Orangtua: Fasilitas Pelindung Atau Fasilitas Belajar?

Parenting & Kids

umnad・30 Apr 2014

detail-thumb

family_mommiesdaily

Pada dasarnya, naluri sebagai orangtua adalah membuat anaknya aman nyaman, memenuhi segala keinginannya yang belum tentu merupakan kebutuhannya atau juga sebaliknya, ‘memaksa’ segala keinginan ortu yang belum tentu sesuai kebutuhannya dengan dalih untuk kebaikan dirinya (sound familiar, isn’t it).

Naluri yang demikian dalam ruasdito -nya Pak Toge Aprilianto, disebut dengan faspel (fasilitas pelindung). Nggak mau anaknya susah, nggak mau anaknya repot, entah itu untuk kepentingan anaknya atau sebenarnya untuk kepentingan kita sendiri, yang nggak mau dengar berisiknya anak, nggak mau capek, dan seterusnya. Dengan dalih, nggak tega, biar ga berantakan :’(

Namun, biasanya menjadi faspel, mudah di awal saja, selanjutnya akan makin sulit. Sulit, karena anak semakin tumbuh besar, dan pada saat itu kita menuntut anak menjadi pribadi dewasa sedangkan kita sebagai faspel tidak pernah melatihnya. Yang ada, anak ‘dipaksa’ dewasa tanpa dia tahu dewasa itu seperti apa.

Dulu, dengan alasan ‘malas’ bersihin sisa makanan yang berceceran karena anak-anak makan sendiri, saya lebih memilih untuk menyuapi anak-anak. Hingga, ketika kakak, anak tertua saya berumur 8th, masih minta disuapi, padahal di sekolah dia bisa makan sendiri. Lalu saya tanya diri sendiri, “ini anak-anak, kalau saya meninggal besok, sudah bisa apa saja..apa yang sudah saya tinggalkan untuk kemandirian mereka..”

Sejak saat itu saya mulai mengubah cara pendidikan ke anak-anak.

Ketika mulai mengubah pendidikan ke anak, tentu saja tak semudah membalikkan telapak tangan, anak langsung bisa mandiri. Dari sisi saya sendiri, tentu perlu ‘beli’ sumbu sabar yang lebih panjang lagi :-D. Yang biasanya tak perlu memikirkan rumah yang berantakan karena nasi, saat itu perlu untuk melatih anak-anak bagaimana selanjutnya jika ada nasi yang berceceran. Dari sisi anak-anak, tentu saja sama, untuk memulai semua ini tak mudah. Yang biasanya tinggal mangap, saat itu mereka perlu menggerakkan tangannya untuk memasukkan makanan ke mulutnya.

Usaha seperti ini, dalam ruasdito disebut dengan fasbel (fasilitas belajar). Kadangkala, kita perlu menekan segala rasa yang merupakan naluri sebagai ortu. Membiarkan anak menangis ketika mereka ‘memaksa’ keinginannya dipenuhi, ‘mengizinkan’ mereka untuk merasakan segala rasa, ‘menonton’ nya ketika mereka bertengkar (selama aman dan adil).

Memang, menjadi fasbel, sulit di awal, namun, kita bisa menikmati kemudahan setelahnya. Mudah, karena anak yang semakin tumbuh besar, dan mereka sudah mendapatkan ‘pelatihan’ nya. Yang ada, anak menjadi dewasa tanpa perlu dipaksa.

Seperti kata pepatah, berakit rakit ke hulu berenang renang ke tepian, bersakit sakit dahulu senang kemudian.

Iyaa, saya baru setahun belakangan ini mengubah cara didik pada anak-anak, awalnya memang sulit, kejeduk jeduk terus. Tapi seiring berjalannya waktu juga proses belajar, saya merasakan mudahnya.

Menjadi faspel atau fasbel itu memang pilihan. Mommies mau yang mana?