Ditulis oleh: Kurnia Midiasih
Pernah merasakan stress-nya mengajarkan anak membaca? Tenang, karena stress yang satu ini bentuknya berjamaah alias banyak banget orangtua yang mengalaminya. Supaya tidak keterusan stresnya, simak tipnya berikut ini.
Anak pertama saya bernama Jingga. Umurnya sekarang tujuh tahun dan sudah kelas dua SD. Saya sangat bersyukur bahwa saya termasuk orangtua yang cukup beruntung. Beberapa teman mengeluh kalau anaknya sulit sekali diajari membaca. Tetapi saya tidak. Jingga cukup cepat belajar membaca dan tidak terlalu membuat saya stres. Jadi, maaf ya mom, mungkin kadar stress saya berbeda dengan mommies, hehehe.
Setelah diingat-ingat, ternyata ada beberapa hal yang mempengaruhi kenapa Jingga (dan mungkin banyak anak lainnya) tidak mengalami banyak kesulitan untuk mulai belajar membaca.
*Gambar dari sini
Sejak masih bayi, saya sudah membacakan Jingga buku cerita. Kami membaca bersama kapan pun kami suka (tidak harus sebelum tidur), meski dia hanya bisa melihat gambar-gambarnya, tentu saja, karena saya tahu tidak baik memaksa anak untuk membaca dan ada usia tertentu untuk anak sudah boleh diajarkan membaca. Namun saat membaca bersama, kami memegang buku bersama, dia telah terbiasa melihat huruf-huruf. Sampai dia balita dan akhirnya masuk TK lalu mulai dikenalkan pada huruf, dia telah terbiasa dengan huruf-huruf tersebut. Ini membuatnya tidak asing lagi dan membaca atau mengeluarkan bunyi huruf hanya seperti langkah selanjutnya dari sekadar melihat.
Anak suka permainan bunyi, percayalah. Saat Anda membaca bersamanya, mainkan nada dan bunyi setiap kata sesuai konteks cerita. Hal ini akan membuat anak tertarik untuk menirunya. Misal kata “hore” tentu berbeda jika dibaca dengan nada tinggi “horrreeee!!!”. Dari sekadar tertarik pada bunyi, anak akan meniru bunyinya, lalu tertarik melihat kata yang menghasilkan bunyi “hore” itu.
Anda ingat bagaimana ayah atau ibu kita dulu mengajari kita menulis atau membaca dengan mengingat huruf yang dihubungkan pada sesuatu? Misalnya, huruf ‘d’ yang perutnya di (d)epan dan huruf ‘b’ yang perutnya di (b)elakang. Coba lakukan metode yang sama, ternyata masih ampuh lho terhadap anak-anak kita (anak saya lebih tepatnya :p).
Yes, it helps! Kalau cara jadul tampak tidak masuk akal dan old school, oke, silakan coba flash card lalu baca secara keras. Sekarang ini banyak dijual flash card warna-warni yang seru. Lakukan tutoring secara rutin pada si kecil untuk belajar dengan flash card. Ingat, bukan Anda yang membaca, tapi dia. Minta dia ucapkan dengan keras setiap huruf atau kata yang dia pelajari, dan tertawakan gayanya. Dengan begitu, dia akan ikut tertawa, mengulanginya terus, dan secara tak sadar telah menghapalnya.
Dalam kegiatan apapun bersama si kecil, Anda bisa mengasosiasikan setiap benda dengan huru-huruf atau kata yang sedang dipelajarinya. Misal, “Lihat jam dinding itu, itu seperti huruf O, ya” atau “Wah, penjepit makanan ini seperti huruf A, tapi kalau dibalik jadi huruf V”. Atau saat makan roti tawar bersama, gigitlah roti sampai membentuk berbagai huruf, dan si kecil bisa mengikutinya.
Ini bukan soal internet. Ini soal bagaimana Anda membuat satu titik tertentu tempat anak bisa asyik membaca di sana. Karena saya susah mengajak Jingga untuk pergi ke tempat membaca ramah anak di Jakarta, jadi saya membuat tempat yang nyaman di rumah. Di rumah kami, saya menempatkan sebuah bangku putar yang sangat nyaman di sebuah pojok ruangan rumah. Kami menyebutnya, “bangku membaca”. Peraturannya hanya satu: bangku itu hanya boleh diduduki kalau kamu sedang membaca. Karena bangku itu sangat nyaman, anak saya dan keponakan-keponakan “terpaksa” duduk di situ sambil membaca.
Ingat, anak berlaku sesuai yang dia lihat. Jadi, kalau Anda ingin anak Anda suka (belajar) membaca sehingga tidak perlu bikin Anda stres, Anda pun harus sering membaca.