*Gambar dari sini
Saya sempat tertegun saat Darris bilang begitu. Lha, bukannya enak, ya, tinggal duduk semua kebutuhan, keinginan, datang sendiri. Kenapa malah nggak suka?
Jadi ceritanya, saat lebaran kemarin kami sekeluarga berkumpul di Bandung di rumah nenek saya. Termasuk ibu, bapak, dan adik saya dari Surabaya. Di tempat kami menginap otomatis anak-anak saya yang paling muda meski ada sepupu saya yang umurnya cuma dua tahun lebih tua dari Darris. Karena jadi yang paling muda, apalagi ada kakek neneknya yang kangen cucu, jadilah D1-2-3-4 (nick name ke-4 anak saya :D) ditawari macam-macam dan diambilkan ini itu :D. Pagi-pagi sarapan, mata masih setengah melek duduk di meja makan sudah ditanya mau makan X atau Y. Begitu dijawab langsung diambilkan piring disiapkan makan. Minum apa? Langsung segelas Milo hangat siap minum. Bahkan kalau mau, para sesepuh siap menyuapi juga hahaha.
Enak, kan, sebenarnya? Yang biasanya mau makan harus ingat kakak-adiknya berbagi lauk, harus ambil sendiri bahkan kadang masak sendiri kalau bosan lauknya (mamak pemalas), jadi semua datang sendiri tinggal mangap. Tadinya saya kira mereka menikmati itu. Sampai-sampai saya sindir,"Enaknyaaa di sini mau apa-apa siap, nggak pakai repot angkat pantat, yaa!". Walau saya nggak melarang para sesepuh memanjakan anak saya saat momen tertentu seperti ini karena saya anggap itu rejeki si anak, tetap ada sedikit ketakutan kebiasaan ini akan terbawa juga saat balik ke rumah. Saya nanti yang repot!
Ternyata dari sudut pandang anak belum tentu enak juga, tuh. Darris mengeluh karena apa-apa dibuatkan dan diambilkan, yang ada porsinya nggak pas. Terlalu banyak, terlalu sedikit, kemanisan, kurang manis, dan sebagainya. Padahal dia tetap wajib menghabiskan. Jadi nggak enak juga makan/minumnya. Betul juga, sih, saya pikir. Karena terbiasa mengukur sendiri kemampuan makan dan seleranya, otomatis anak punya ukuran pribadi. Dan preferensi ini jadi terabaikan kalau dilayani orang lain.
Selanjutnya: Katanya ingin anak kita mandiri?
*Gambar dari sini
Kita sering lupa kalau anak adalah pribadi berdikari dan bukan perpanjangan atau fotokopi orangtua. Yah, paling rupa dan gerak-gerik saja yang mirip, tapi pemikiran dan kemauan bisa beda. Apalagi anak yang terbiasa mandiri, merdeka menentukan pilihan dan menjalaninya, begitu diatur-atur bakal langsung manyun :D. Kadang kita lupa juga bahwa anak, di usia berapapun sudah bisa belajar dan mempraktikkan kemandirian. Beri kebebasan memilih dan sebisa mungkin jangan intervensi.
Tutup mata saja saat anak lebih suka pakai piyama ke mal karena gambarnya Frozen ketimbang kaos pergi motif bunga-bunga yang membosankan. Cuek saja anak pakai kaos kaki atau sandal sebelah-sebelah saat diajak pergi (yes, it happened dan saya sungguh salut sama ibunya. Saya sendiri belum tentu kuat :D). Abaikan juga masa anak tergila-gila pakai sunnies jadi mau di rumah, di mal, ke toilet pun sunnies-nya nggak mau dilepas.
Beri juga kebebasan menentukan porsi dan lauk makan, dengan syarat dan perjanjian tentunya kalau proporsi gizi pilihannya tidak berimbang. Saya sendiri suka gatal kenapa kalau ambil makan sendiri porsinya sedikit banget, padahal kalau diambilkan dan disuapi bisa dua kali lipat. Tapi sisi baiknya kita jadi bisa menuntut anak menghabiskan makannya karena dia sendiri yang memutuskan. Sisi jeleknya, saat kita yang mengambilkan atau menambah porsi/sayurnya, jadi alasan kalau nggak habis-habis *huh.
"Tidak jarang, orangtua merasa paling benar, paling tahu dan paling berkuasa, sehingga mereka mendominasi anaknya begitu kuat. Padahal, orangtua yang paling hebat dan berkuasa pun, pasti berkeinginan anaknya nanti tumbuh dewasa sebagai pribadi yang mampu, mandiri, dan berkuasa seperti dirinya atau bahkan lebih. Hla, bagaimana mungkin ia bisa berkembang mandiri dan berdaya jika sejak kecil hanya diajari untuk menurut dan patuh? Bagaimana mungkin ia menjadi anak yang mampu mengambil keputusan jika Anda merampok kesempatannya untuk belajar memutuskan?"Tetapi Opa, anak saya ini tergantung sekali. Mau makan saja, dia tak tahu harus memilih apa. Kalau menunggu dia, kapan kita akan makan; jadi ya saya yang memutuskan. Semua serba lelet."
Jika pada umur 5 tahun, ia lamban dan Anda yang mengambil alih semuanya; bagaimana mungkin Anda berharap pada saat ia berumur 7 tahun akan mampu menyiapkan peralatan sekolahnya sendiri dan pada umur 17 tahun mampu memilih jurusan perguruan tinggi yang akan menjadi bekal profesinya kelak, dan pada umur 27 tahun mampu menimbang calon pasangan yang tepat?" - Dono Baswardono Parenting
Sungguh #jleb, ya. PR lagi, tuh *banyak aja PRnya :D.
Selamat Hari Kemerdekaan, Moms. Sudahkah anak kita jadi anak yang merdeka?