*Gambar dari sini
Jauh sebelum menikah, saya sudah memutuskan untuk tidak bekerja kantoran saat sudah punya anak. At least hingga si anak masuk Sekolah Dasar. Janji ini saya ucapkan untuk diri sendiri dengan berbagai pertimbangan. Ciee, ibu-ibu banget, ya? Padahal waktu itu masih jadi mahasiswa semester 1. Dan tiba saatnya melahirkan, saya akhirnya benar-benar stay di rumah. Resigned kantor tanpa beban, dan menjalankan hidup tanpa rasa peduli dengan komentar orang sekitar.
Hingga Menik memasuki usia 5 bulan, tawaran kerja mulai berdatangan. Satu-satunya bos sebuah perusahaan yang baru buka cabang di Bandung memberikan saya kemudahan. Saya cukup datang seminggu sekali saat weekly meeting, boleh bawa anak. Boleh meeting sambil menyusui. Sisa hari kerja lainnya silahkan di rumah, yang penting kerjaan beres. WOW! Tergiur, dong?! Hehee, akhirnya saya ambil tawarannya.
Namun setahun kemudian saya lepaskan pekerjaan tersebut. Simply because I could not give my best 100% to this company. Pikiran saya terbagi. Dan saya tidak suka. Karena hidup rasanya jadi berantakan. Pekerjaan tidak bisa dikerjakan dengan maksimal, mengurus anak juga jadi tidak nyaman. Makanya, saya salut sekali untuk semua teman-teman yang bisa membagi waktu dan hati dengan baik dengan menjadi ibu bekerja.
Akhirnya saya kembali ke rumah. Bekerja dari rumah, menulis untuk Mommies Daily dan juga menjadi kontributor di beberapa majalah gaya hidup. Dan setelah menyandang status Ibu Bekerja Dari Rumah selama 2 tahun, saya mau menceritakan, lima hal menyenangkan kala menyandang status bekerja dari rumah. Lihat di halaman berikutnya, ya!
Ini dia, 5 hal yang menyenangkan bagi saya!
More time with your child! Ya, ini sebetulnya tidak perlu dijelaskan lagi, ya! Tidak ada keluhan "Aduh, jalanan macet! Waktu main sama anak berkurang" dalam hidup. Karena tidak ada tanggung jawab untuk setor absen sidik jari, ya, otomatis anak bisa ada selalu dalam jangkauan penglihatan. Dengan begini juga, tumbuh kembang anak bisa disaksikan dan dipantau dengan seksama.
Working with the most comfy outfit. Kapan lagi bisa bekerja dengan menggunakan celana pendek, tanpa perlu sibuk blow rambut, dan bahkan kalau sudah mepet, pekerjaan bisa diselesaikan sembari tidur-tiduran menemani anak.
Save money. Terutama untuk hitungan beli bahan bakar kendaraan, bayar tol, parkir, dan makan siang.
Waktu yang fleksibel. Karena tidak terikat waktu kerja, jadi semua hal ada dalam kontrol kita. Mau dikerjakan sesuai dengan komitmen waktu yang sudah dibuat atau mau diselesaikan saat mood datang atau sudah sempat.
Less Stress. Ini berkaitan dengan situasi kantor, sih. Kan biasanya ada saat jenuh, saat dikejar deadline dan maunya tidak ditemukan, hingga kondisi pertemanan dengan rekan kerja, jika kita terikat kerja di suatu kantor. Nah, karena kerjanya di rumah, dengan suasana homey yang tentunya sudah nyaman, jadi lebih dikit lah, rasa stresnya. Paling deg-degan kalau sudah ada email atau panggilan via WA untuk setor pekerjaan :D
Tapi, yang namanya kehidupan, kalau ada hitam pasti ada putih, kan? Siapa bilang, bekerja dari rumah itu selamanya enak? Hehehe, click here to see my another list!
Gambar dari sini
Disabotase anak. Ya kan ada wujud ibunya di rumah. Sudah pasti ingin dikuasai anak. Diajak menemani bermain adalah hal yang paling utama. Nah, karena sudah jadi ibu, jadi rasanya susah untuk 'mengabaikan' anak sejenak demi menyelesaikan pekerjaan. Iya kalau anaknya sudah mulai bisa menghibur dan menyibukkan dirinya sendiri. Kalau belum bisa? Wah, ini dia tantangannya. Akhirnya saya kebanyakan mengalah, menunda pekerjaan, dan menemani anak. And this leads me to...
Less Sleep. Waktu tidur otomatis berkurang. Nggak jarang saya baru bisa tidur pukul 1 atau 2 pagi dan tentunya tetap bangun pukul 5 subuh untuk memulai aktivitas. Tidur siang? Maunya, sih, bisa. Tapi yang sudah-sudah, jika anak sedang tidur siang, saya biasanya (kembali) membersihkan rumah, dan mencoba untuk bekerja kembali. Apalagi kalau sedang deadline. Bye bye tidur siang.
Feeling lonely. Beberapa waktu lalu, saya post status di Path. Saya tulis "Duh, kalau akhir tahun begini, lihat update teman-teman yang lagi annual meeting, End-Year Party di kantor, itu bikin kangen ngantor, sih!" :')) Iya, serius. Ada momen-momen yang bikin berasa sendiri, kangen pergi ke kantor, kangen makan siang bareng, kangen bikin kopi ke pantry, dan banyak lagi. Belum lagi obrolan sama teman yang jadi nggak nyambung karena 'beda dunia' kan?
Triple (or more) times multitask! Hmm, ini sebetulnya keuntungan ama kerugian ya? Hahaha. Bisa jadi keuntungan sebetulnya, tapi belakangan rasanya saya merasa agak kewalahan. Jadi begini, kalau kita kerja di kantor, konsentrasi 70% pasti ada di pekerjaan. Bisa konsentrasi dengan baik, lah, tanpa gangguan suara "Ibuuuu, tolong ini" atau "Buuu, celanaku basah!" dan lainnya. Nah, kalau ada di rumah, nggak bisa mengabaikan panggilan tersebut. Kadang kalau pikiran sedang ke mana-mana, saya rasanya mau nangis :p Baru duduk di depan komputer, anaknya bilang "Bu, Menik mau susu hangat. Tolong, bu." Nggak jadi ngetik, berangkat bikin susu sambil berusaha mengingat-ingat agar ide tulisan tadi tidak menguap begitu saja. Baru mau bikin list-to-do, tiba-tiba anaknya bilang "Bu, tolong ambil cat, dong. Menik mau gambar-gambar" x)) Lalu ketika akhirnya bisa duduk dan mulai bekerja, waktu sudah menunjukkan pukul 12 siang. Nggak jadi lagi ngetik, yang ada nyiapin makan dan nyuapin anak dulu, sembari ngangkatin jemuran yang sudah kering. Ada saja, deh, pokoknya.
Karena sudah tiga tahun bekerja dari rumah, saya mulai menemukan selahnya. Lihat di halaman berikut ya!
Beberapa kunciannya adalah:
Bikin jadwal. Sebetulnya Menik sudah tahu, kalau saya sudah duduk di depan komputer tandanya saya mau bekerja dulu. I spent an hour per day (at least) untuk menyelesaikan pekerjaan. Biasanya saya ambil selah saat waktu Menik makan cemilan, ya sekitar jam 10 pagi dan 4 sore. Saat sedang dalam waktu bekerja, saya berusaha sudah menyiapkan mainan untuk Menik. Misalnya puzzle, balok, masak-masakan. Walau pada praktiknya ada saja interupsi, tapi karena terbiasa melihat ibunya bekerja, Menik sudah mulai tahu aturannya.
Manfaatkan waktu tidur keluarga. Sejak dulu, saya memang selalu bangun pukul 5 pagi. Namun, sejak punya anak dan bekerja dari rumah, saya suka bangun lebih pagi lagi (pas adzan subuh biasanya) agar bisa menyelesaikan banyak hal saat anak dan suami masih tidur. Biasanya saya masukin cucian ke mesin cuci, lalu salat subuh. Lanjut dengan menyalakan komputer. Nah, sambil nunggu komputer on sepenuhnya, saya mulai membersihkan rumah. Lalu bikin minuman hangat, dan duduk bekerja sampai Menik bangun.
Konsentrasi pada satu hal. Agak susah nih, apalagi saya tidak ada yang bantu jaga Menik. Tapi saya selalu berusaha untuk tidak memikirkan kamar berantakan, cat mengotori lantai, dan mainan yang belum kembali ke tempatnya, ketika sedang bekerja. Jadi seperti membangun suasanya bekerja di kantor, di mana kita bisa konsentrasi mengerjakan sesuatu saat duduk di kubikel tanpa harus memikirkan mainan yang bertebaran di kamar anak, haha.
Kerjasama dengan suami. Saya sering minta tolong belikan tambahan lauk, jika tidak sempat memasak di rumah. Kadang juga menanyakan apakah bisa pulang cepat karena saya sedang lelah. Dan juga cerita kondisi rumah yang sedang berantakan karena nggak bisa beres-beres dengan maksimal. Dan suami suka bilang "Aku nikah sama kamu untuk dampingin aku, bukan buat jadi tukang bersih-bersih. Santai, Saz. Nanti aku bantu beresin pas pulang kerja, ya" :)
That's all! Intinya, sih, apapun pilihannya, percayalah bahwa itu adalah yang terbaik (karena, kan, kita yang memilih!). Nah, jalani dengan ikhlas, namanya manusia pasti ada saja yang ingin dikeluhkan, kan? Kalau menikmati semua perjalanan, mudah-mudahan hasilnya menyenangkan, dan menjalani hidup juga lebih tenang. Nggak perlu repot mikirin apa kata orang, deh. Biarkan mereka menghakimi dengan berbagai kata, we are the one who exactly know what kind of life we're living in!
Have a great day, Mommies!
COMMENTS