Zaman lajang dulu, saya terbiasa ikut Mama belanja bulanan di supermarket retail dari salah satu negara di Eropa Barat. Otomatis, saya berpikir belanja yang enak itu ya di supermarket besar. Tempatnya enak, ber-AC, kalau capek tinggal duduk di foodcourt-nya, segala barang ada, dan paling penting, bisa bayar pakai kartu kredit! Sampai sekarang, mama saya masih penganut aliran belanja bulanan di supermarket. Sepertinya sih semua supermarket sudah dicoba. Dari zaman supermarket Golden Truly yang legendaris di bilangan Blok M (sekarang sudah jadi terminal, tinggal satu-satunya di Jl. Gunung Sahari) hingga supermarket asal Negeri Ginseng yang tengah hip itu.
Apakah Mama pernah belanja di pasar tradisional? Jawabannya, nyaris nggak pernah! Alasannya klasik, becek, bau, gerah, dll. Baru saat ada pasar modern pertama di daerah Serpong, Mama lumayan sering belanja di situ, terutama kalau weekend. Karena ada bonusnya, bisa beli makanan enak!
Nah, begitu menikah dan boyongan ke pulau seberang, kebiasaan belanja bulanan di supermarket itu terpaksa harus saya ubah. Pasalnya, di kota tempat saya tinggal, supermarket yang lazim ada di kota-kota besar itu nggak ada. Kalaupun ada supermarket ya kualitas barangnya kurang memuaskan, apalagi jika membeli daging atau sayuran segar, nggak ada yang oke! Malah untuk belanja bulanan (keperluan rumah tangga) saya lebih suka belanja di mini market karena lebih lengkap.
Pilihan paling logis untuk mendapatkan bahan makanan segar hanyalah di pasar atau tukang sayur keliling.
Awalnya, saya canggung berbelanja di pasar atau tukang sayur. Soalnya, seumur-umur saya hampir nggak pernah belanja di pasar sendirian! Saya agak buta harga daging, ayam, sayur, dll. Plus saya nggak pernah menawar, dibilang segitu harganya ya pasrah aja langsung beli :p Meski begitu, saya merasa beruntung sering ikut Mama belanja dan diperkenalkan dengan beragam bahan makanan dan bumbu dapur. Malu juga lho kalau pergi ke pasar mau beli merica tapi nggak bisa membedakan merica dan ketumbar hihihihi.
Lambat laun, saya ketagihan belanja di pasar. Belanja adalah me-time saya! Terlebih lagi, enaknya belanja bahan makanan di pasar atau tukang sayur keliling adalah semua yang dijual pasti masih baru karena si penjual membeli barang dagangannya hari itu juga dari pasar induk. Ya pasti lebih mahal sedikit dibandingkan beli di pasar induk, tetapi buat saya yang malas pergi jauh-jauh, pasar dekat rumah saja sudah mencukupi kebutuhan harian. Kemudian, kalau sudah langganan, pasti dikasih murah oleh bude penjualnya. Dan yang paling asyik, meski nggak bisa pakai kartu kredit, pas uang lagi ngepas, boleh ngutang dulu :D
Selain itu, di pasar-pasar kecil di kota ini, saya mudah menemukan hasil laut yang relatif segar. Karena saya tinggal di kota daerah pesisir, hasil lautnya melimpah. Saya bisa dengan mudah membeli ikan tuna, kakap, cumi, udang, bahkan kepiting di pasar. Sementara itu, daging sapi atau daging giling nggak begitu banyak dijual di pasar dekat rumah. Harus pesan sebelumnya, supaya bisa dibelikan dan digiling dulu di pasar induk. Soal harga, ya nggak bisa dibandingkan dengan harga di Jawa. Ingat nggak saat harga bawang merah melonjak naik? Kalau di Jawa bisa Rp 40.000,-/kg, di sini jadi Rp 80.000,-/kg. Malah, saat Lebaran lalu harga daging sapi mencapai Rp 130.000,-/kg! Maklum, di sini tidak memproduksi hasil bumi, sehingga seluruh barang didatangkan dari luar daerah. Nggak heran harganya selangit, tetapi ya tetap dibeli juga.
Kini saya lebih suka belanja di pasar daripada di supermarket. Memang kembali pada kebiasaan dan kebutuhan kita masing-masing, tetapi satu kelebihan belanja di pasar adalah interaksi dengan penjualnya. Dalam opini saya, belanja di pasar pun mesti ditambah poin kebersihan pasar. Saya lebih suka belanja di pasar kecil yang ada di komplek perumahan daripada di pasar induk. Selain lebih bersih, pasarnya pun lebih tertata, sehingga belanja jadi nyaman.
Ehm, bagi saya nih mau belanja di supermarket atau di pasar, keduanya punya satu persamaan: bikin kalap pengen beli ini itu! Setuju 'kan?
*photo by @ilhamsyahm