"Being a mom has made me so tired. And happy!" -Tina Fey
Setuju dengan kalimat di atas? Kalau begitu, jadi ibu berarti jadi wanita super, dong? Bisa bahagia walau capek! Eh, bahagia, nggak? Yakin merasa senang dengan semua rutinitas dan perubahan dalam hidup? Ikhlas, nih? *tertawa getir*
"Ya memang sudah begitu, Ki. Mau nggak mau harus berubah. Kalau nggak gimana, dong?"
"Senang, tapi capek, tapi senang!"
"Kalau ibarat band, mainin lagu "all around", Ki!"
Kalau saya, emm, ya bahagia, lah. Hahaha. Kalau tidak bahagia, nanti bagaimana dengan anak dan suami saya, ya kan? Tapi tenang, saya hanya manusia biasa. Saya masih sering sekali merasa "Duh! Kok begini banget, sih? Memangnya kalau jadi ibu-ibu harus begini, ya?" Belum lagi kalau mendengar kalimat "Ya namanya juga udah jadi ibu-ibu, ya harus mau begitu!"
Haduh!
Iya, iya. I am a mother. I am somebody's wife too. Tapi kan saya juga individu merdeka, ya! *terdengar nyanyian Individu Merdekanya Seringai* Hahahaha.. So, I think I am not that super mom, karena saya masih sering mengeluh dan cemberut saat harus melakukan sesuatu yang diberi label "pekerjaan ibu-ibu". Kadang kalau hormon bergejolak, seakan ingin teriak "Duh, pengen ngopi aja, di kafe langganan. Boleh nggak???"
Oke. Saya melahirkan normal, diberikan kesempatan IMD sejam lebih, lanjut bisa menyusui eksklusif hingga saat ini si anak usia 3 tahun masih disusui sebelum tidur, berhasil potty train sekitar umur 1.5 tahun, dan saya juga tidak bekerja kantoran. Di rumah, bekerja lewat bantuan komputer dan koneksi internet, mengurus bisnis kecil, dan tentunya mengurus rumah, suami, dan anak. Tanpa asisten rumah tangga. WOW! SEMPURNA. HEBAT SEKALI!!
NOT.
Tidak begitu rasanya. Ada masa saya sedih karena ternyata mau kasih ASI aja susah rasanya, Menik pakai divonis Tongue Tie segala. Ada kalanya mau cuek kalau anak lagi nggak mau makan yang benar. Ada beban yang rasanya bertambah setiap mendengar komentar "Enak, ya, Sazki di rumah aja. Anaknya bisa dipegang sendiri" Iya, enak. Tapi kalau saya nggak waras, nggak bahagia, kan bisa jadi runyam. Belum lagi beberapa waktu belakangan, si Menik suka drama teriak-teriak "Nggak mau sama ibu, mau sama Eycan (nenek) saja!" ADUUUHH! I was like ready to start screaming "Hello! I sacrifice a lot of things for you, Hon! How come you say things like that?" Lalu nangis di dalam kamar sendirian.
Lalu ada banyak hari mengeluh dalam hati, sampai kadang muka jutek ke suami. Ada banyak hari malas mencuci, malas melihat mainan berserakan, malas masak, dan inginnya bercengkrama dengan buku yang sudah lama tertumpuk di samping tempat tidur dengan mie instan plus telur dan cabe rawit. Ada juga perasaan ingin sendiri. Ingin bisa kembali bebas.
Loh, memangnya sekarang tidak bebas? To be honest, yes. Simak argumentasinya di halaman selanjutnya, ya :D
Ada seorang anak yang hidupnya masih bergantung pada saya. Yang jika tidak disiapkan makanan, maka ia akan kelaparan. Yang jika tidak dimasakin air, maka ia akan mandi air biasa dan berujung dengan kedinginan. Mungkin nanti kalau si anak sudah sekolah, maka saya bisa merasakan sepi sendiri (yang sangat saya rindukan) kembali.
"Kalau sudah jadi ibu, punya banyak keterbatasan nantinya.." -Fifi Alvianto
Hmm, kalimat Fifi Alvianto di akun Instagramnya membuat saya berpikir, jika saya belum jadi ibu, apa yang masih ingin saya lakukan?
1. Ambil job MC sebanyak-banyaknya
2. Keliling Indonesia, bahkan kalau bisa keliling dunia.
3. Menambah pundi-pundi investasi.
4. Ikut les menjahit dan beli mesin jahitnya langsung.
5. Siaran di salah satu radio.
6. Jadi editor di sebuah majalah atau situs gaya hidup.
7. Menghidupkan kembali koran milik keluarga yang sekarang mati suri.
8. Les bahasa Arab dan China.
9. Kuliah keluar negeri untuk mengambil gelar Master.
10. Bekerja di PBB.
and the list still on.
Masih banyak mimpi yang belum terwujud. Yang tadinya dirasa bisa diwujudkan beriringan dengan mengurus keluarga. Banyak contoh figur orang sukses yang bisa membesarkan anak sekaligus meraih mimpinya. Why can't I? Because I am not that super. Ada banyak hal yang harus dipikirkan dan disesuaikan setelah menjadi ibu. Padahal ibu ini juga manusia, yang perlu dimanusiakan. Ya kan? *mulai mencari pembenaran*. Jadi angan-angan hidup seimbang ala artis-artis hollywood yang banyak dipertontonkan via reality show mereka itu kandas, bok! Yang ada adalah usaha menyeimbangkan hidup agar tetap bisa berpikir sehat demi menjalani hidup sehari-hari. Biarpun suka mengeluh dalam hati, tapi saya tetap berusaha, sih. Karena saya percaya; happy mom makes happy kids, means happy family, too.
Nah, beberapa waktu lalu, saya membaca buku Mom Candy: 1000 Quotes of Inspiration for Mothers. Ini lucu dan bagus, deh. Ada Michelle Obama, Kate Winslet, Reese Witherspoon, dan masih banyak lagi perempuan-perempuan (yang terlihat) super berbagai perasaannya dalam satu kalimat mengenai motherhood yang dibagi dalam 20 bagian perasaan. Lalu saya merasa, penjabaran Donna Ball inilah yang mungkin memunculkan ide "SUPER MOM" muncul. Baca di halaman selanjutnya, ya!
Pada satu titik, ada perasaan lelah berlebihan, bosan, dan mangkel. Namun di satu sisi ada yang mengingatkan, bahwa ada tanggung jawab yang bernyawa yang perlu kita jaga. Iya, kita seperti memiliki rasa untuk mengutamakan individu lain dibanding diri sendiri. Lalu kita juga belajar terus setiap hari untuk menghadapi banyak hal baru dalam hidup. Seperti benar-benar masuk ke sekolah seumur hidup. Pernah melakukan kesalahan? Ya namanya juga manusia, tapi kekuatan untuk menyadari kesalahan, belajar, lalu berusaha untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama adalah hal yang bisa jadi alasan label 'super' diberikan.
So no, I am not a super mom. Masih banyak kekurangan yang menempel pada diri saya. Karena apa? Ya, karena saya manusia. Rasa iri pasti ada. Iri lihat menu makanan anak teman yang diunggah di Instagram setiap hari. Iri lihat anak tetangga makannya lahap. Kesal lihat ipar yang tangannya terlalu terampil, dan seterusnya. Makanya ada pepatah "rumput tetangga selalu terlihat lebih hijau dari rumput di halaman sendiri" kan? Saya, sih, selalu percaya kalau diri saya sudah cukup super di mata si anak :p Modal kepercayaan diri inilah yang selalu membuat saya waras dan bisa terus menjalani hidup. Kalau saya seorang yang super, kan, pasti saya yang akan menimbulkan rasa iri. Haha!
Walau perasaan "Duh, mimpi gue dikemanain, nih? Bisa nggak ya diwujudkan?" timbul, tapi perasaan bangga menjadi ibu juga tidak bisa diabaikan. Bangga bisa tetap waras selama tiga tahun ini tentunya merupakan prestasi dalam dunia ibu-ibu yang ternyata sangat kompetitif ini. Bagaimana mau memikirkan keluarga, kalau terlalu sering membandingkan diri dengan orang lain. Padahal betul kata Marni Jackson:
Ya, kan? ;)
Oh ya, apakah perasaan ini sering muncul? Tiga hari berasa jumawa karena anak mau makan sesuai aturan, lalu empat hari berikutnya merasa gagal karena anak membantah apa yang kita katakan. Ya karena memang begitu adanya. Namanya juga manusia. Mungkin memang sebetulnya tidak perlu ada label super mom, ya. Karena tanpa label itupun, kita memang sudah super. Cerita ini bukan ingin mematahkan semangat para calon ibu, loh. Justru harusnya jadi penyemangat bahwa kita bisa jadi ibu yang baik tanpa perlu label apapun. We will do our best, because nature will always taught us, and of course because we (hopefully) know what's the best for our kiddo. Iya, kadang intuisi tidak muncul begitu saja, tapi kita bisa belajar dari pengalaman sendiri. Hari ini gagal ngajarin anak untuk pipis di toilet, besok coba lagi, besok cari cara lain lagi. Begitu kan?
So it's okay to be imperfect. Berusaha menyeimbangkan hidup tentunya perlu dilakukan, mewujudkan mimpi juga sah-sah saja, menelan rasa getir jika hasil tidak sesuai ekspektasi juga harus dilakukan. Terpenting adalah jiwa dan raga kita sehat, jadi bisa siap untuk menata hal-hal yang kadang datang tidak sesuai rencana. Ready to be a super ordinary mother? :)