Ada banyak cara untuk menikmati me time. Buat saya, bisa kumpul-kumpul dengan beberapa sahabat di akhir pekan bisa jadi me time, bahkan pekerjaan sehari-hari sebagai ibu rumah tangga seperti memasak juga bisa jadi waktu spesial buat saya. Tapi, namanya perempuan yang paling mengasikan, sih, ketika kita bisa belanja, ya!
Perempuan mana, sih, yang nggak suka belanja? Bahkan baru window shopping, melirik sepatu atau tas idaman saja sudah senang. Terlebih ketika sudah bisa membawa pulang barang incaran. Rasanya tuh.... ada kepuasan tersendiri. Benar nggak?
Tapi, asal jangan kesenangan itu bersifat sementara saja, ya? Maksudnya, setelah belanja dan sampai di rumah kembali suntuk. Apalagi stres ketika sadar berapa jumlah uang yang harus dikeluarkan. Kalau begini, sih, sama saja bohong. Dalam hal ini, belanja bukan jadi sesuatu yang menyehatkan buat diri sendiri. Tapi malah mendatangkan petaka karena sudah mengeluarkan uang banyak.
Soalnya nggak jarang, lho, ada orang yang nggak bisa menguasai dirinya saat berbelanja. Sampai rela meminjam uang temannya hanya untuk belanja, belum lagi dengan penggunakan kartu kredit yang berlebihan. Mirip dengan cerita Rebecca Bloomwood, seorang jurnalis yang maniak belanja itu, lho! Lantaran kebanyakan belanja, dirinya malah dikejar-kejar surat-surat tagihan. Wiiih... kalau seperti, sih, ujung-ujungnya hanya bikin masalah baru.
Saya juga pernah membaca sebuah artikel yang menyebutkan kalau seseorang yang punya kecendrungan untuk belanja yang berlebihan sebenarnya memiliki penyakit serius yang berhubungan dengan gangguan mental atau mengalami depresi klinis. Istilah medisnya disebut sebagai hoarding compulsive. Suatu kondisi di mana dirinya punya dorongan yang kuat untuk mendapatkan barang-barang yang tidak berguna demi sebuah kepuasan atau ketenangan.
Menurut Dr Frost, salah satu peneliti yang juga sebagai profesor psikologi di Smith College, Massachusetts menyebutkan kalau orang yang suka menimbun barang ini percaya bahwa ada bagian hidupnya yang akan hilang kalau barang-barang tersebut disingkirkan. Ia juga akan merasa kehilangan bahkan merasa sangat cemas ketika membuang barang-barang tersebut. Ah, ini sih menyeramkan, ya! Kalau berlebihan seperti ini, belanja bukan lagi sebagai bentuk me time. Bukannya jadi senang, malah bisa memicu pertengkaran dengan suami
Saya pikir selama tahu batasannnya, memilih me time dengan cara shopping nggak ada salahnya.. Bahkan buat beberapa orang, termasuk saya, belanja ibarat terapi. Setelah suntuk menyelesaikan berbagai tugas di kantor ataupun rumah, membeli barang impian bisa jadi obat yang ampuh. Istilahnya, bisa sebagai reward buat diri sendiri.
Kuncinya, kita harus sadar kalau membeli sesuatu memang berdasarkan kebutuhan, bukan keinginan. Selain itu, buat saya pribadi rasanya kita harus kuat iman untuk nggak tergiur dengan iming-iming sale. Dan satu lagi, jangan tergiur dengan online shop seperti di Instagram, hahaha. Wah, foto-foto di sana kan benar-benar menggoda. Kalau nggak kuat iman, pertahanan bisa luntur dengan seketika, hehehe.
Walaupun belanja jadi terapi dan reward buat diri sendiri setiap akhir bulan, bukan berarti urusan belanja jadi kebablasan. Makanya sangat penting sekali membuat shopping account supaya kegiatan belanja tetap ‘menyehatkan’. Intinya, sih, harus membuat rencana yang matang. Biar bagaimana, setelah jadi ibu kan, pos pengeluaran memang perlu hati-hati.
Bukan begitu, bukan?