banner-detik
FINANCIAL WELLNESS

Budgeting, Kunci Keuangan Aman-Nyaman

author

vanshe25 Nov 2014

Budgeting, Kunci Keuangan Aman-Nyaman

Financial education and discipline conceptDi awal minggu ini, terpikir oleh saya untuk membahas soal pengeluaran. Nggak heran, sih, mengingat momennya sudah memasuki tanggal tua hehehe... Tapi, ternyata beberapa hari sesudahnya, pemerintah resmi menaikkan harga BBM bersubsidi. Bisa ditebak kalau kebijakan ini akan disusul dengan kenaikan harga barang-barang dan akhirnya cost of living juga, ‘kan?

Sebenarnya, sih, tanpa perlu ada faktor kenaikan harga BBM bersubsidi, biaya hidup kita pastinya akan menanjak terus setiap tahunnya. Halo, inflasi? Jadi, menurut saya, sejatinya sih, we should really be prepared untuk secara teratur mengevaluasi biaya kebutuhan hidup.

Tapi memang, melakukan reality check terkait kondisi finansial itu nggak mudah. Memulainya aja berat!

Berkaca dari pengalaman sendiri, 'gong' untuk mulai memerhatikan secara khusus soal finansial adalah saat harus belanja kebutuhan newborn. Ketika menyusun daftar kebutuhan buat menyambut si jabang bayi, baru, deh, mata kami terbuka (terbelalak lebih tepatnya) ketika sadar kalau "Ternyata belanja kebutuhan bayi itu mahal, yaa! Gimana nanti beli popok setiap bulan?? Susu? Imunisasi?"

Dengan hadirnya kesadaran itu, resmi berakhirlah masa-masa 'bahagia' kami sebagai DINKS, haha… Pastinya kami terkaget-kaget ketika pertama kali duduk bareng membahas biaya hidup, tujuan finansial, dan "kawan-kawannya." Maklum, baru kejedot sama yang namanya realitas, hahaha.

Nah, supaya bisa mengatur pengeluaran, pastinya perlu tahu dulu, dong, berapa biaya hidup kita. Seperti waktu akhirnya kami memakai jasa perencana keuangan, tahap pertama yang harus dilakukan ya menemukenali apa saja jenis pengeluaran dan berapa yang dikeluarkan setiap bulan maupun tahun, atau istilah lainnya, melakukan "budgeting."

Waktu itu, untuk menyusun jenis pengeluaran saja saya kesulitan. Saya nggak tahu berapa yang saya keluarkan untuk makan siang, belanja bulanan, dan lain-lain, padahal pengeluaran itu sifatnya rutin. Kalau yang rutin saja saya nggak tahu berapa jumlahnya, gimana bisa siap untuk pengeluaran yang 'dadakan?'

Tapi, manfaat budgeting ternyata nggak cuma itu, masih banyak keuntungan lain yang bisa didapat, seperti

- Nggak ada lagi pengeluaran yang tidak terduga. Semua pengeluaran itu bisa diduga, kok kalau menilik pengalaman sendiri. Bahkan yang completely out of our scenario (because maybe it's too horrendous to consider) saja bisa 'ditampung' di Dana Darurat. Ligwina Hananto pernah menyarankan kita membuat catatan pengeluaran yang dibuat selama 10 hari. Tujuannya ya supaya kita bisa mendapat gambaran pengeluaran yang rutin kita buat. Ini berguna banget lho, Mommies, karena kalau ada pengeluaran yang nggak bisa kita identifikasi, sama halnya dengan kebocoran yang tidak terdeteksi dalam keuangan kita. Sayang, 'kan?

- Seiring dengan waktu, kita jadi tahu berapa budget yang 'wajar' dan realistis untuk suatu jenis pengeluaran. Misalnya nih, untuk biaya makan siang di kantor. Sebelumnya, saya nggak pernah menghitung berapa yang saya keluarkan dalam sebulan untuk makan siang. Ketika tahu angkanya, agak terhenyak juga. Jadi berpikir, kok sayang, ya, segitu hanya untuk makan siang? Sepertinya dengan sedikit bersikap frugal, budget-nya bisa dialihkan untuk hal-hal yang lebih penting atau bermanfaat; menabung buat bayar kekurangan kamar rawat inap RS, misalnya.

Atau saya jadi tahu, kalau ada pengeluaran di cashflow kami yang sengaja dikecil-kecilin biar nggak terkesan boros (sama diri sendiri aja jaim! Gimana nggak kejedot kenyataaan... OK, back to topic). Contohnya pemakaian pulsa HP dan internet. Setiap bulan pasti nambah kuota, tapi seolah nggak rela menaruh angka budget lebih besar. Padahal, lebih nyebelin lagi kalau harus mengorek budget pengeluaran lain untuk membiayai 'kekurangan' yang bisa diantisipasi.

Terakhir, pengeluaran yang bersifat tersier kayak nongkrong, makan di mall, beli buku, atau totok wajah, misalnya. Saya maunya, sih, hidup sesuai kebutuhan dan kemampuan tapi tetap nyaman. Setiap orang tentunya perlu saluran emosi to deal with stress and pressures from life, 'kan? Well, beberapa metode untuk de-stress itu butuh duit, so the reality told me, hehe. Makanya, daripada denial seperti sengaja ngecilin budget tertentu tadi, lebih baik saya hitung budget yang acceptable untuk hal-hal tersier ini.

Kesimpulannya, dengan budgeting, kita bisa menyusun aliran uang yang paling nyaman buat hidup kita, tapi sekaligus 'membatasi' sebagai rem biar nggak kebablasan boros.

Apa lagi kegunaan budgeting? Silakan lihat di halaman selanjutnya.

budgeting_family*Gambar dari sini

- Budgeting juga membantu kita aware sama pengeluaran yang sifatnya tahunan. Sebelumnya, pengeluaran tahunan ini kerap 'dilupakan' - padahal pasti bakal hadir juga bill-nya! Kalau nggak disiapkan, budget-nya jadi dikeluarkan secara mendadak dan terpaksa 'kan.

Pengeluaran tahunan ini nggak cuma meliputi pengeluaran yang sudah rutin dikeluarkan tiap tahun seperti bayar pajak, premi asuransi, atau dana hari raya, Mommies. Kita juga bisa mencantumkan pengeluaran yang sifatnya sporadis tapi kita tahu akan diperlukan, misalnya untuk perawatan rumah (untuk servis AC, plumbing, repainting, kebocoran, dsb), atau perawatan mobil.

Jangan khawatir income tahunan kita bakal habis untuk membiayai pengeluaran doang dan nggak ada ruang untuk senang-senang, Mommies, karena budget untuk pengeluaran tahunan bisa kita siapkan secara bulanan, kok. Semacam mencicil saja, tapi bukan untuk melunaskan barang melainkan membiayai kebutuhan sendiri.

- Ini manfaat yang paling terasa buat saya: budgeting bisa mengurangi impulse spending.

Mommies tahulah kalau sekarang ini berbelanja nggak perlu harus keluar rumah (dus, dandan, nyiapin anak, and all the hassle) tapi bisa online juga. Practical on one hand, but also can be disastrous for an emotional shopper... like me!

We women are emotional and we tend to be emotional buyers. Kalau lagi suntuk, berbelanja kerap jadi pelarian. Nggak cuma soal belanja buat diri sendiri, kalau ada pihak-pihak yang menawarkan produk atas nama anak dan keluarga, kita perempuan juga bisa 'terjebak' untuk membeli produk yang sebenarnya nggak tepat guna. Just because it touches our emotional side.

Akhirnya, demi menuju kondisi keuangan yang sehat, saya dan suami merinci pengeluaran yang dibuat, tujuannya agar bisa menemukan titik-titik kebocoran budget. Pengeluaran yang sudah dirinci itu kemudian dimasukkan ke dalam kategori-kategori untuk memudahkan kami mengontrol rasio atau persentase pengeluaran. 'Pakem' pembagian kategori pengeluaran yang kami terapkan sebagai berikut:

  • Cicilan dan hutang maksimal 30%
  • Tabungan dan investasi minimal 10%
  • Pengeluaran rutin 40-60% terdiri dari:
  • Kebutuhan rumah tangga
  • Transportasi
  • Kebutuhan anak
  • Kebutuhan bersifat sosial seperti zakat/perpuluhan, sedekah, arisan, atau sumbangan lainnya.
  • Kebutuhan pribadi maksimal 20%
  • (Referensi: QM Financial)

    Oh ya, kalau ada uang sisa di cashflow kita, sebaiknya uang itu dibagi ke dalam savings (tabungan) dan discretionary spending (pengeluaran yang sifatnya 'bebas' dan nggak esensial) misalnya untuk shopping, liburan, atau hal-hal lain yang sifatnya luxury lah.

    Selanjutnya, sesudah menyusun cashflow di MS Excel, saatnya kami membagi-bagi uang secara nyata ke pos yang berbeda-beda.

    Terdengar ribet? Coba baca langkah nyata yang saya lakukan secara sederhana di halaman selanjutnya, ya.

    money_post*Gambar dari sini

    Pembagian ini menyisakan kami pos-pos berikut:

    1. Dompet di rumah (untuk hal-hal yang sifatnya bulanan dan rutin)

    2. Dompet di kantor/rekening payroll masing-masing (untuk makan siang)

    3. Dompet di mobil (because we literally spent 5 to 8 hours a day on the road. Jadi ini untuk kebutuhan selama kita di jalan: makan, parkir, tol)

    4. Rekening kesehatan (untuk membayar jasa kesehatan di luar coverage asuransi dari kantor)

    5. Rekening belanja bulanan dan mingguan

    6. Rekening reimburse (untuk bayar credit card)

    7. Rekening dana darurat

    8. Rekening belanja tersier (sifatnya akumulatif, jadi kalau jatah bulan ini gak dipakai, bulan depan jatah belanjanya lebih besar. Selama ini, sih, saya belum pernah berhasil mengakumulasi... hiks!)

    9. Rekening untuk 'belanja' reksadana.

    Jujur aja, nggak semua rekening itu rutin diisi setiap bulan (misalnya rekening belanja tersier *sigh*) karena memang jatah bulanannya tidak selalu ada. Yang penting, posnya sudah ada supaya tidak tercampur dengan jatah pengeluaran yang lain.

    Langkah terakhir, ya tinggal praktik. Dan ini yang paling 'menantang,' hehehe....

    Sampai sekarang, saya dan suami masih suka berdiskusi bagaimana arus uang atau pembayaran yang paling efektif dan efisien. Kami bahkan suka bertukar peran meng-handle urusan cashflow, sengaja, supaya bisa sama-sama merasakan bagaimana susahnya jadi menteri keuangan keluarga, hehe.

    Pastinya, setelah dijalankan, selain tantangan konsisten menerapkannya, juga timbul banyak pertanyaan. Misalnya, kenapa yah, adaa aja pengeluaran yang nggak 'masuk' ke dalam kategori-kategori di budget kita.

    Saya baca di artikel ini, hal inilah yang kerap membuat orang berhenti menggunakan budgeting. Sebenarnya hal ini wajar, dan mudah kok untuk diperbaiki. Kita hanya perlu membuat kategori "Miscellaneous" untuk jenis pengeluaran yang macem-macem itu, atau yang suka muncul pada bulan atau tahun tertentu. Atau, kita bisa melakukan evaluasi ulang untuk menemukan pengeluaran yang mungkin kita underestimate angkanya.

    Masih dari artikel yang sama, "Over time you'll find that your budget more closely reflects your spending patterns, so long as you are honest with yourself about where the money goes."

    Kesimpulannya, budgeting mungkin terkesan nyusahin atau membatasi, tapi sebenarnya hal ini justru bisa membebaskan kita, asal dilakukan dengan pikiran yang terbuka dan berfokus pada tujuan di masa depan. Eyes on the prize, baby!

    Bagaimana dengan Mommies sendiri? Apakah ada pengalaman seputar budgeting dan penerapannya yang bisa jadi masukan untuk saya dan Mommies lain? Let's share it here.

    "Kebebasan finansial lebih dari sekadar memiliki sejumlah banyak uang; tapi juga tentang merasa bangga terhadap apa yang yang telah kita miliki dan bersikap realistis mengenai apa yang tidak kita miliki, serta menanamkan kebanggaan itu di diri anak-anak kita." - Suze Orman

     

    PAGES:

    Share Article

    author

    vanshe

    Ibu satu anak. Was an SAHM for 2,5 years but decided that working outside home is one of many factors that keeps her sane. Grew up deciding not to be like her mother, but actually feels relieved she turns out to be more and more like her each day. She's on Twitter & IG at @rsktania.


    COMMENTS


    SISTER SITES SPOTLIGHT

    synergy-error

    Terjadi Kesalahan

    Halaman tidak dapat ditampilkan

    synergy-error

    Terjadi Kesalahan

    Halaman tidak dapat ditampilkan