaa.

Baca juga : Masih SD Kok Sudah Bikin Geng

“Jika orangtua sudah paham tahapan perkembangan anak, orangtua jadi bisa responsif, dan tahu bagaimana memberikan respon yang tepat,” tegas Mbak Ella lagi.

Penggagas Komunitas Keluarga Kita ini pun menambahkan, “Sayangnya, kebanyakan orangtua itu sering terkaget-kaget. Kok, begini… kok, anak saya seperti itu, ya? Padahal itu kan anak kita sendiri. Nah, kalau kita sudah bisa sensitif dan responsif sebenarnya bisa memengaruhi lingkungan juga, jadi bisa menciptakan pengalaman belajar yang beragam untuk anak”.

Ah, saya jadi ingat ketika usia anak saya 6 tahun, kepala saya sering banget tiba-tiba pening melihat polah Bumi. Anak saya ini tiba-tiba jadi susah sekali buat diajak ngobrol dan diskusi. Kalau sudah maunya, ya, maunya. Padahal sebelumnya nggak seperti ini. Akhirnya saya pun mencoba mencari tahu apa saja tahapan perkembangan sosial emosional anak usia 6 tahun. Salah satu poin yang saya temukan ternyata anak usia  6 tahun ini memang masanya egosentris. Mereka hanya melihat sesuatu untuk kepentingannya sendiri. Nah, kan… Bumi banget, nih! Hahahahaa.

Selain itu anak usia 6 tahun juga sering mengalami perubahan emosi yang mendadak, sebentar mau berteman sebentar lagi musuhan. Hahahaha…. jadi inget, suatu hari Bumi curhat kalau dia merasa kesel dengan temannya. Tapi yang lebih sering, sih, Bumi kesel sama Ibu dan Bapaknya sendiri. Bilang nggak mau ngomong dan temenan sama Ibu dan Bapak selama setahun. Tapi 10 menit kemudian juga udah lupa dan ngobrol seperti biasa.

Selain perlu memahami proses tahapan perkembangan sesuai usia anak, Mbak Ella juga mengingatkan bahwa orangtua perlu memberikan fasilitas dan menciptakan lingkungan yang membantu perkembangan sosial dan emosional anak. Dan ingat, lho, ternyata kecerdasan emosi itu bisa menular.

Baca juga : Membentuk Anak Tangguh Secara Emosi

Misalnya, berhubung anak saya sampai saat ini masih belum punya adik, otomatis membuatnya jarang berinteraksi dengan anak kecil. Maka salah satu tugas yang perlu saya lakukan adalah perlu mencari lingkungan di mana anak saya bisa belajar. Misalnya ajak bermain ke tetangga yang memang usianya masih di bawah Bumi. “Dengan tahu tahapan perkembangan tersebut kita jadi bisa tahu langkah apa yang bisa kita lakukan dan memberikan fasilitas pada anak,” ucap Mbak Ella lagi.

Jadi, nggak cuma buat urusan finansial dan kesehatan aja yang perlu sedia payung sebelum hujan, tapi memahami perilaku anak dan tumbuh kembang anak juga harus dilakukan dengan penuh persiapan :D.