"Bu, Aku Dikatain Jelek.."

Parenting & Kids

nenglita・24 Oct 2014

detail-thumb

Bagaimana kalau anak Mommies ‘laporan’ hal tersebut? Reaksinya kira-kira gimana? Marah, sedih, kesel, atau mau nampol orangtua itu anak? *jangan anaknya ya, anak kan produk tiruan*.

JpegBeberapa waktu lalu, hati saya dongkol pas dengar Langit cerita hal tersebut. Saat kami ber-pillow talk sebelum tidur, kami selalu ngobrol dan sharing tentang hari masing-masing. Saya menceritakan kegiatan dan perasaan saya di hari itu, Langit juga.

Sampai pada momen, “Hari ini aku sedih deh, Bu. Ada yang ngatain aku jelek”.  Deg. Reaksi pertama dari belahan hati sebelah kiri, “Siapa yang ngomong gitu? Kaya dia cakep aja!?”, hehe. Tapi yang keluar, “Siapa yang ngomong gitu? Kok bisa ya?”, sambil mikir gimana ya cara ngajarin Langit menghadapi ini.

Terbersit sih keinginan supaya Langit bisa membalas ejekan tersebut, secara saya ini orangnya suka sinis, hehe. Tapi untuk saat ini sepertinya tidak dulu :D

Sebagai orangtua, sadar nggak sadar kita pasti menganggap anak kita yang paling segala-galanya. Paling pintar, paling cantik, paling keren, paling top lah pokoknya! Atau kalau ada anak lain yang melebihi anak kita, pasti kita bakal mencari kelebihan anak kita. Bahkan untuk saya yang kenyang makan seminar parenting, masih ada kok perasaan seperti itu. Tapi dalam kasus ini, bukan masalah anak saya dibilang jeleknya, hanya saja, saya takjub kalau mendengar anak-anak sudah bisa ngatain anak lain. Karena, seingat saya, sekesal-kesalnya Langit pada temannya, belum pernah saya mendengar dia ngatain orang lain sih.

Eh, kok saya jadi ngebelain anak sendiri, nih, hehe.

Intinya, wajar sekali ya kalau kita sebagai orangtua marah atau kesal saat anak kita diejek oleh anak lain. Tapi, di era sekarang ini, di mana kita sebagai orangtua wajib mengajarkan nilai-nilai kehidupan yang positif ke anak, rasanya jadi sulit sekali untuk mengajarkan anak untuk fight back. Serba salah, gitu. Kalau diajarkan untuk fight, kok sepertinya kita ngajarin rasa dendam? Kalau diajarin untuk diam saja, nanti yang ada anak malah jadi bahan bulan-bulanan. Ah, serba salah!

Yang pertama saya lakukan adalah, menyelamatkan hatinya yang terluka. Tapi bukan berarti kemudian saya memanggilnya dengan “Si Cantik” atau hal semacam itu, lho. Lebih kepada mengenal dirinya sendiri. Saya tanyakan pada Langit, “Menurut kamu, kamu cantik apa jelek?”. Setelah itu, saya fokuskan Langit ke hal lain yang bukan hanya soal fisik. Misalnya, ke hasil gambar, bernyanyi, berenang, dan seterusnya.

Langkah ke dua, cari sumber masalahnya. Bagaimana? Cek di halaman berikutnya ya.

Setelah hatinya Langit agak tenang, baru deh saya cari tau penyebabnya. Di sini nih, kita butuh kepala dingin dan objektif. SiapaIMG_1318-resize tau anak kita dikatain jelek karena dia ngatain temannya duluan? Siapa tau dia diejek oleh temannya karena dia sering ngomong hal yang nggak baik? Atau berbohong, misalnya?

Jika memang ternyata anak kita menjadi penyulut pertama, minta anak untuk mengakui  perbuatannya dan berikan pengertian kalau hal itu nggak baik. Catatan nih, jangan marahi anak dulu ya. Karena hatinya dia kan baru saja sembuh dari diejek :)

Cari tahu dari beberapa sumber mengenai akar permasalahan. Bisa dari guru kelas atau bahkan tanyakan langsung ke orangtua dari anak yang mengejek anak kita. Nah sekali lagi, di bagian ini memang dibutuhkan segentong pil penenang *LOL*, maksudnya supaya kita ketika bertanya akan hal ini dengan penuh ketenangan. Nggak tendensius, nggak membela anak kita, dan nggak menyalahkan pihak manapun.

Malah kalau menurut Mbak Irma Gustiana, psikolog keluarga, sebaiknya orangtua menyerahkan urusan mediasi ke pihak sekolah selama peristiwa terjadi di lingkup sekolah atau masih dalam tanggung jawab sekolah. Menurut saya, masuk akal sih. Coba deh, banyak lho kejadian di mana sesama orangtua malah jadi berantem gara-gara anak. Kan nggak enak juga ya?

Untuk sumber masalah, Mbak Irma juga menyarankan sebaiknya dicek juga bagaimana sebenarnya karakter anak kita. Persis seperti yang Kirana bicarakan di artikel ini, di mana ia meminta anaknya untuk introspeksi diri, kenapa temannya bisa memperlakukan dia demikian. Anak yang di-bully biasanya memiliki ‘perbedaan’ daripada teman-temannya. Entah secara fisik atau masalah pada social skill-nya.

Kalau kasus Langit, seperti yang pernah saya ceritakan di artikel ini, Langit bukan tipe yang harus main dengan sekelompok anak saja, dan menurut pengamatan guru kelasnya, Langit memang tipe yang fleksibel. Bisa bergaul dengan siapa saja. Mungkin, mungkin lho, ya, di anak seusia Langit yang mulai ‘ngegeng’, hal ini dianggap kurang asyik :D

Lalu, kenapa sih seorang anak bisa nge-bully anak lain? Simak di halaman selanjutnya, ya.

Hal ini sih sudah sering dibahas oleh Mommies Daily.

Kalau saya simpulkan dari hasil artikel-artikel di Mommies Daily, ngobrol dengan pakar dan membaca berbagai artikel mengenai bullying, penyebab pertama adalah di pola asuh keluarga.  Selain itu bisa juga dari lingkungan, televisi, dan sebagainya.

Anak kan produk tiruan, ya, mereka akan lebih cepat meniru daripada mendengarkan ucapan kita. Misalnya nih, nonton TV di mana misalnya si tokoh meledek tokoh lain, lalu pemirsa tertawa. Nah, si anak akan berpikir, “Oh, kalo ngeledekin orang lain itu bisa bikin orang tertawa toh”. Atau, “Oh, kalau gangguin teman itu bisa rame-rame lho”, dan seterusnya.

Coba baca artikel yang ditulis Sazkia di sini deh, di mana ia menyoroti tentang tontonan anak-anak zaman sekarang. Miris!

Lalu saya bertanya, bagaimana jalan keluar dari masalah ini?

Menurut Mbak Irma, mengejek anak lain sudah masuk ke ranah bullly secara verbal. Pelaku harus diberitahu bahwa ada sanksi atas apa yang mereka lakukan. Sanksinya apa? Meminta maaf dan berjanji tidak mengulangi lagi. Anak-anak ini juga perlu diberikan skill untuk berempati, misalnya, “Coba kalau kamu yang diejek jelek/ gendut/ dsb, gimana perasaan kamu?”, jadi anak dikenalkan perasaan seandainya ia menjadi korban ejekan.

Sementara untuk korban, introspeksi itu penting. Dan kita sebagai orangtua juga wajib membekali anak dengan kemampuan-kemampuan sosial lainnya seperti berani berkata tidak, berani menyampaikan pendapat, dan sebagainya. Cara saya, yaitu sambil bermain boneka, jadi boneka A bilang, "Halo Tasya (nama bonekanya), kita nggak usah belajar yuk hari ini", atau "Eh Tasya, kita katain si Angel Cake (nama boneka yang lain) jelek yuk", lalu Langit yang menjawab mau atau tidak mengikuti ajakan bonekanya itu. Terus kalau dia mau/ nggak mau, lanjut lagi, "Kenapa nggak mau?". Ya model gitu deh, semoga saja berhasil ya.

IMG_7040

PR dan tanggungjawab sebagai orangtua memang nggak ada habisnya. Tapi mau gimana lagi? Menjadi orangtua kan adalah pekerjaan di mana kita nggak bisa resign :)