Siapa yang putrinya di rumah ‘kecanduan’ Frozen?
Anak saya salah satu yang sempat kena demam Frozen. Saking seringnya nonton, saya pun jadi ikutan hapal terutama sama lagu-lagu di dalamnya. Lagu yang saya dan Langit sukai, apalagi kalau bukan Let It Go.
Saya pribadi memaknai secara mendalam lagu tersebut. Di lagu tersebut Elsa menyuarakan isi hatinya yang selama ini ketakutan kalau orang lain melihat kekuatan yang ia miliki atau tuntutan orangtuanya agar ia menjadi anak yang baik. Setelah sadar akan kekuatannya, ia berubah jadi sosok yang kaku, dingin, sampai-sampai sahabat terbaiknya yang juga adik Elsa, Anna, pun merasa dijauhi oleh Elsa.
Saat menulis artikel ini, sebelumnya saya Googling teks lagunya biar nggak salah persepsi. Nggak hanya sampai menemukan teks, ternyata banyak sekali persepsi yang muncul mengenai lagu Let It Go. Mulai dari segi feminis, preferensi seksual sampai ada yang bilang lagu ini mengajarkan anak berbuat bad manners.
Sebelum terlalu jauh, yuk kita simak sama-sama videonya:
Selanjutnya: Apa makna lagu ini buat saya, seorang ibu? >>
Kemarin saya sharing tentang karier dan keluarga di acara Ikastara, diundang oleh Annisa (KetupatKartini). Saat ngobrol dengan moderator, tiba-tiba saya berkata, “Banyak ibu yang semuanya pengen dikerjakan sendiri. Kerja, ngurus anak, masak, bebersih, dsb. Gara-gara sibuk masak pas weekend, malah nggak ada waktu buat main sama anaknya. Nobody’s perfect. Realistis aja deh”.
Setelah mengucapkan kalimat tersebut, saya seperti disadarkan oleh kondisi ini. Banyak sekali perempuan yang merasa dirinya multitasking. Ya ini sudah pasti sih, secara otomatis, saat kita menikah dan punya anak saja sudah menjadikan kita sebagai multitasker sejati. Jadi ibu sekaligus seorang istri, yang saya percaya positioning-nya berbeda satu dengan yang lain. Belum lagi status lainnya seperti karyawan, anak, kakak, pemilik bisnis, dan seterusnya.
Sebagai seorang perempuan, saya menyadari bahwa banyak sekali tuntutannya. Perempuan harus bisa masak, harus bisa ngurus rumah, harus bisa mengerti pasangannya, harus bisa ini, harus bisa itu. Belum lagi tuntuan sesuai perkembangan zaman. Harus ngasih ASI eksklusif, harus RUM, harus memberikan MPASI yang buatan sendiri, harus menerapkan pola asuh ini, anak nggak boleh main gadget, dan sederet lainnya.
Pusing nggak sih?
Dengan semakin berkembangnya zaman, informasi dari tetangga sebelah atau bahkan di belahan dunia lain bisa dengan mudah kita intip.
"Si A bisa masak dari appetizer sampai dessert sendiri, aku harus bisa!"
" Si B anaknya sudah bisa baca di usia 4 tahun, ayo nak, kita belajar baca juga!"
..dan banyak lagi..
Hal ini menimbullkan pressure bagi diri kita sendiri saat menjalankan peran sebagai ibu dan istri.
Akibatnya? Kita jadi suka lupa the real joy of motherhood. Kita sering lupa bagaimana nikmatnya peran ibu yang sesungguhnya, karena tuntutan sosial yang ada di sekitar kita.
Selanjutnya: Terus, harus gimana? >>
*Gambar dari sini
Let it go!
Biar saja orang mau bilang apa, yang penting kita yakin saat memilih untuk menjalankan sesuatu. Belajar dari mana-mana itu harus. Ikut seminar ini itu, membaca banyak referensi, tentu sangat disarankan. Tapi balik lagi, apakah kita menjalankannya dengan nyaman?
Santai saja, semisal kita punya list dari A sampai Z mengenai jadi orangtua,ketika C-nya nggak terlaksana, ya sudahlah. Baca cerita dari Tyas saat harus menjadi orangtua yang realistis.
Mengejar kesempurnaan, nggak ada salahnya. Tapi kalau malah bikin badan atau pikiran capek? Belum lagi masalah masalah kepuasan. Apakah kalau kita melaksanakan semuanya jaminan keluarga bahagia? Bahkan saat saya ngobrol sama Mbak Astri Nugraha yang kerap dipandang sebagai ibu sempurna saja, ia merasa dirinya masih banyak kekurangan. Baca obrolan lengkap saya dengan Mbak Astri Nugraha di sini.
Dipandang sebagai perempuan yang multitasking, supermom, atau apalah sebutannya, tentu keinginan semua perempuan. Tapi sekali lagi, siapa yang memandang hal itu? Siapa yang merasakannya? Bukankah kita melakukan semua ke-multitasking-an tersebut harusnya untuk keluarga? Syukur-syukur kalau posisi kita bisa bermanfaat untuk semua orang juga.
Lagian, hidup kita nggak lagi disyuting, kok. Jadi ada cacat sedikit, wajar lah :)
Balik lagi ke Frozen, kalau saya sih lebih senang melihat Elsa setelah jadi the Snow Queen ya, lebih lepas dan bebas. Satu lagi, ternyata dia bisa mengendalikan kekuatan sihir yang selama ini ia takutkan itu, kok! Kalau dianalogikan dengan posisi kita sebagai ibu dan istri, ibu yang lepas, istri yang santai, rasanya akan lebih mudah menjalani perannya sehari-hari, deh.
Bagaimana menurut Mommies?