Sebagai seorang ibu yang harus kembali bekerja setelah masa cuti melahirkan habis, kebutuhan akan baby sitter mau ga mau terpaksa harus dipenuhi. Saya beruntung masih ada mertua yang tinggal sangat dekat dengan rumah kami jadi baby tidak benar-benar sendirian hanya dengan pengasuhnya saja. Masa-masa masih menyusui tidak terlalu sulit untuk memberitahu suster apa saja yang boleh dan tidak boleh untuk urusan bayi. Apalagi saat itu saya kebetulan mendapat seorang baby sitter yang sudah berpengalaman, masih muda dan tidak bertingkah macam-macam.
Masalah datang ketika setelah anak kedua berusia 2 tahun, suster yang sudah ikut saya dari anak pertama berusia 6 bulan mau pulang kampung dan menikah. Saya kebingungan karena mencari pengasuh anak yang cocok hampir sama seperti mencari jodoh, bahkan mungkin lebih penting karena dia yang akan memberi pengaruh kepada anak- anak di rumah. Saya sampai berdoa dan mencari referensi kesana kemari. Belum lagi mendengar cerita-cerita "seram" tentang pengasuh anak dari teman-teman saya yang tingkah polahnya ada-ada saja.
Akhirnya suster sepakat untuk pulang seminggu setelah penggantinya datang untuk membantu saya training si mbak yang baru. Karena ini hampir berbarengan dengan keputusan saya resign dari pekerjaan tetap di kantor dan menjadi freelancer, saya memutuskan untuk tidak mengambil suster lagi. Anak-anak saya juga sudah cukup besar dan belajar mandiri jadi tidak perlu perhatian terlalu khusus, selain itu gaji mbak lebih murah dibanding suster (maklum emak-emak teteup mikirin penghematan hehe).
Naaah si mbak yang baru ini berusia 18 tahun, dia sudah bekerja dari umur 14 tahun dan merupakan tulang punggung keluarganya di kampung dengan ibu yang sakit jantung dan paru-paru. Sayangnya, mbak ini kurang berinisiatif, hanya mengerjakan yang ada dan mempunyai mental yang sangat "melayani". Contohnya semua kebutuhan anak-anak saya dipenuhinya. Kalau makan ditunggui dan kalau mulai jalan-jalan diikuti sambil disuapi. Anak-anak tentunya jadi merasa bisa melakukan apa saja, makan sambil main, tidak membereskan mainan, dipakaikan baju,dll. Saya jadi gemes sendiri dan awalnya berusaha kasih tahu pelan-pelan kalau anak-anak sedang diajarkan untuk mandiri jadi jangan "dilayani". Mungkin juga karena dia ingin cepat-cepat beres jadi melakukannya sendiri. Kejadian ini berulang-ulang sampai saya sempat kesal dan menegur berkali-kali. Ini pun ada caranya lho, takut dia tersinggung dan malah minta pulang. Serba salah *nyengir*
Tapi dari sini saya belajar menjalin komunikasi yang ringan sehingga bisa benar-benar dimengerti. Misalnya saya bilang, "Kamu awasi saja biar mereka belajar sendiri kan nanti malah enak kamu kerjanya nggak banyak" jadi ceritanya kan untuk kebaikan dia juga. Saya juga berusaha mengerti dan selalu meng-handle anak-anak bila saya di rumah supaya dia juga bisa melihat bagaimana cara saya ber interaksi dengan anak-anak. Untuk kebutuhan pribadi mereka dan pulsa pun saya belikan jadi gajinya bisa utuh. Kalau pergi selalu makan bersama dan ikut nonton atau rekreasi. Intinya, sih, saya mencoba untuk selalu memperlakukan mereka tidak seperti orang asing yang bekerja dengan kita agar mereka pun betah dan tidak macam-macam, karena kita sama-sama membutuhkan. Ya, kan?
*gambar dari sini