Setiap orang pasti pernah merasa cemas, tapi bagaimana jika si kecil yang gampang cemas? Sebenarnya hal ini wajar nggak, sih? Jangan-jangan sudah masuk dalam kategori gangguan psikologi. Duuh....
Anak saya, Bumi, bisa dibilang gampang cemas. Dikit-dikit cemas, saya sempat berpikir, jangan-jangan kondisi ini 'turun' dari bapaknya yang memang termasuk pemikir berat. Apa-apa mikirnya jauh banget, beda jauh dengan saya yang cenderung santai :D
Sepengetahuan saya, ada beragam teori psikologi yang mengatakan kalau salah satu sebab anak mengalami kecemasan karena faktor neurobiologis dan faktor genetik. Orang tua yang pencemas cenderung akan ‘menularkan’ kebiasaan yang sama juga pada anak-anaknya. Makanya, ibu hamil sebaiknya tidak perlu cemas berlebihan. Kalau perlu, nggak usah deh menggali informasi tentang risiko kehamilan menyeramkan yang malah bikin parno. Lebih baik pahami mana yang fakta dan mitos soal kehamilan.
Balik lagi ke masalah anak saya yang gampang cemas, salah satu contoh yang bisa saya gambarkan adalah ketika sedang membaca salah satu buku favoritnya, Why, soal bencana alam, dan gejala alam seperti petir, anak saya ini malah jadi parno sendiri. Setelah membaca, dia sampat bilang, "Kalau kita jalan-jalan ke pantai nanti bisa terjadi tsunami dong, Bu? Bumi nggak mau jalan-jalan ke pantai, ah". Contoh lainnya, minggu ini anak saya sedang menjalankan formatif atau ulangan, saat belajar bersama, anak saya juga ngomong, "Bu, kalau nilai aku jelek gimana? Bumi nggak bisa naik kelas, ya?".
Begitu mendengar dan mengetahui rasa cemas yang dirasakan, otomatis saya langsung berusaha untuk menenangkannya. Masalah tsunami, saya bilang kalau bencana alam seperti itu sebenarnya sudah ada tanda-tandanya lebih dulu sehingga kita bisa lebih waspada dan punya kesempatan untuk menghindarinya. Sementara masalah nilai ulangan yang tidak bagus sehingga membuat tidak naik kelas, saya pun langsung bilang, “Yang lebih penting sekarang Mas Bumi mengulang pelajaran aja dulu, berusaha sebaiknya saat mengerjakan soal”.
Terus terang saja saya dan suami sempat bingung dan bertanya-tanya, apa sebabnya anak 6 tahun punya rasa cemas seperti ini? Sebenarnya cemas anak seperti ini wajar nggak, sih? Ya, sebagai orang tua, saya dan suami tentu saja nggak ingin hal ini malah jadi ‘pengganjal’ dan menyebabkan anak kami Bumi, sulit ‘bergerak’ lantaran rasa khawatirnya.
Saya pun akhirnya bertanya pada Mbak Vera Itabiliana Hadiwidjojo selaku psikolog anak, ternyata menurut Mbak Vera orang tua nggak perlu ikutan khawatir dengan kondisi seperti ini. Soalnya, perasaan cemas atau khawatir yang dirasakan anak memang sangat wajar terjadi. “Semakin besar anak, maka pemahamannya akan sumber ketakutan atau rasa khawatir memang jadi beragam. Kemampuan kognitifnya kan juga berkembang sehingga dia lebih memahami banyak hal yang bisa jadi sumber bahaya,” terang Mbak Vera.
Lagipula, bukankah rasa cemas memang bisa dialami setiap orang? Tidak hanya orang dewasa yang bisa merasakannya, anak-anak pun bisa. Bahkan, sebenarnya rasa cemas sudah dirasakan sejak bayi. Contohnya, nih, ketika popok jauh atau memang saat berjauhan dengan ibunya, seorang anak akan merasa cemas dan butuh rasa aman dan nyaman. Termasuk ketika seorang anak baru masuk sekolah, melihat orangtua bertangkar, ataupun sedang ujian. Artinya, rasa cemas sangat manusiawi.
Namun, mesti dipahami juga bahwa rasa cemas dalam batas normal adalah saat anak tidak terlalu lama memikirkannya. Jadi, berlangsungnya nggak sampai berhari-hari atau berbulan-bulan. Apalagi setelah orang tua mencoba memberikan penjelasan yang bisa dipahami anak. Soalnya, kecemasan yang normal ini apabila seseorang bisa segera mengatasi atau mengalihkan rasa khawatirnya dengan sikap yang positif. Menurut saya, penting sekali memahami kapan gangguan kecemasan perlu diwaspadai.
Saya pun bertanya pada Mbak Vera, bagaimana cara memberikan pengertian dan mendorong seorang anak supaya dia tidak perlu terlalu khawatir sehingga dapat menghambat perkembangannya?
Yang pertama, orangtua perlu lebih hati- lagi dalam memberikan konten bacaan atau tontonan. Hindari yang terlalu menyeramkan untuk usia si anak.
Kedua, biasanya ketakutan muncul terhadap sesuatu yang kita tidak tahu atau tidak bisa dikendalikan. Jadi ajak anak untuk cari tahu lebih dalam lagi tentang hal yang ia takuti. Sehingga dengan semakin tahu, semakin kenal, anak semakin bisa meminimalkan rasa takutnya.
“Misalnya cari tahu lebih banyak di daerah mana saja tsunami lebih sering terjadi. Ketika anak membentuk suatu pemahaman sendiri, jangan paksakan anak untuk memahami seperti apa yang dipahami orang dewasa. Misalnya karena di Jepang banyak tsunami, jadi takut ke Jepang. Tidak apa membiarkan dulu seperti ini. Toh, dengan pertambahan usia, anak akan lebih paham dan membentuk pemikiran baru lagi asalkan anak tidak ditakuti,” pungkas Mbak Vera.
Fiiiuhh... setelah mendengar penjelasan Mbak Vera, saya jadi bisa bernapas lega. Setidaknya, setelah membuat check list, memang rasa khawatir Bumi memang masih sangat wajar, tidak masuk kategori anak-anak yang mengalami stress atau depresi. Lho, ini sebenarnya yang gampang khawatir saya apa Bumi, ya? :D