"Ini bukan berarti kami mentolerir bunuh diri, tidak sama sekali. Tapi ini barangkali case-case sangat spesifik pada diri siswa itu," ujar mantan Rektor ITS Surabaya. Apalagi, dari 4,1 juta peserta UN SMP, yang bunuh diri tidak menunjukan angka yang signifikan. Seraya berkelakar, jika ada satu kelas bunuh diri massal usai UN, baru bisa dipikirkan ulang penyelenggaraan UN.
Kutipan tersebut saya ambil dari berita di sini, saat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, M. Nuh, berkomentar soal kejadian bunuh diri seorang siswa setelah ujian nasional. Kata 'barangkali' membuktikan ini hanyalah dugaan, dan menurut saya pejabat publik tidaklah pantas menduga-duga soal apapun. Kedua, kelakaran beliau menunjukkan betapa bapak menteri yang terhormat ini kurang memiliki rasa, dan otomatis saya menarik garis ke kejadian komentar Dinda dan kursi prioritas di sosial media beberapa waktu lalu.
Bagaimana kita bisa mengharapkan empati saat atasan di negara ini dengan santai menunjukkan komentar tanpa rasa untuk sebuah kejadian yang menurut saya tidak bisa dianggap enteng: Bunuh Diri. Apapun argumennya, bunuh diri yang berarti hilangnya nyawa seseorang akibat tindakannya sendiri, bukanlah kejadian yang biasa.Kalau bicara soal empati, berarti sebelum berkomentar harusnya Pak Nuh memosisikan dirinya sebagai orangtua anak tersebut. Coba rasakan bagaimana pedihnya hati bapak saat menemukan anak yang hanya tinggal jasadnya saja sepulang dari menjalani ujian nasional. Iya, karena anaknya sudah meninggal maka kita sudah tidak bisa bertanya lagi soal apa dan kenapa.
Tapi bukan berarti bisa langsung ditarik kesimpulan bahwa itu adalah kejadian luar biasa dengan spesifikasi tertentu pada diri siswa tersebut. Moreover, if there's any specific case, harusnya malah ditelisik lebih lanjut, kenapa ada saja hal seperti ini terjadi? Kan anak-anak itu utamanya bermain, kenapa sampai ada anak yang bisa memikirkan opsi bunuh diri?
Selanjutnya: Berkomunikasi dengan yang lebih tua, cukupkah lewat teks saja? >>
*Gambar dari sini
Kejadian mati rasa lainnya adalah ketika seorang dosen menuliskan bagaimana mahasiswa saat ini terasa tidak punya tata krama ketika mengirimkan SMS kepada dosen. Dosen ini bernama Tenia, tulisannya bisa dilihat di sini, dan yang menggelikan adalah ketika membaca boks komentar. Tidak sedikit komentar yang mengatakan bahwa dosen yang menulis adalah seorang yang gila hormat, yang terlalu menyanjung kata 'maaf'. Wah, saya terkejut, loh!
Padahal selain kata-kata yang harus ditata, menurut saya, hal yang perlu dipikirkan untuk berkomunikasi dengan orang yang lebih tua adalah "Apakah pantas dengan SMS saja?". Banyak, loh, hal yang perlu dipikirkan dari mulai layar dan ukuran huruf yang terlalu kecil untuk dosen yang sudah berumur, keterbatasan pulsa, dan masih banyak lagi. Saya sendiri biasanya mengirim SMS ke dosen sebagai awal meminta izin untuk menghubungi beliau. Jika sudah dibalas, maka saya akan menelpon langsung untuk menyampaikan tujuan saya menghubungi dosen tersebut. Ini lain cerita jika memang dosennya yang memberi saran untuk cukup berkomunikasi via SMS atau email, ya. Tambahan lagi 'protes' dari seorang dosen yang merupakan Ayah saya sendiri. Beliau bilang, jangankan mengirimkan SMS dengan sopan, tatap muka saja jarang sekali. Begitu katanya ketika kami bercakap soal dosen wali dan mahasiswanya.
Masih teringat juga percakapan saya dengan seorang dosen yang juga ketua jurusan di kampus ketika saya bertemu beliau untuk urusan akademis di awal 2014 ini, beliau menyatakan mahasiswa jaman sekarang seperti anak balita. Senangnya dilayani. Generasi yang sangat manja dan mati rasa. Orangtua juga bisa 'dijajah' oleh anaknya, si mahasiswa ini. Apapun yang anaknya minta akan diberikan, seakan hidup ini begitu mudah bisa mendapatkan apapun tanpa perlu perjuangan. Mental ini yang harusnya dihilangkan, agar ada rasa yang tumbuh dalam menghadapi hidup sebagai manusia.
Saya masih ingat dengan jelas, dan masuk di dalam hati, bagaimana Ibu dan Bapak menekankan bahwa kata Maaf, Tolong, dan Terima Kasih adalah tiga kata yang penting dalam hidup ini. Amel, pernah menulis soal kata-kata ini di sini, bahkan menambahkan kata Permisi yang juga tak kalah penting untuk dipakai dalam berperilaku. Manda juga pernah berbagi kalau mengucap Maaf itu tidak semudah yang dibayangkan. Kadang ada rasa gengsi, malu, sungkan yang muncul saat berhadapan dengan situasi tersebut. Iya mungkin memang sulit, tapi bukan berarti dilupakan, sehingga anak-anak itu menjadi pribadi yang mati rasa, yang tidak peduli dengan keadaan sekitarnya, dan memberikan komentar tanpa empati terhadap situasi sosial yang ada. Bagaimana caranya? Sebagai orang tua, cara termudah adalah memberi contoh.
Teringat saran dari Kak Seto Mulyadi, "Sentuh lah anakmu!" Sentuh disini maksudnya secara fisik, bukan sekedar bicara soal A B C D E, namun tangan dan mata tertuju pada gadget yang ada di tangan. Belai dengan kasih sayang, ajarkan berbagai rasa, dimulai dengan cara memeluknya, dan beritahu untuk bisa menjadi manusia yang berkualitas, anak harus bisa merasakan apa yang terjadi di lingkungan sekitarnya.
Menurut Mommies bagaimana? Apa ya, yang bisa dilakukan agar anak-anak tercinta tidak tumbuh bersama menjadi generasi mati rasa?
*Gambar dari sini