banner-detik
PARENTING & KIDS

"Konsentrasi, Dong, Nak..."

author

vanshe28 Oct 2014

"Konsentrasi, Dong, Nak..."

kids_yoga*Gambar dari sini

Sering, nggak, sih, Mommies berkata begitu pada anak-anak?

Baru-baru ini, saya punya cerita tersendiri soal konsentrasi, tepatnya saat saya sedang mencari-cari sekolah baru untuk Bumy. Saya dan suami mengikutkan Bumy trial di sebuah sekolah. Sesudahnya, Wakil Kepala Sekolah menyampaikan hasil observasinya terhadap Bumy. Dari observasi tersebut, Wakepsek menilai Bumy bermasalah dalam konsentrasi. Ia menilai attention span (rentang perhatian) Bumy sangat rendah dari seharusnya. Lama konsentrasi anak minimal usianya dikali 2 menit, maka seharusnya Bumy bisa berkonsentrasi mengerjakan sesuatu selama minimal 4 x 2 = 8 menit. Tapi, di kelas, dia tidak bisa tekun mengerjakan sesuatu, bahkan waktu fokusnya tidak sampai 2 menit. Tidak hanya itu, eye contact-nya juga sangat kurang.

Beliau juga bilang, "Saat menggambar, kalau anak-anak lain biasanya menggambar sesuatu yang riil, yang mereka lihat sehari-hari seperti awan, pohon, rumah, dan lain-lain, tapi Bumy malah menggambar Angry Birds. Dari sini bisa kita lihat 'kan, kalau yang ada di kepala Bumy terus-menerus adalah Angry Birds."

Err… Saya dan suami tidak begitu terkejut mendengarnya karena ia memang menggemari tokoh kartun itu. Namun, saya terhenyak mendengar makna dari informasi ini dari perspektif seorang pendidik. Wakepsek menanyakan apakah Bumy suka main game memakai gadget dan menonton televisi, serta berapa lama itu dilakukan setiap harinya. Saya jawab kalau kami memberikan jatah untuk Bumy main game 20 menit, dan 3 jam untuk menonton televisi. Wakepsek nampak terkejut ketika mendengar ini, lalu menyampaikan bahwa anak-anak di bawah usia 6 tahun sebaiknya tidak menonton televisi dan main gadget sama sekali. Kalaupun iya, menurutnya, waktu maksimalnya hanya 30 menit (untuk nonton televisi) dan dengan bimbingan orangtua.

Hal paling 'seram' yang saya dengar adalah saat Wakepsek bilang, "Memang, usia saat ini di bawah 6 tahun adalah golden age karena otak anak dapat menyerap begitu banyak ilmu dan informasi. Tapi, untuk bisa menyerap informasi dan mempelajari apapun itu, anak harus bisa berkonsentrasi. Kalau konsentrasinya rendah, jadinya percuma, nggak akan ada ilmu yang bisa diserap."

"Tidaaaak!!" (Begitu reaksi saya saat mendengarnya... meski cuma dalam hati, sih!)

Gawat juga, 'kan, Mommies? Meskipun agak panik, tapi saya bersyukur bisa mengetahui hal ini. Sebelumnya, saya tidak menyadari betapa pentingnya peran konsentrasi dalam perkembangan diri anak. Sekarang, yuk, kita cari tahu lebih jauh mengenai konsentrasi, rentang perhatian (attention span), dan bagaimana pengaruhnya dalam tumbuh-kembang anak.

Lihat di halaman berikutnya, ya!

raising-hand*Gambar dari sini

Sebuah artikel di Telegraph.co.uk pernah membahas hasil penelitian Oregon State University yang diterbitkan di online journal Early Childhood Research Quarterly. Penelitian ini menyatakan bahwa rahasia untuk membesarkan anak yang berhasil secara akademik bukanlah dengan melatih mereka matematika atau memutarkan musik klasik sejak usia dini, melainkan dengan mengajarkan mereka untuk memperhatikan (to pay attention).

Penelitian yang mengikuti 430 anak dari usia 4 sampai 21 tahun tersebut memonitor perkembangan akademis dan sosial, serta perilaku di rumah maupun di sekolah. Orangtua mencatat berapa lama anak bermain dengan satu mainan tertentu saat di rumah, sementara guru diminta untuk memberikan tugas lalu memonitor mana anak-anak yang menyerah dan mana yang tetap tekun bekerja sampai selesai.

Hasilnya, anak-anak dengan attention span terbaik dan kegigihan memiliki kemungkinan lebih besar untuk menyelesaikan pendidikan sampai tingkat perguruan tinggi.

Rentang perhatian anak sendiri berbeda-beda tergantung usia perkembangannya. Para ahli perkembangan anak mengatakan bahwa rata-rata anak usia 4-5 tahun seharusnya bisa fokus mengerjakan suatu tugas selama 2-5 menit dikali usia mereka. Tapi tentu saja aturan ini tergantung pada situasi dan berbagai faktor, antara lain:

  • Waktu pengerjaan tugas (apakah pagi hari, sebelum atau sesudah tidur siang, dsb).
  • Apakah anak menyukai tugas yang diberikan.
  • Apakah ada gangguan untuk anak berkonsentrasi, seperti kondisinya sedang lelah atau kelaparan, atau ada kakak-adik yang mengganggunya.
  • Tingkat kesulitan tugas dan instruksi yang diberikan. Jika tugas yang diberikan terlalu sulit, anak dapat beralih dan berhenti memberikan perhatian pada tugas tersebut.
  • Sebagai orangtua, tanpa kita sadari kita sering menginterupsi apa yang sedang dilakukan anak, karena kita tidak memikirkan nilai dari yang mereka lakukan. Padahal kita juga ingin anak bisa mengikuti pelajaran dengan baik di kelas dan punya keuletan untuk memecahkan masalah maupun mengejar mimpinya.

    Masalahnya, kemampuan untuk paying attention atau memerhatikan tidak bisa terjadi begitu saja. Agar anak memiliki rentang perhatian yang panjang, orangtua perlu melakukan dorongan dan stimulasi. Lima tahun pertama hidup anak adalah saat terbentuknya pengembangan fokus dan konsentrasi. Bagaimana caranya?Lihat di halaman selanjutnya, ya.

    Menurut Janet Lansbury, penulis buku “Elevating Child Care,” orangtua sebaiknya:

    1) Meminimalisir hiburan dan stimulasi.

    Saat anak masih bayi, mereka membutuhkan waktu untuk mencerna berbagai pengalaman yang dihadirkan oleh lingkungan di sekelilingnya. Mulai dari gerakan tubuh, penglihatan, suara, aroma, dan lain-lain. Stimulasi yang terus-menerus dapat menjadikan anak overstimulated dan mudah bosan. Padahal secara alamiah, bayi tidak mengenal rasa bosan. Mereka belajar dari kebiasaan, dan dapat menjadi terbiasa untuk mengharapkan hiburan atau stimulasi dibandingkan meresapi hal-hal di sekitarnya.

    kids_tv*Gambar dari sini

    2) Meniadakan televisi atau media elektronik lainnya selama dua tahun pertama usia anak.

    Televisi dan media elektronik  adalah dua hal yang paling drastis merusak rentang perhatian anak, karena dua hal ini menguasai perhatian anak, bukannya secara aktif melatih otot-otot yang berperan dalam fokus anak.

    3) Tempat yang aman dan nyaman di mana anak bisa bereksplorasi.

    Sediakan tempat yang aman dan nyaman untuk ditempati anak selama beberapa waktu tertentu; semacam corner khusus, begitu. Sediakan fasilitas yang mudah dijangkau anak, lengkapi dengan buku, art & craft tools dan biarkan ia keleluasaan untuk berkreasi serta bereksplorasi tanpa gangguan atau interupsi/larangan dari orangtua.

    4) Sediakan mainan dan benda-benda yang simple, aman, dan dapat dieksplorasi anak.

    Misalnya sapu tangan dapat dijadikan bahan eksperimen untuk dilambaikan, dibuat lap, menutupi bagian tubuh, dilipat,dan lain sebagainya. Bayi bisa mudah lelah atau overstimulated akibat benda-benda yang tidak dapat mereka pahami (seperti rattles atau mainan yang mengeluarkan suara-suara) atau mainan yang tidak menjadikan mereka aktif, seperti ditonton, didengar, atau punya fungsi tunggal (musical mobiles atau wind-up toys). Benda-benda ini merebut perhatian anak alih-alih menguatkan kemampuannya untuk secara aktif fokus dan menginvestigasti, mirip seperti televisi dan media elektronik. Kita juga dapat melibatkan anak dalam aktivitas sehari-hari maupun pekerjaan rumah tangga; ajak ia menyiapkan barang-barangnya sendiri, menyiram tanaman, mencuci piring, dan hal-hal lain yang memupuk kemandiriannya.

    5) Observasi anak dan jangan menginterupsi.

    Memerhatikan anak memilih aktivitasnya sendiri bisa membuat kita menyadari bahwa mereka bukannya tidak bisa melakukan apa-apa, tapi SEDANG melakukan sesuatu. Entah itu hanya bengong menatap ke luar jendela, ke langit-langit, atau mencoba menangkap debu. Setiap kali kita menginterupsi anak dari hal-hal yang menarik perhatiannya, kita mematahkan semangatnya dalam berkonsentrasi.

    6) Biarkan anak memilih.

    Faktanya, anak-anak lebih tertarik pada hal-hal yang mereka pilih dibandingkan yang kita pilihkan untuk mereka. Dengan demikian, hal yang sama dapat kita berlakukan dengan membiarkan mereka memilih aktivitas bermainannya.Anak-anak yang diberikan kesempatan untuk fokus pada satu aktivitas yang mereka pilih dalam waktu yang lama, bisa memerhatikan dengan lebih baik pada masa dewasa.

    7) Jangan mengalihkan perhatian anak.

    Misalnya saat mengganti popok anak, orangtua kerap memberikan anak mainan untuk mengalihkan perhatiannya. Masalahnya, hal ini mengajarkan anak untuk TIDAK memerhatikan. Padahal anak-anak secara alamiah tertarik pada seluruh aspek kehidupannya, mereka ingin diajak berpartisipasi dan dilibatkan.

    Nah, ternyata kemampuan berkonsentrasi memang salah satu faktor penting penentu perkembangan dan juga keberhasilan anak. Lalu, bagaimana dengan pengaruh menonton televisi dan pemakaian gadget terhadap konsentrasi anak? Jawabannya, ada di halaman selanjutnya.

     Kids-Gadgets*Gambar dari sini

    Seperti disebut tadi, dua tahun pertama usia anak adalah waktu yang penting untuk perkembangan otak. Televisi dan media elektronik lainnya bisa menghambat proses eksplorasi, bermain, dan interaksi dengan orangtua di saat anak seharusnya didorong untuk mempelajari hal-hal baru dan mencapai perkembangan fisik serta sosial yang baik. Seiring dengan anak bertambah besar, screen time yang terlalu banyak bisa mengganggu aktivitasnya yang lain, seperti untuk menjadi aktif secara fisik, membaca, mengerjakan PR, bermain, dan menghabiskan waktu bersama keluarga.

    Tapi tentu saja, televisi dalam dosis yang tepat dapat memberikan efek positif. Beberapa acara televisi dapat mengedukasi, memberi informasi, dan juga menginspirasi. Televisi bisa lebih efektif mengajarkan anak tentang proses dibandingkan buku, misalnya menunjukkan  bagaimana tanaman bertumbuh atau cara membuat kue.

    Beberapa studi juga menunjukkan bahwa anak-anak yang menonton acara bersifat edukasi dan tidak mengandung kekerasan dapat mengerjakan tes membaca dan matematika dengan lebih baik dibandingkan yang tidak. Mereka juga cenderung menonton acara-acara bersifat serupa ketika dewasa kelak. Sementara anak-anak usia pra-sekolah yang menyaksikan tayangan edukasi cenderung mendapatkan nilai yang lebih baik, kurang agresif, dan lebih mementingkan pendidikan (Anderson, et. al, 2001).

    Tapi, terlalu banyak menonton televisi juga bisa merugikan. Anak-anak yang secara konsisten menonton televisi lebih dari 4 jam sehari lebih mungkin menjadi overweight. Anak-anak yang menyaksikan kekerasan lebih besar kemungkinannya menunjukkan perilaku agresif tapi juga berpikir bahwa dunia adalah tempat yang menakutkan dan akan terjadi hal-hal buruk pada mereka. Televisi juga kadang menampilkan karakter dengan perilaku yang berisiko, seperti merokok, minum-minum, dan juga dapat menguatkan stereotype ras serta peran gender tertentu.

    Lalu, bagaimana caranya agar interaksi anak dengan televisi dan media elektronik lain menjadi lebih banyak positif daripada negatif?

  • Batasi waktu menonton televisi dan memakai gadget. Dari sini kita juga bisa mengajarkan anak tentang cara membuat dan mematuhi kesepakatan, lho.
  • Tempatkan televisi, gadget, dan komputer di ruangan yang berisi banyak hiburan non-screen seperti buku, majalah, mainan, puzzle, board games, dll, untuk mendorong anak-anak melakukan hal selain menonton televisi.
  • Jauhkan televisi dan koneksi internet dari kamar tidur.
  • Matikan televisi dan gadget saat sedang makan, family time, atau mengerjakan PR.
  • Jadikan menonton televsi dan memakai gadget sebagai privilege yang perlu diraih – bukannya hak. Tetapkan aturan terkait menonton televisi dan memakai gadget, seperti misalnya boleh menonton televisi sesudah mengerjakan tugas-tugas sekolah dan rumah tangga.
  • Cobalah untuk melarang pemakaian televisi dan gadget pada hari sekolah.
  • Tonton televisi bersama-sama anak sehingga kita dapat mengajak anak berdiskusi mengenai apa yang ditontonnya. Ini dapat menjadi kesempatan bagi orangtua untuk membicarakan nilai-nilai yang dianut dalam keluarga, juga menjelaskan topik  yang sulit atau membingungkan seperti cinta, seks, alcohol, merokok, dan lain-lain.
  • Last but not least, berikan contoh yang baik dengan membatasi screen time terhadap diri sendiri.
  •  

    Bagaimana, Mommies, tidak susah, bukan?

    PAGES:

    Share Article

    author

    vanshe

    Ibu satu anak. Was an SAHM for 2,5 years but decided that working outside home is one of many factors that keeps her sane. Grew up deciding not to be like her mother, but actually feels relieved she turns out to be more and more like her each day. She's on Twitter & IG at @rsktania.


    COMMENTS


    SISTER SITES SPOTLIGHT

    synergy-error

    Terjadi Kesalahan

    Halaman tidak dapat ditampilkan

    synergy-error

    Terjadi Kesalahan

    Halaman tidak dapat ditampilkan