Resiliensi, PR Lain Untuk Orangtua

Parenting & Kids

cahyu03・19 Sep 2014

detail-thumb

Bukan hanya orang dewasa saja yang memiliki masalah, trauma, dan rasa sakit secara emosional. Anak-anak yang sering kita anggap berada di masa yang menyenangkan dan bebas masalah, juga dapat memiliki trauma, rasa sakit secara emosional, dan masalah. Masalah yang dapat dihadapi anak bentuknya beragam, mulai dari bullying, masalah akademis, memiliki orangtua yang bercerai, dan masih banyak masalah lainnya. Kasihan kan apabila anak kita mengalami keterpurukkan karena masalah yang dialaminya. Lalu apa dong yang dapat kita lakukan sebagai orangtua untuk dapat membantu mereka? Minimal yang dapat kita lakukan adalah ajarkan mereka resiliensi.

Apa itu resiliensi?

Resiliensi sering disebut dengan bounce back, yaitu kemampuan untuk bangkit kembali setelah mengalami keterpurukkan. American Psychological Association menyebutkan definisi dari resiliensi adalah kemampuan untuk beradaptasi dengan baik terhadap kesulitan, trauma, tragedi, ancaman, atau sumber stres. Namun, perlu diingat bahwa menjadi resilien tidak berarti anak tidak akan mengalami kesulitan atau stres.

Anak yang resilien merupakan seorang pemecah masalah yang baik. Ketika mereka berhadapan dengan situasi yang sulit, mereka akan mencari solusi yang paling baik. Tidak berarti mereka harus menyelesaikan semuanya sendiri, melainkan mereka juga mengetahui bagaimana cara mencari bantuan.

Kabar baiknya adalah resiliensi dapat diajarkan.

BuildingResilienceInKids1

Lynn Lyons, seorang psikoterapis, dan American Psychological Association memberikan beberapa saran bagaimana menumbuhkan resiliensi pada anak dan remaja:

  • Jangan akomodir setiap kebutuhan anak
  • Ketika kita selalu menyediakan rasa nyaman dan kepastian pada anak, kita menghalangi kesempatan mereka untuk mengembangkan kemampuan memecahkan masalah. Tentunya  memenuhi kebutuhan yang dimaksud di sini adalah yang sudah sampai di tahap berlebihan ya Mommies, misalnya menyediakan kasur tambahan di kamar karena anak tidak ingin tidur di kamarnya sendiri. Mirip seperti yang diceritakan Lita di artikel ini.  Kalau kebutuhan dasar dan pokok tentu harus tetap dipenuhi dong :D

  • Jangan hilangkan segala risiko yang ada
  • Orangtua memang pasti ingin menjaga anaknya agar aman, tetapi menghilangkan segala risiko yang dapat ditemui akan menghalangi anak untuk belajar resiliensi. Hal yang harus dilakukan orangtua adalah membiarkan adanya risiko dan ajarkan anak kemampuan yang diperlukan untuk menghadapi risiko tersebut.

  • Ajarkan anak cara memecahkan masalah
  • Ajak anak untuk menemukan cara bagaimana mereka dapat mengatasi tantangan yang ada. Terus berikan mereka kesempatan untuk menemukan cara mana yang berhasil dan mana yang tidak.

  • Ajarkan anak kemampuan konkret
  • Ajarkan kemampuan spesifik yang diperlukan dalam menghadapi situasi tertentu.

    Selanjutnya: Hindari bertanya mengapa. Lha, kenapa? :D Lihat di halaman selanjutnnya.

    1376061504051

    Pertanyaan mengapa tidak mendukung pembelajaran anak dalam menjadi pemecah masalah yang baik. Sebaiknya gunakan pertanyaan bagaimana. Pertanyaan bagaimana dapat mengajarkan anak berbagai kemampuan.

  • Ajarkan anak untuk menjalin hubungan dengan orang lain
  • Ajarkan anak bagaimana cara mendapatkan teman, termasuk kemampuan berempati. Keluarga juga harus menjadi pemberi dukungan kepada anak saat mereka menghadapi kekecewaan dan rasa sakit secara emosional, dan pastikan bahwa saat di sekolah anak memiliki teman. Menjalin hubungan dengan orang lain dapat membuat social support dan menguatkan resiliensi

  • Tumbuhkan pandangan diri yang positif pada anak
  • Bantu anak mengingat bagaimana mereka menghadapi kesulitan-kesulitan di masa lalu dan jelaskan pada mereka bahwa tantangan-tantangan tersebut membantu mereka agar menjadi semakin kuat dalam menghadapi tantangan yang akan ada di masa depan. Bantu anak untuk dapat mempercayai dirinya sendiri untuk memecahkan masalah dan membuat keputusan. Juga ajarkan anak untuk dapat melihat humor dalam hidup dan kemampuan untuk menertawai diri sendiri saat melakukan kesalahan

  • Biarkan anak membuat kesalahan
  • Sulit memang bagi orangtua saat melihat anaknya membuat kesalahan, tetapi itu dapat membuat anak belajar bagaimana memperbaiki kesalahannya dan membuat keputusan yang lebih baik di masa depan.

  • Bantu anak mengelola emosi mereka
  • Pengelolaan emosi adalah kunci dalam resiliensi. Ajarkan anak bahwa semua emosi tidak masalah untuk dirasakan. Juga ajarkan mereka bahwa  setelah merasakan emosi tersebut, mereka harus memikirkan apa yang akan mereka lakukan selanjutnya.

  • Contohkan tingkah laku resilien
  • Anak belajar melalui observasinya terhadap orangtua, jadi usahakan untuk tampil tenang dan konsisten. Jangan sampai kita menyuruh anak kita untuk mengelola emosi mereka tetapi emosi kita malah tidak terkontrol. Ketika kita menghadapi masalah, juga tunjukkan bahwa kita tidak terpuruk dan dapat bangkit kembali

    Mulai ajarkan resiliensi sejak dini yuk Mommies, agar terus terbawa hingga mereka dewasa :)