“De, kalo diajak ngomong lihat mama dong”
Pernah tidak mommies mengatakan hal itu kepada si kecil? Tentu semua tahu, ya, etikanya jika ada yang mengajak bicara, kita harus menatap orang tersebut. Tapi pernahkah mommies tanpa sengaja tidak mengalihkan pandangan dari layar gadget saat si kecil mengajak berbicara?
Bicara jujur, saya terkadang masih melakukan ini. Hiks. Saat sedang chatting dengan rekan kerja, sahabat lama yang memberikan gosip, membalas email, atau sekedar scrolling timeline twitter. Yuk, pengakuan dosa, siapa yang pernah begitu juga?
Patut diakui, kehadiran gadget pintar memang membuat kita lebih melek informasi, hiburan atau memudahkan komunikasi dengan kerabat, sahabat yang berjauhan. Namun perlu disadari juga bahayanya. Terutama jika semua anggota keluarga sudah terlihat ‘kecanduan’ dengan gadget di genggaman tangan mereka. Bayangkan saja, dalam handphone bisa memuat aneka fitur seperti yang sudah saya sebutkan di atas. Bahkan balita pun tak sedikit yang pandai mengoperasikan gadget pintar ini.
Salah satu penelitian menyebutkan jika orang sedang fokus pada gadget, otak kirinya dalam kondisi survival mode. Akibatnya, mereka jadi lebih mudah marah atau cuek. Pasti pernah, dong menyaksikan anak yang ditegur orangtuanya saat mereka sedang mengetik sesuatu di handphone/laptop masing-masing? Atau mungkin pernah mengalaminya sendiri?
Artikel yang pernah Hanzky tulis, Have You Been Listening with Your Eyes, sangat menyentil (bahkan menusuk) hati saya. Kita pasti sering protes saat orang lain asik dengan gadget masing-masing padahal kita sedang berbicara. Bagaimana dengan anak? Walaupun mereka tampak tak peduli, tapi jika kita memposisikan diri di posisi mereka, akan sakit hati kan?
Salah satu pakar parenting mengingatkan pentingnya kontak mata. Kehidupan digital membuat orang tidak belajar membaca wajah orang dan perasaan yang ditunjukkannya itu. Padahal, kontak mata merupakan wujud kepedulian terhadap orang lain. Karena sering kontak dengan gadget, orang jadi lebih tidak peduli. Padahal, dari raut wajah, kita akan tahu apakah dia kesal, sebal, gembira. Maka itu, penting sekali untuk meletakkan gadget saat anak mengajak bicara.
Menyadari hal ini, saya mulai mencoba mengurangi memegang handphone saat sedang bersama anak. Ketika di rumah, sebisa mungkin saya meletakkan handphone sejauh mungkin dari jangkauan saya, agar tak tergoda membuka Twitter atau browsing. Memang sih, saya masih jauh dari mereka yang mungkin sudah sama sekali no gadget saat dirumah. Tapi mudah-mudahan akan segera terwujud. Amin.
Pernah saya melihat sebuah keluarga yang sedang makan di restoran. Kedua orangtuanya asik dengan gadget masing-masing. Bahkan si anak pun (usianya sekitar SD), asik dengan games portable yang ada di tangannya. Huhuhu .... terbayang saat saya kecil dulu ketika makan di restoran berarti adalah saat istimewa, ayah dan ibu saya waktu itu belum akrab dengan dunia teknologi, kami biasanya menghabiskan makan sambil saling bercerita tentang berbagai hal. Atau pernah juga sedang di ruang tunggu dokter, ada pasangan yang duduk bersebelahan tapi asik dengan gadget masing-masing, sementara si anak dengan jaket tebal dan wajah kuyu dalam dekapan gendongan pengasuhnya. Tidak, saya tidak menyalahkan ini. Mungkin memang orangtuanya ada suatu hal yang teramat penting berkaitan dengan gadget mereka, tapi tidak tahu kenapa saya sedih. Mengutip sebuah kalimat dalam Seminar Pesat kemarin, obat terbaik adalah pelukan sang ibu :’(
Tekad saya makin bulat untuk meninggalkan gadget saat sedang bersama anak. Harusnya tidak ada SMS, BBM, YM, email, Twitter yang segitu pentingnya hingga saya harus mengorbankan perasaan anak saya. saya tidak mau kemakan “teknologi itu mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat”. Bagaimana dengan Anda?
*gambar pertama diambil dari sini