Sorry, we couldn't find any article matching ''
Bagaimana Bicara Tentang Seks Pada Anak?
Minggu ketiga April ini saya masuki dengan muram. Penyebabnya tak bukan adalah kasus kejahatan seksual pada seorang anak yang sedang ramai diberitakan. Sebagai seorang ibu, bagaimana mungkin saya dapat tenang-tenang saja?
Meski kerap mendengar kasus kejahatan seksual melalui televisi dan media lainnya, jujur saja, hal ini terkesan berjarak dari kehidupan saya. Ya, fakta adanya kejahatan seksual terjadi pada anak-anak memang membuka mata saya untuk lebih waspada dan siap membekali anak dengan pendidikan seksual. Namun, mungkin dengan naifnya, saya berharap hal ini tidak akan perlu saya hadapi.
Saya berpikir seperti itu hingga berita tentang kekerasan seksual pada anak TK menyentak kesadaran saya. It's happening around us. At places we might pass by on daily basis. To kids whose age are similar to ours. Jadi, apalagi yang ditunggu untuk mulai serius menyikapi hal ini?
Belum lama ini, saya membaca buku yang judulnya sangat menarik perhatian, karena mengingatkan saya akan PR besar yang menghadang di depan perjalanan saya sebagai orangtua. "What Your Child Needs to Know about Sex (and When)" yang ditulis oleh Dr. Fred Kaeser. Begitu saya mengetahui siapa Kaeser dan apa latar belakang yang dimilikinya, saya berpikir buku ini ditulis oleh orang yang benar-benar paham mengenai topik pendidikan seks.
Dr. Kaeser mendapatkan gelar doktoratnya dalam bidang human sexuality studies dari New York University. Dia pernah menjabat sebagai director of health services untuk 260 sekolah dan director of health education untuk 1300 sekolah di Amerika Serikat. Sepertinya tidak ada yang pertanyaan seputar pendidikan seks dari orangtua, maupun anak-anak, yang belum pernah dia dengar.
Dia menulis buku ini, selain untuk merangkum frequently asked question seputar pendidikan seks, juga untuk membantu orangtua menghadapi dampak dari fenomena "hypersexualized world" pada anak-anak.
Selanjutnya: Apakah makna dari "hypersexualized world" itu? >>
*Gambar dari sini
Dr. Kaeser menjelaskan, bahwa saat ini, imaji dan pesan-pesan berbau seks bertebaran dan terekspos pada diri anak kita, secara tak terbatas. Televisi, musik, papan iklan, media cetak, internet, alat komunikasi, film - ada begitu banyak medium yang menggambarkan seks dan seksualitas. Anak-anak kita secara konstan terpapar pada pesan-pesan berbau seks dengan cepat, hampir dari segala arah, sepanjang masa kanak-kanaknya. Pesan-pesan ini tidak hanya eksplisit, tapi seringkali berbau kekerasan, juga kental oleh pencitraan di mana laki-laki mendominasi dan perempuan submisif. Yang membuat masalah semakin pelik, pesan-pesan ini seringkali hadir tanpa bimbingan dan intervensi dari orangtua.
Ketidaksiapan orangtua untuk menjadi sex educator bagi anak-anaknya, menyebabkan orangtua hanya mengandalkan program pendidikan seks dari sekolah, atau mengharapkan media menerapkan batasan usia dalam tayangannya, atau hal-hal lain dari pihak eksternal. Padahal, menurut Dr. Kaeser, it's your message that counts. Bimbingan dan instruksi dari orangtua sangat dibutuhkan anak-anak untuk membentuk value systems (tatanan nilai-nilai)-nya sendiri. Values (nilai-nilai) mengendalikan kesadaran kita atas apa yang benar, apa yang salah, apa yang patut dihargai, dan apa yang perlu dihindari.
Anak-anak kita perlu mendengar langsung dari kita tentang perilaku apa yang kita anggap benar dan salah, terutama dalam hal-hal terkait seks - seperti tentang intercourse, masturbasi, homoseksualitas, kontrasepsi, aborsi, oral sex, sex toys, tinggi rok dari lutut, celana yang menggantung di bawah garis underwear, dan lain-lain.
Ada fakta lain yang diutarakan Dr. Kaeser dalam buku ini dan cukup membuat saya terkejut. Dunia saat ini telah menjadi semakin sexually explicit, dan ini berarti para orangtua dari anak-anak kecil terpaksa berhadapan dengan perilaku seksual dan kekhawatiran yang tidak pernah dihadapi generasi sebelumnya. Sementara itu, anak-anak menghadapi rangsangan seksual pada usia lebih muda dan dalam frekuensi yang lebih tinggi dibandingkan seluruh generasi terdahulu. Sebagai akibatnya, anak-anak masa kini lebih berisiko untuk berpikir dan bertindak dalam cara-cara seksual sebelum mereka siap secara emosi maupun tahapan perkembangan. Kita harus siap mendiskusikan aspek-aspek seks dan seksualitas dengan anak setidaknya saat mereka berusia 10 tahun.
Kita perlu menjelaskan kenapa anak usia ini belum boleh membuat akun Facebook, Twitter, dan sejenisnya. Kita perlu bicara tentang berita anak-anak (atau orang dewasa) yang melecehkan anak lain. Kita perlu bicara tentang kontrasepsi, kondom, dan cara agar anak terlindungi dari Penyakit Menular Seksual (PMS).
Ini semua adalah konsekuensi dari kondisi dunia yang semakin tanpa-batas. Ten becomes the new sixteen.
Dalam buku ini, Dr. Kaeser memberikan panduan yang lengkap bagi orangtua berupa jenis informasi apa yang perlu diberikan kepada anak sesuai dengan usia dan gender-nya. Materi yang 'berat' ini dipaparkan olehnya dengan gaya penulisan yang lugas dan applicable (turut disertakan contoh daftar pertanyaan, strategi untuk masalah tertentu, skenario role-play, dsb). Ia juga mengajak orangtua berdiskusi dengan anak tentang "The Three Biggest Sex Words" yaitu Love, Trust, dan Respect. Ketiga hal ini sangat penting - mengingat begitu banyak orang yang melakukan sexual abuse dalam hubungannya, berbohong tentang kondisi PMS-nya, atau berselingkuh. Tanamkan pada anak-anak bahwa jika mereka memiliki cinta, rasa percaya, dan rasa hormat, hal-hal negatif tadi tidak akan terjadi.
Selanjutnya: Apa yang harus dikuasai oleh orangtua menghadapi hal ini? >>
Sedikit bocoran dari buku ini, key points yang perlu dikuasai oleh orangtua dalam hal ini antara lain:
1. Sadari dan hadapi fakta bahwa anak-anak kita dapat dipengaruhi oleh pesan-pesan seksual ini. Realize the kind of planet we live in. Anak-anak kita adalah mahluk hidup, mereka berpikir tentang seks, mereka telah mendengar dan melihat hal-hal berbau seks, dan mereka dikelilingi oleh hal-hal yang mendorong ketertarikan mereka pada seks.
2. Jangan menunda membicarakan soal seks sampai anak bertanya lebih dulu kepada kita. Komunikasikan seks dengan anak sedini dan sesering mungkin.
3. Manfaatkan peristiwa-peristiwa tertentu sebagai kesempatan untuk memberikan pendidikan seks kepada anak. Misalnya saat menonton televisi bersama anak, atau melihat papan iklan yang mengirimkan pesan berbau seks, bersiaplah untuk mengintervensi dan membantu anak memahaminya.
4. Coba untuk terus mengawasi dan waspada dalam memonitor kehidupan anak. Gunakan program tertentu di komputer yang digunakan anak, terapkan parental control pada televisi maupun gadgets yang digunakan anak (baca: Survival Guide Orangtua di Era Internet), dan awasi interaksinya dengan anak-anak lain.
5. Kenali lagi gaya pengasuhan kita, apakah authoritarian, permisif, uninvolved, atau authoritative. Dr. Kaeser memberikan penekanan pada gaya authoritative. Pada gaya pengasuhan ini, orangtua mencoba menyeimbangkan relasi orangtua dengan anak, menyatakan aturan dan batasan secara jelas, mengizinkan anak mengutarakan pendapatnya, dan menggunakan positive reinforcement untuk membentuk perilaku.
Singkatnya, saya berkesimpulan bahwa buku ini sangat penting dan layak menjadi buku pintar orangtua dalam memberikan pendidikan seksual. Kita diingatkan betapa pentingnya memenangkan pertarungan untuk menjadi the number one influence bagi anak-anak kita.
Yaitu agar anak-anak kita menunda melakukan hubungan seks hingga mereka dewasa dan dalam hubungan yang sah. Agar mereka tidak hamil di luar nikah atau terkena PMS saat masih remaja. Agar mereka terhindar dari hubungan yang sexually abusive. Dan terutama agar mereka memiliki perilaku seksual yang sehat.
"If we do our job correctly, we win." Dr. Kaeser wrote.
So, Mommies, I don't think we should wait any longer. Let's do that (huge) homework.
PAGES:
Share Article
COMMENTS