Banyak Anak (Belum Tentu) Banyak Rezeki

Financial Wellness

fmuzakkie・01 Apr 2014

detail-thumb

Satu poin kultural yang dari kecil, saat saya belum umur nikah, tapi sudah sering sekali saya dengar baik dari orangtua ataupun kerabat adalah statement berikut: “Banyak Anak Banyak Rejeki”. Sepertinya, Indonesia adalah salah satu dari banyak negara di dunia yang tidak perlu khawatir dengan penurunan populasi. Biarpun program Keluarga Berencana sudah sejak dulu dikenalkan, tapi rasanya masih jarang sekali orang Indonesia yang mau untuk jadi “childless”.

*Adegan dalam film Yours, Mine and Ours, sebuah film di mana sepasang suami istri punya 18 orang anak (!!!). Gambar dari sini

Sebenernya, there is nothing wrong with that. Manusia memang bisa dikategorikan masuk di animal kingdom. Sudah kodratnya manusia mempunyai keturunan, keluarga, dan memang berkeluarga adalah salah satu dari esensi banyak agama.

Tetapi, pernahkah kita berpikir, bahwa suatu hal yang bernama “kodrat” ini, terkadang tidak dipikirkan sedalam seharusnya. Banyak orang menikah cuma karena sudah “umur nikah”, banyak orang memutuskan untuk mempunyai anak karena sudah “ketuaan” atau “sudah waktunya” atau “nanti menyesal tidak punya anak” dan berbagai alasan lainnya. Kadang saya berpikir: apakah orang-orang ini benar-benar menginginkan seorang anak, dari lubuk hatinya sendiri tanpa tekanan orang lain sedikitpun?

Kembali ke judul artikel ini: esensi yang ingin saya sampaikan adalah mempunyai anak itu mahal. Saya tidak bilang bahwa cuma orang kaya yang boleh punya anak, tetapi alangkah baiknya bahwa setiap individu yang ingin mempunyai anak, tahu dan bisa mengukur titik batas kenyamanan yang mereka bisa raih dengan kemampuan mereka saat ini. Tugas orangtua adalah menyediakan kebutuhan anak-anak mereka. Pendidikan yang baik, sandang pangan papan, dan yang lebih mahal lagi dari semua itu: PERHATIAN. Segala hal yang saya sebutkan di atas butuh kerja keras. Karena dunia ini adil, rezeki itu tidak turun dari langit dan kita yang harus menjemputnya.

Tetapi fenomena yang saya alami ini terkadang sungguh bertolak belakang. Teman atau kerabat yang sudah menjadi orangtua seringkali menasihati saya untuk tidak menunda mempunyai anak. Tetapi seringkali langsung setelah nasihat itu, mereka mengeluh kepada saya  tentang susahnya menjadi orangtua, termasuk kesulitan finansial. Saya bingung, apakah mereka ingin saya ikut “terjerumus” ke dalam kesulitan itu dan berkeluh kesah bersama mereka? Sungguh kontradiksi yang sangat membingungkan. Di dalam konteks ini, bisa dibilang bahwa banyak anak belum tentu banyak rejeki.

Manusia adalah makhluk sosial, tentu tidak terlepas dari lingkungan dan orang sekitar karena tidak ada manusia yang bisa hidup sendiri. Tetapi, keluarga kita, anak-anak kita adalah hidup kita sendiri, keputusan kita sendiri. Di saat kita sudah meyakini bahwa kita bisa mengukur kemampuan dengan realistis dan merasa bahwa kita bisa menjadi orangtua yang baik, then you can start popping babies. Because happy parents make happy children, and of course, we want our children to be happy.