Sesungguhnya, gampang-gampang susah untuk bekerja dari rumah. Buat saya pribadi, meski pekerjaan yang saya lakukan tidak terlalu sulit (sulitnya sih kalau tanggal deadline sudah dekat alias mepet atau email dari "ibu bos" mendarat dengan manis di inbox saya), namun tetap butuh rasa legowo yang luar biasa. Terutama, di saat anak sedang meminta perhatian saya namun saya sedang fokus menyelesaikan tulisan *menghela nafas panjang*.
Awalnya, saya berusaha menyelesaikan pekerjaan saya di kala penghuni rumah sudah terlelap. Otomatis, jam tidur saya pun mundur secara teratur. Efeknya tidur kelewat malam membuat saya bangun tidur dalam keadaan lelah. Mata masih mengantuk namun tetap bangun pagi di jam yang sama. Percayalah, bangun tidur dalam keadaan lelah itu nggak banget. Rasanya seperti zombie, memaksakan diri untuk tetap “bugar” namun menahan kantuk yang luar biasa hebat. Sama sekali tidak cantik dan tidak sehat loh!
Karena saya tahu metode bekerja larut malam itu tidak sehat, jadilah saya ubah jam kerja saya. Yang tadinya bekerja hingga tengah malam berubah menjadi bekerja di siang hari, ketika anak sedang tidur siang. Sayangnya cara ini pun kurang berhasil. Pasalnya, anak saya yang masih balita memiliki jam tidur siang maksimal dua jam saja. Haduh, mana bisa saya menyelesaikan satu pekerjaan saya dalam waktu dua jam. Belum lagi pekerjaan rumah tangga menjadi agak keteteran juga.
Gara-gara pusing sendiri, akhirnya saya berusaha melibatkan anak ketika saya bekerja. Pikiran saya, setelah beberapa jam anak bermain sambil belajar bersama saya (setiap pagi, saya selalu menyediakan waktu sebanyak dua hingga tiga jam jam untuk melakukan berbagai kegiatan bermain dan belajar bersama anak) maka tidak ada salahnya ia masuk ke dunia ibunya yang “lain”. Dunia yang tidak melulu berkaitan dengan pekerjaan rumah tangga.
Ternyata tidak semudah yang saya bayangkan ketika melibatkan anak ketika saya bekerja.Bagaimana ceritanya? Simak di halaman selanjutnya, ya!
Uring-uringan, ngambek nggak jelas dan bolak balik memanggil saya meski ia tepat berada di hadapan atau persis di samping saya. Ditambah lagi, sesekali ia memencet keyboard laptop di saat saya sedang asyik mengetik. Oh, jangan ditanya bagaimana perasaan saya menahan kesal yang memuncak. Beberapa kali saya harus menghela nafas panjang sebelum memberikan pengertian kepada anak saya. Berulang kali saya mengulang kalimat “Dia masih balita, May. Wajar dia belum mengerti apa yang sedang kamu lakukan”.
Meski harus berjibaku dengan semua kelakuan anak yang (menurut saya) menyebalkan, namun tetap saja dia saya libatkan saat saya sedang bekerja. Mainan, buku tulis, buku mewarnai, buku gambar kosong, berbagai puzzle dan semua buku bacaan yang biasa saya bacakan untuknya telah berserakan di sekitar saya. Tak lupa organ yang saya nyalakan agar dia bisa bermain musik sekehendak hatinya ketika ia bosan dengan mainan atau buku-bukunya. Seringkali ia mengajak saya mengobrol dan saya berusaha untuk meladeninya sambil menyisipkan pengertian bahwa ibunya masih bekerja di depan laptop. Lambat laun, semua usaha saya membuahkan hasil. Anak saya tidak lagi “bertingkah” dan mulai memahami ketika ibunya sedang bekerja.
Memang butuh waktu dan perjuangan keras untuk membuat anak mengerti bahwa ibunya juga memiliki kesibukan lain. Namun, bukan berarti kita tidak bisa membuat anak memahami bahwa kita memiliki tugas lain yang harus diselesaikan. Dari sisi saya pribadi, ternyata tidak mudah ketika meninggalkan anak sejenak untuk fokus pada pekerjaan saya. Meski awalnya sulit mengesampingkan perasaan bersalah tersebut (iya loh, saya merasa bersalah ketika sedang mengetik dan si kecil bolak-balik meminta perhatian saya), akhirnya saya mulai enjoy bekerja di saat anak masih melek. Positifnya lagi, saya tidak perlu tidur larut malam atau mencuri waktu di saat anak tidur siang. Dan ya, saya merasa senang dengan keadaan yang sekarang: pekerjaan bisa diselesaikan tepat waktu, saya memiliki waktu istirahat yang cukup dan anak tetap merasa dekat dengan saya.
Mungkin terlihat jahat karena saya tega "mengabaikan" anak saya sejenak demi pekerjaan saya. Namun, saya tidak merasa bersalah (meski sebelumnya iya, hihihihi...). Karena ternyata menyenangkan juga melakukan dua hal dalam satu waktu, yaitu bekerja sekaligus mengasuh anak. Tanpa saya sadari, melibatkan anak ketika saya bekerja membuat ia mengerti mengenai keadaan ibunya dan menjadikan anak saya lebih mandiri lagi. Kalau sudah begini, saya pun menjadi lega dan tetap bisa fokus pada pekerjaan saya. Toh, saya pun bekerja atas nama cinta kan...
Ibu yang merasa bahagia akan meneruskan kebahagiaan tersebut pada lingkungannya, terutama anak-anaknya...