Sabar Itu Makhluk Apa, Ya?

Parenting & Kids

Yulia Indriati・17 Dec 2013

detail-thumb

Perempatan Pondok Indah di pagi hari selalu semarak. Ditambah lagi ada aja mobil dan motor yang nyelonong lampu merah dan nyangkut berhenti di tengah jalan membuat suasana pagi tiap mengantar Hanami pergi sekolah jadi semakin riuh. Seringnya sih saya sadar situasi ini adalah potensi untuk bikin mood jelek, jadi tarik nafas dan memilih untuk berdamai aja. Nggak pengen jadi pengeluh atas kemacetan Jakarta juga sih, toh saya salah satu yang ikut berkontribusi dalam kemacetan ini. Haha.

Eh tapi bukan itu inti dari hal yang pengen saya ceritakan di sini. Jadi, dengan segala kehebohan pagi, termasuk pagi-pagi buta mompa ASIP untuk adiknya Hanami yang ditinggal setengah hari di rumah sama pengasuhnya, menyiapkan perlengkapan sekolah Hanami (yang ini Alhamdulillah dilakukan oleh ayahnya) dan juga menyiapkan diri sendiri sebagai supir yang mengantar Hanami ke sekolah sekalian berangkat kerja, semuanya dijalani karena memang sudah menjadi tanggungjawab sebagai orangtua, dan tentunya memerlukan kesabaran seluas samudera :p

Dari rumah sampai di sekolah Hanami, ditempuh dalam waktu kurang lebih 45 menit. Selama di perjalanan menuju sekolah, saya dan suami sepakat untuk membatasi “screen time” untuk Hanami. Tidak boleh main iPad atau tablet selama di hari sekolah dan di mobil tidak ada TV untuk membuatnya “anteng”.

Untuk jarak tempuh yang nggak sebentar ini (Yes, sudah bagian dari konsekuensi karena milih sekolah tersebut), tentunya saya harus menyiapkan aktivitas yang nggak kalah menarik. No-screen-policy ini termasuk buat saya juga yang harus menahah godaan melihat handphone yang saya letakkan di kantung pintu mobil. Terutama pas macet, memanggil-manggil untuk dimainkan :p.

Jadi biasanya kami ngobrol dan main. Dan di saat ini lah saya mulai merasa kesabaran saya yang saya kira udah seluas samudra ternyata saya nggak segitu luasnya juga. Haha.

Pas ngobrol, biasanya topiknya random aja: seputar sekolahan, teman-temannya Hanami atau film yang kita tonton, dan lain-lain. Nggak jarang obrolan ini berujung dengan salah satu dari kami emosi, karena dari obrolan itu ada keinginan Hanami yang tidak ingin saya penuhi karena saya berusaha menjelaskan bahwa nggak semua yang dia pengen bisa saya penuhi terutama kalau soal beli-beli dan udah ada aturan yang kita sepakati bareng untuk itu. Kadang-kadang saya nyesel sih kenapa juga mesti berujung ke saya mengoceh “nasihat” berkepanjangan.

Dua bulan belakangan ini karena Hanami udah mulai bisa baca, selain bahas suatu topik, dia juga jadi dia banyak bertanya tentang hal yang dia lihat selama di jalan. Nah itu, kadang saya sabar menanggapinya dan menjawab sebagaimana mestinya, tapi sesekali saya temukan juga diri saya menjawab dengan jawaban ala “biar cepet aja”. Astaga. What’s wrong with me.

Nah, yang paling 'gong' adalah saat kami main hitung-hitungan matematika di mobil.

“Bu, main tambah-tambahan yuk!”

“Yuk, boleh! Aku yang nanya-nanya ya.”

“OK aku pakai jari ya.”

“3+3 … 2+3 … 1+2 .”

Dan Hanami pun lincah menggunakan jarinya dan menjawab dengan benar. Saya sih bukan penganut -anak harus segera bisa calistung- terutama di usia Hanami ini. Saya juga tidak mengikutkan Hanami dalam kursus calistung. Patokan saya, kalau dia yang ngajak duluan dan tertarik, saya sambut aja.

“Yang lebih susah dong, Bu.”

“6+9 … 7+3 … 8+4 …”

“Ini jarinya gimana? Kok jari 9 aku nggak bisa? Ibuuu lihat jari aku dong.”

Mulai nih.

Dan mulai lah saya (yang saya sadari belakangan tentunya :p) mulai banyak berdecak atau mengeluarkan komentar seperti: “aduh nanti aja deh”, “ya coba dong kamu usaha dulu” (sambil rada ngegas :p). Ya tentunya nggak semudah itu buat dia untuk membentuk formasi jari angka-angka yang besar, seperti angka 8 dan 9. Terpancing dengan Hanami yang kesal karena kesulitan dan saya pun minta acara main tambah-tambahan ini dihentikan dulu dan Hanami nangis karena menurut dia cara bicara saya tidak baik alias jadi marah-marah.

Astaga, sabar itu makhluk apa ya? Datang dan pergi. Manusiawi, mungkin itu jawaban yang cukup bisa diterima.

Kadang saya merasa nggak fair ke Hanami, karena saya akui aja, biasanya saya jadi lebih “sumbu pendek” alias mudah terpancing emosinya karena misalnya: lagi kurang tidur, banyak pikiran atau pun karena melakukan beberapa hal sekaligus di waktu bersamaan. Daripada jaim, akhirnya saya akui aja ke Hanami kalau saya lagi capek: "Maaf ya, Ibu lagi capek, ngomongnya jadi kayak marah-marah."

Di konten “Nggak Sabar Sama Anak, Wajarkah?” dari 24hourparenting.com ini, ada beberapa hal yang bisa jadi pertimbangan:

  • Menjadi orangtua adalah peran yang melekat terus-menerus.
  • Anak memang perlu figur orangtua yang realistis, dengan rangkaian emosi yang beragam.
  • Efek emosi orangtua, tidak tergantung pada emosinya, tapi pada cara orangtua mengkekspresikannya dan mengendalikannya.
  • Menyatakan emosi yang kita rasakan pada anak sangat penting.
  • Lalu, gimana cara mengatasi situasi seperti ini? Langsung link ke 24hourparenting.com di atas ya.

    Gimana mommies, biasanya paling nggak sabar kalau lagi dalam situasi apa sih? Gimana mengatasinya?

    Yulia Indriati adalah content manager di 24hourparenting.com. 24hourparenting.com adalah adalah situs parenting yang memuat how-to-parenting, singkat dan to the point, juga membahas tentang menjadi orangtua, dan ide kegiatan ortu-anak. Dilengkapi visual yang semoga asik. Diasuh oleh psikolog dan orangtua.