Belum selesai kehebohan yang ditimbulkan Miley Cyrus, sekarang muncul kecelakaan yang dialami oleh Dul, putra bungsu Ahmad Dani dan Maia Estianty. Semua menjadi headline di berbagai media. Miley di media asing, Dul di media lokal.
Namun satu hal yang bisa dijadikan benang merah dari dua kejadian ini. Keduanya melibatkan remaja. Miley mungkin sudah tergolong cukup umur, dan Dul masih 13 tahun. Tapi, keduanya sama-sama masih di batas usia remaja, belum masuk kategori dewasa. Dan pertanyaan semua orang sama: orangtuanya ke mana ya?
Ngomong-ngomong soal remaja dan orangtua, beberapa hari lalu, saya juga sempat iseng melihat-lihat beberapa akun instagram selebriti remaja dan anak-anak dari selebriti lokal. Semuanya sama-sama di-follow dan mem-follow orangtua masing-masing. Tapi isinya bikin saya melotot. Gimana nggak? Ada yang posting foto mesra bareng pacar. Nggak cuma di lokasi-lokasi normal kayak di mobil atau restoran, tapi juga di kamar, lho, sambil bobo-bobo cantik segala. Wow!
Terus hari ini, saya juga dapat kolase beberapa foto speedometer mobil yang menunjukkan kecepatan tinggi. Rupanya, sedang ada tren di anak ABG, terutama pria, untuk memacu mobilnya sekencang mungkin, lalu memotret speedometer sebagai bukti dan mem-posting-nya di social media. Dengan begitu, mereka akan menuai like dan komen, serta dipuja-puji peer group sebagai pemberani. Ditengarai, beberapa kasus kecelakaan lalu lintas di jalan tol yang melibatkan anak muda dan menewaskan beberapa korban disebabkan hal-hal konyol seperti ini.
Sementara di kalangan remaja putri, trennya masih standar sih, yaitu memotret diri sendiri atau selfie, secantik mungkin. Tapi belakangan ini kian banyak yang tidak sungkan-sungkan memajang foto diri mereka saat memakai bikini atau busana minim di socmed, untuk menuai pujian.
Terus terang, jalan-jalan di akun socmed, atau tepatnya instagram, remaja masa kini bikin saya deg-degan. Lah sekarang aja mereka begitu, gimana nanti saat anak saya remaja, kira-kira 10 tahun lagi? Aduuhh… Rasanya pengen masukin Nadira lagi ke dalam perut deh!
Yang jadi pertanyaan besar dalam benak saya adalah, sekali lagi, ke mana orangtuanya ya? Padahal yang saya lihat, orangtua anak-anak ini juga aktif di socmed, dan saling follow dengan anak-anak masing-masing. Lah, kenapa postingan anak-anaknya nggak dikontrol?
Bukan maksud hati mau menghakimi atau menuding orang lain, sih, tapi saya bertanya seperti ini karena ingin tahu apa yang ada di benak para orangtua remaja tadi. Saya pernah remaja, dan sekarang saya jadi orangtua. I know and still remember exactly how it felt to be young, careless and free. Makanya saya nggak mau jadi orangtua yang sakelijk dan kolot, karena saya ingin anak saya merasakan masa muda yang indah seperti saya dulu. Tapi, meski begitu, saya juga nggak mau anak saya jadi seperti remaja-remaja yang over-sharing things in socmed itu.
*gambar dari sini
Saya pernah berbincang dengan seorang teman yang punya anak berusia pre-teen dan remaja. Ia cerita, ia membolehkan putra-putrinya bergaul di dunia maya. Syaratnya hanya satu. “Saya punya akun Facebook, Twitter dan Instagram juga, dan mereka harus mau saya follow. Dengan begitu, saya bisa mengontrol aktivitas mereka di situ,” tutur teman saya, sebut saja namanya Lisa.
Jadi, kalau ada aktivitas kurang normal di akun Facebook dan Twitter anak-anaknya, Lisa akan langsung bertanya kepada mereka. Begitu pula di Instagram. Sebelum anak-anaknya membuka akun di Instagram, Lisa sudah memberitahu mereka untuk hanya mem-posting foto-foto yang sifatnya umum.
“Sama seperti Facebook, saya melarang mereka mem-posting foto-foto yang bersifat terlalu pribadi, apalagi yang memamerkan wilayah pribadi, seperti bagian tubuh pribadi atau alamat rumah. Kita tidak pernah tahu predator macam apa yang ada di luar sana kan?” katanya.
Selain itu, Lisa juga menekankan kedua anaknya agar menjaga bahasa dan perkataan mereka di dunia maya. “Jangan sampai mereka mempermalukan diri sendiri dan keluarga. Masa muda memang harus fun. Tapi kalau dilakukan berlebihan tanpa tanggung jawab, dampaknya bisa berat. Masa depan mereka masih panjang. People might forget, but the words and pictures they post will remain in the net forever. They will keep on coming back to haunt them someday,” jelasnya.
Saya sendiri teringat masa-masa ABG dulu. I did sooo many silly and humiliating stuffs back then. But I guess I’m lucky because in the past, there’s no such thing as social media like today. Jadi banyak hal-hal memalukan yang saya lakukan di masa lalu, hanya berakhir di buku harian saja. Itupun Alhamdulillah bisa dihilangkan tanpa jejak, hehehe…
Dengan banyaknya socmed, remaja sekarang memiliki banyak sekali wadah untuk bisa eksis dan tampil ke permukaan. Bagus sih untuk latihan pede di dunia nyata. Tapi kalau kebablasan, ya jadinya seram juga ya. Apalagi meski kita hapus akun socmed, file-nya tetap akan ada di dunia maya, lho.
Lantas, apa yang harus diperbuat orangtua? Saya rasa, apa yang dilakukan Lisa sudah cukup tepat. Anak harus diberikan rasa tanggung jawab, sehingga ia merasa dipercaya dan dianggap dewasa. Namun tetap sebagai orangtua, kita harus mengontrol dan mengarahkan karena, hey that’s what parents should do, right?
Selain itu, satu hal lagi yang paling jleb dari Lisa adalah, orangtua harus memberikan contoh. “Kalau status saya di Facebook atau Twitter isinya mengeluh terus, anak-anak saya mungkin akan menganggap normal kalau mereka mengeluhkan segala hal di dunia ini. Atau jika saya hobi posting foto-foto saya bergaya seksi di Instagram, pasti putri saya akan merasa itu adalah hal yang normal untuk dilakukannya juga. Makanya saya berusaha membatasi diri supaya tidak over-sharing di dunia maya dan dicontoh anak-anak saya. Ingat aja pepatah ‘Guru kencing berdiri, murid kencing berlari.’ Kalau kita sebagai orangtua kasih contoh jelek, pasti dampaknya bakal jauh lebih jelek lagi pada anak-anak,” katanya.
Kalau menurut Mommies gimana? Any advice?