Saat jadi ibu, saya berusaha banyak mencari informasi di dunia internet. Bergabung dengan berbagai milis, baca-baca forum Mommies Daily, dsb dst. Dari situ, pergaulan saya pun jadi lebih luas. Saya bertemu sesama ibu yang sama-sama haus informasi seputar parenting.
Kami jadi berteman akrab, tahu nama anak, suami dan beberapa detail soal keseharian masing-masing. Apalagi saat kami semua ikut Twitter. Di Twitter, lingkaran pergaulan saya boleh dibilang lebih dari 50% adalah sesama ibu-ibu muda (ciyeh, ngaku-ngaku muda, nih, yeee). Selain milis dan Twitter, update dan tukar pikiran juga dilakukan di blog masing-masing.
Boleh dibilang, saya pun merasa nyaman dengan pergaulan seperti ini. Saya bisa tahu kira-kira seperti apa si A dengan membaca kicauannya di Twitter, milis, forum dan blog-nya. Sehingga saat berinteraksi atau bertemu langsung, saya sudah punya bekal tentang apa-apa yang si A sukai/tidak sukai, dan seterusnya.
*dengan forum member Female Daily, di mana saya menemukan teman-teman baru dari dunia maya ke dunia nyata
Secara tidak langsung, saya jadi punya lingkup pergaulan yang cukup homogen di antara ibu-ibu dunia maya. Rata-rata setuju bahwa ASI yang terbaik. Rata-rata setuju bahwa MPASI homemade is the best. Rata-rata peduli pada kesehatan anak, mulai dari vaksinasi hingga periksa gigi sejak anak berusia 1 tahun. Rata-rata peduli pada pola asuh, sehingga rela menyisihkan waktu untuk ikut seminar parenting, atau minimal, membaca dan me-retweet kicauan seputar parenting. Terus terang, saya pun jadi berpikir, seluruh ibu-ibu di dunia pasti berpola pikir seperti saya dan teman-teman saya sesama ibu-ibu di dunia maya.
Pola pikir saya itu sedikit berguncang kala Nadira masuk sekolah. Social skill saya untuk bergaul dengan ibu-ibu selama ini hanya tajam di dunia maya saja. Untuk bergaul langsung dengan fellow mommies di dunia nyata, kesempatannya jaraaaaanng sekali. Di kantor, teman-teman saya 80 persen adalah laki-laki. Jadi, susah banget cari “sekutu” untuk ngobrol urusan ibu-ibu.
Sementara, di sekolah Nadira, saya benar-benar clueless. Nggak satu pun orang tua murid yang saya kenal di situ. Waduh, saya pun kelabakan. Apalagi saya kan sehari-hari bekerja. Jadi kesempatan saya ke sekolah Nadira hanya di pagi hari saja saat mengantarnya. Gimana bisa gaul sama ibu-ibu lain, dong?
Selama beberapa bulan awal, sambil Nadira beradaptasi dengan teman-teman sekolahnya, saya juga beradaptasi dengan ibu-ibu teman sekolahnya. I know, it sounds silly, right? Banyak kok ibu-ibu yang nggak peduli dengan pergaulan orang tua di sekolah anaknya. Tapi saya cukup peduli karena, seperti yang Lita pernah tulis sebelumnya, pergaulan ibu-ibu ini membawa keuntungan tersendiri lho, terutama untuk ibu bekerja seperti saya. Lagi pula, saya ini tipe orang yang gemar berteman. Jadi jika masuk lingkungan baru, saya akan berusaha mencari teman, hehehe…
Karena itu, tiap ada kesempatan menunggu di sekolah Nadira saat saya cuti, misalnya, saya biasanya suka sok akrab dengan ibu-ibu lain. Obrolan standar, ya, dibuka dengan mommies thing seperti “Nanti anaknya mau lanjut TK di sini atau pindah, Mbak?” atau bahkan urusan perempuan seperti tas, baju dan sepatu. Dari situ lanjut deh tukeran pin BB atau nomor telepon. Saat saya diajak ikut arisan, saya langsung mengiyakan. Meski belum pernah datang saat arisan berlangsung karena saya bekerja, yang penting buat saya adalah, saya bisa bersosialisasi dengan ibu-ibu di sekolah Nadira dan punya teman baru.
Sekarang, saya jadi bisa lebih pede saat bersosialisasi dengan ibu-ibu lain di dunia nyata, dengan cara tradisional ini. Seperti dengan ibu-ibu di lingkungan komplek saya, ibu-ibu di kantor suami, dan sebagainya. Practice makes perfect right?
Meski begitu, lingkungan pergaulan saya yang nyaris homogen di antara ibu-ibu dunia maya mendapat tantangan saat bergaul di dunia nyata. Di dunia nyata, masih banyak ibu yang nggak paham cara mencari informasi di google meski gadget-nya adalah keluaran terbaru. Di dunia nyata, masih banyak ibu yang bengong saat diberitahu soal ASI, MPASI homemade dan manfaatnya. Ternyata, dunia itu memang nggak selebar daun kelor, or should I say, dunia nggak selebar Twitter dan blog, ya.
Meski awalnya kaget, tapi lama-lama saya berusaha memahami. Seperti kata pepatah, “Rambut sama hitam, isi kepala siapa yang tahu,” jadi ya sudah lah. Apa yang saya percaya mungkin belum diketahui orang lain. Saya pun berusaha nggak sotoy dan memaksakan apa-apa yang saya ketahui dari ibu-ibu di dunia maya kepada ibu-ibu di dunia nyata.
Sesekali saya memasukkan sedikit pengetahuan saya seputar parenting atau urusan anak dalam obrolan kami. Kalau mereka mau belajar, akan lebih baik, bukan? Apalagi seperti yang Bu Elly bilang dulu, “It takes a village to raise a child”. Jadi berbagi pengetahuan boleh-boleh saja dilakukan agar bisa mengasuh anak yang baik. Tapi sebaiknya jangan dengan paksaan. What do you think, Mommies?