Saya rasa kita semua sudah sangat familiar dengan istilah baby blues, tapi bagaimana dengan post partum depression?
Beberapa waktu lalu timeline FB saya berseliweran sebuah artikel sebuah blog yang membahas mengenai post partum depression. Sebuah gangguan yang terjadi secara emosional pada ibu yang baru saja melahirkan dan ditandai dengan beberapa masalah seperti marah, mudah cepat lelah, terjadi gangguan makan, hingga hilangnya libido. Dalam tulisan tersebut mengambarkan situasi emosional seorang ibu yang benar-benar merasa depresi setelah punya anak.
Lho, kok? Depresi? Ketika banyak pasangan yang sangat berharap segera memiliki keturunan, di antara banyaknya pasangan yang sangat bahagia menimang buah hati yang baru lahir ke dunia, ternyata ada juga seorang ibu yang merasa sebaliknya.
Stress dan jusru memiliki rasa khawatir yang berlebihan. Hari-hari yang idealnya diisi dengan tawa ceria malah berubah digantikan dengan derai air mata karena rasa cemas. Parahnya lagi, ternyata kondisi post partum depression ini menyebabkan adanya pikiran untuk mengakhiri hidupnya sendiri atau bayinya. Duh....
Membaca artikel tersebut, jelas membuat saya merinding sekaligus sedih. Tidak pernah terbayang bagaimana jika saya yang berada dalam posisi tersebut. Dan kondisi ini ternyata merupakan perkembangan yang lebih serius dari pada 'drama' baby blues.
Saya sendiri sempat membahas masalah ini dengan Putri Langka, pengajar serta Pembantu Dekan II Fakultas Psikologi Universitas Pancasila menjelaskan , “Baby blues bisa diartikan sebagai perubahan perasaan, emosi atau mood yang begitu cepat saat bayi baru lahir. Kondisi yang lebih parahnya disebut dengan post partum depression”.
Dan ternyata, bentuk dari post partum depression merupakan gelaja emosi yang paling kronis yang bisa terjadi pada siapapun. Bahkan sama seperti baby blues yang bisa dialami para suami, postpartum depression juga demikian. Ya, meskipun skalanya masih terbilang kecil yaitu 10 % saja.
Perubahan kondisi emosi pasca melahirkan bisa terjadi dalam skala yang kecil atau ringan, biasanya terjadi pada minggu pertama dan hanya berlangsung hanya beberapa hari saja. Sementara perubahan suasana hati berikutnya adalah istilah baby blues yang familiar kita dengar. Biasanya, sih, ditandai dengan kondisi si ibu yang mudah sekali menangis, mudah marah, susah tidur, bahkan susah untuk konsentrasi. Namun untuk baby blues, biasanya gejalanya bisa diminimalisir bahkan dihilangkan apabila sang ibu punya waktu yang cukup untuk beristirahat.
Nah, bentuk perubahan suasana hati yang lebih parah dikenal dengan postpartum depression atau chronic depressive syndrome. Konon, 20% dari keseluruhan persalinan bisa mengalaminya. Biasanya, gejalanya tentu saja lebih parah dari baby blues. Ditandai dengan perasaan emosi yang sangat cepat, mulai dari menangis, merasa nggak PD sudah jadi ibu, rasa cemas yang berlebihan, mudah lelah, bahkan tidak sedikit akhirnya perubahan emosinya ini layaknya orang gila.
Bisa terbayang, ya, apabila kondisi seperti itu menimpa keluarga, sahabat atau bahkan diri kita sendiri? Oleh karena itu, saya sangat percaya kalau dukungan orang terdekat, khususnya suami punya peran yang sangat penting. Persis seperti pesan yang disampaikan dalam blog http://www.sujiwo.com/ yang mengajak para suami untuk lebih peduli pada perubahan istri, agar suami menjadi super support system.
Sang penulis, Topan Pramukti menuliskan, “Saya mohon, dengan sangat, kalau sampai itu terjadi, tetaplah di sana. Tetaplah di sisi perempuan yang kalian ikat dengan janji suci, peluk dia, dan ikutlah berjuang. Bertahanlah, wahai para Ayah.. Saya bersumpah atas nama Tuhan, bahwa postpartum depression bukanlah hal yang mudah untuk dilewati sendirian. Perempuan yang memelukmu sambil berurai air mata, benar-benar butuh pertolongan.”
Seperti yang diungkapkan Putri Langka, meskipun gangguan ini nampaknya cukup jamak dialami pasangan yang baru memiliki anak, namun jika dibiarkan berlarut, tentu akan memberikan efek buruk pada perkembangan anak bahkan keutuhan rumah tangga. Faktanya, postpartum depression ini memengaruhi sekitar 80% dari semua ibu baru dalam beberapa minggu pasca melahirkan.
Untuk itulah, lulusan S2 (Profesi Klinis Dewasa) Universitas Indonesia menyarankan agar semua pasangan untuk mempersiapkan diri terlebih dahulu sebelum memutuskan untuk memiliki anak. Karena pernikahan nggak cuma perlu menyiapkan dana saja, tapi juga harus siap mental dan fisik. Dengan begitu kondisi postpartum depression dapat dihindari atau paling nggak diminimalisir.
Selain itu, cara mencegahnya bisa dimulai dengan mengenali risiko yang membuat kita mudah stress dan memenuhi kebutuhan istirahat dan mengonsumsi makanan yang membuat suasana hati lebih rileks. Oh, ya, satu hal yang nggak kalah penting adalah mendapat dukungan sosial. Dengan mendapatkan banyak informasi dan sharing pengalaman dengan Mommies yang lain lewat forum juga cukup efektif, lho.