Jadi Mandiri, Siapa Berani?

Parenting & Kids

vanshe・21 Oct 2014

detail-thumb

Pernah nggak, sih, Mommies terhenyak setelah melihat angka cicilan rumah? Saya pernah! Setiap kali me-review cashflow, saya mengkhayal, kapan, yaa, cicilan rumah bisa lunas? Pasti akan indah dan sentosa rasanya, hihihi. Memang, sih, mencicil rumah itu tanggung jawab yang kadang terasa menyesakkan dada. Tapi, tentunya saya tetap perlu mensyukuri, bahwa meski masih dicicil, kami punya tempat untuk disebut rumah.

Kalau saya kenang kembali perjalanan kami mencari rumah, memang, ada kesan ‘maksa’ saat membeli rumah sendiri. Untuk rumah pertama, uang mukanya saja kami pinjam dari orangtua. Cicilan rumah juga menempati porsi yang besar dalam cashflow kami. Tapi, sebenarnya ‘maksa’ itu bukan untuk gaya-gayaan, dan bukan karena ikut-ikutan orang lain. Semangat yang membara untuk punya rumah sendiri itu dikobarkan oleh sejarah “pertempattinggalan” saya dan suami.

DreamHomeDulu, ketika sedang menyiapkan pernikahan, ibu bilang pada saya dan suami, "Nanti kalian tinggal di rumah mama aja yang di X (deket rumah ibu). Nggak usah pusing. Kalian boleh, kok, pakai rumah itu... Tapi minjem, yaaa. Tiga sampai lima tahunlah. Nanti kalau adikmu mau nikah, kalian harus siap-siap gantian."

Kesannya ibu saya tega sekali, yah? Tapi saat didengar langsung, perkataannya itu tidak membuat kami kaget atau kecewa. Suami, being the good son-in-law that he is, serta-merta menjawab, “Iya, mah.” Sementara reaksi saya, "Iyalaaah, siapa juga yang mau tinggal di situ lama-lama…" Hahaha.

Syukurlah, setelah hampir dua tahun menikah, kami bisa juga punya tempat tinggal sendiri. Sebenarnya, sih, rumah bekas, kecil, dicicil pula, but it's our very own place. :) Pengalaman ngebet punya rumah sendiri (dan kisah sedih membayar cicilannya) membuat saya memikirkan kembali tindakan ibu saya waktu itu. I think she totally deserves a credit. Beliau memfasilitasi kenyamanan kami, tapi juga mengajarkan kami untuk tetap mandiri. Yang beliau lakukan menimbulkan efek tumbuhnya harga diri dan kepercayaan diri pada kami, sehingga kami punya target untuk memiliki rumah. Dan mungkin cara paling bermanfaat untuk mewujudkan rasa terima kasih itu adalah dengan meneruskan ajaran tentang kemandirian kepada anak kami.

Saat orangtua ditanya apa keinginannya buat anak, "mandiri" pasti menjadi salah satu atribut karakter yang disertakan, bukan? Kemandirian seperti apa yang dimaksud? Lihat di halaman selanjutnya.

Kemandirian bisa dibedakan menjadi beberapa jenis, yaitu:

1. Mental Independence

Ini terkait dengan kemampuan untuk berpikir sendiri, terlepas dari apa yang dipikirkan dan dikatakan orang lain. Gamblangnya, sih, nggak gampang ikut-ikutan, gitu. Kemandirian mental ini dicapai dengan menimbang fakta dan perasaan dengan sejujur-jujurnya terhadap sebuah isu untuk membentuk opini yang independen.

2. Behavioral Independence

Kemandirian dalam bersikap tumbuh dari kemandirian mental. Karena hanya setelah kita dapat berpikir secara mandiri, kita bisa membuat pilihan-pilihan yang mandiri dalam hidup. Apa saja pilihan itu? Mulai dari memilih film apa yang mau ditonton, sampai apa pekerjaan yang kita pilih.

3. Survival-based Independence

Inti dari kemandirian adalah memperoleh wawasan dan perangkat untuk bisa bertahan hidup dengan baik, yang meliputi:

  • Financial independence - Mampu menghasilkan uang sendiri dan memenuhi kebutuhan hidup.
  • Safety-related independence – Mampu menjaga keselamatan diri dan bagaimana cara menangani situasi berbahaya.
  • Self-care-related independence – Mampu menjaga kesehatan dan kebugaran, baik secara fisik maupun mental dan emosional.
  • Dari paparan di atas, bisa ditarik kesimpulan bahwa menanamkan karakter mandiri perlu menjadi pondasi agar anak mampu berperilaku mandiri, untuk akhirnya mampu bertahan hidup dan bertanggung jawab atas hidupnya sendiri.

    Lalu, apa, sih, manfaat yang diperoleh anak-anak jika kita menanamkan karakter mandiri pada mereka? Simak di halaman berikut, ya.

    *Gambar dari sini

  • Anak belajar dari pengalamannya sendiri.
  • Ketika anak melakukan sesuatu sendiri, mereka belajar melalui trial and error. Kemandirian juga mengajarkan kedisiplinan pada anak. Mungkin kita suka mendengar ada orangtua yang (kebanyakan, sih, sudah senior) bilang, "Biarin aja! Biar dia tahu risikonya." Mungkin terkesan tega, tapi, jika anak melakukan kesalahan dan menghadapi konsekuensinya, anak belajar bahwa ada konsekuensi dari setiap tindakan. Dengan demikian, anak-anak menjadi terbiasa berpikir terlebih dahulu sebelum melakukan sesuatu.

  • Kemandirian meningkatkan rasa percaya diri.
  • Mandiri dan kepercayaan diri berkaitan erat; untuk membesarkan anak yang percaya diri, kita perlu membuatnya mandiri. Gampang saja kok, caranya, yaitu dengan mengajak anak melakukan hal-hal kecil yang berkaitan dengan keterampilan hidup, seperti membersihkan lingkungan, menyiapkan makanan, mengurus dirinya sendiri, atau sesimpel makan sendiri. Anak-anak merasakan harga dirinya meningkat saat mereka berhasil melakukan sesuatu sendiri. Samalah seperti kita kalau berhasil menaklukkan sebuah tantangan, pasti akan muncul perasaan menang dan bangga, 'kan? Jika anak-anak menjadi lebih percaya diri menghadapi tantangan, nantinya mereka akan lebih siap menghadapi tantangan-tantangan di kehidupan nyata.

  • Kemandirian melatih anak menghadapi kegagalan.
  • Melatih anak menghadapi rasa kecewa atau stres saat gagal mencapai sesuatu akan lebih mudah jika anak memiliki kesempatan menjadi mandiri. Cepat atau lambat, anak akan belajar untuk tidak berlarut-larut dalam kekecewaan atau perasaan negatif lainnya.

  • Kemandirian memberikan kesempatan pada anak untuk memilih kebahagiaan mereka.
  • Anak-anak perlu berlatih memilih. Untuk mengembangkan kedewasaan emosional, mereka perlu belajar mengambil keputusan sendiri. Pada usia dini, pilihan bagi anak dapat kita tentukan dan batasi, misalnya memilih menu untuk makan malam, atau memilih aktivitas sepulang sekolah. Dengan memperkenalkan mereka pada pilihan, anak-anak belajar melatih kebebasannya untuk memilih. Dengan demikian, mereka sekaligus belajar bahwa they can't have it all. Yang mereka miliki hanyalah kebebasan untuk menentukan pilihan.

    Kembali lagi ke soal visi orangtua terhadap anak di mana kemandirian selalu menjadi salah satu poin karakter yang perlu dimiliki anak, lantas bagaimana cara melatih anak untuk mandiri? Cek yuk caranya di halaman selanjutnya!

    - Hindari melakukan hal-hal untuk anak yang bisa dia lakukan sendiri. Berikan waktu ekstra supaya anak bisa melakukan sesuatu sendiri, misalnya saat memakai baju, memakai dan melepas sepatu, makan, dan lain-lain. Juga, jangan menjawabkan jika anak ditanya. Biarkan ia berpikir dan menyusun jawabannya sendiri.

    - Tunjukkan dukungan saat anak berusaha mengerjakan sesuatu sendiri. Misalnya dengan mendukung anak untuk mencoba melakukan hal-hal yang belum pernah dicobanya. Jangan menyela saat mereka sedang melakukan sesuatu. Jika mereka terlihat kesusahan dan meminta bantuan, barulah bantu mereka menyelesaikan pekerjaannya. Saat berjalan, biarkan anak berjalan sendiri kapanpun ia bisa daripada menggendongnya. Jangan lupa untuk memberikan respon atau komentar saat anak berhasil melakukan sesuatu sendiri, seperti, “Wah, kamu sudah bisa, ya.”

    Kita juga bisa membantu menyesuaikan penempatan dan kondisi rumah agar dapat mendukung anak menjadi mandiri, namun tetap aman. Misalnya dengan membuat rak dan laci sesuai tinggi mereka sehingga mereka bisa menaruh mainan, buku, atau baju sendiri. Makanan dan minuman juga dapat ditaruh dalam kotak-kotak plastik kecil sehingga mereka bisa mengambilnya sendiri. Tapi, jangan mengharapkan kesempurnaan dari yang dilakukan anak, ya, Mommies. A little mess here and there is to be expected. :)

    - Berikan anak tanggung jawab. Menanamkan tanggung jawab kepada anak juga berarti mengajarkan life skills. Tugas-tugas rumah tangga yang sesuai dengan usia anak dapat menjadi cara yang mudah untuk mengajarkan tanggung jawab.

    *Gambar dari sini

    - Berikan pilihan kepada anak dan biarkan dia membuat keputusan. Kita dapat membantu anak membuat keputusan sesuai dengan usianya, misalnya dengan membatasi pilihan, atau mengajaknya memikirkan kemungkinan-kemungkinan, pro-kontra, dan memberikan feedback. Jika anak mengalami situasi sulit, alih-alih mendikte anak harus melakukan A, B, C, bimbing mereka dalam proses berpikir dan menyimpulkan sendiri. Buat pertanyaan-pertanyaan untuk mendorongnya berpikir.

    - Bangun peraturan-peraturan yang jelas dan fair dalam keluarga. Peraturan membantu kita untuk lebih konsisten meperlakukan anak. Seperti pernah saya bahas dalam artikel “Branding untuk Keluarga,” aturan juga membantu anak memahami batasan dan tingkah laku seperti apa yang diharapkan darinya, serta apa prinsip (values) di balik aturan itu.

    - Terakhir, jadilah role model dengan mencontohkan kemandirian. Our children are mirror images of ourselves. Jadilah ‘iklan berjalan’ dari nilai-nilai kemandirian yang kita ajarkan pada mereka, baik itu kemandirian mental, tingkah laku, maupun ehem, finansial.

    Hmm, sepertinya lebih baik mulai sekarang saya nggak lagi merisaukan perihal cicilan rumah, ya. Justru harusnya saya ceritakan pada anak kalau ia sudah mengerti, bahwa meski kecil dan dicicil, rumah ini berdiri di atas nilai-nilai kemandirian (dan mungkin juga kenekatan, sih, hehehe).

    Kesimpulannya, meski kadang sulit dan berat dijalani, kemandirian punya banyak manfaat dalam pengembangan karakter, terutama on the long run. Jadi, Mommies, yuk, mulai ajak anak kita mandiri.

    "Berbahagialah dia yang makan dari keringatnya sendiri, bersuka ria karena usahanya sendiri, dan maju karena pengalamannya sendiri." - Nyai Ontosoroh, “Bumi Manusia.”

    Sumber dan referensi:

  • reachout.com
  • respiteforme.com
  • raisingchildren.net.au
  • smarkidsschool.com
  • sheknows.com