Sorry, we couldn't find any article matching ''
Just Us Three
Sudah sekian bulan berlalu sejak saya menulis artikel "Are You Ready for a(nother) Child?"
Di situ, saya memaparkan pilihan saya untuk belum menambah anak lagi, quite simply because... I wasn't ready. Bagaimana dengan sekarang?
Satu persatu, teman-teman "satu angkatan" saat pertama kali hamil dulu, kini mulai hamil anak ke-dua. Bahkan tidak hanya teman-teman, tapi juga ibu-ibu tetangga dan ibu-ibu teman sekolah anak. Suddenly I'm surrounded - once again - by preggies :D
Maka kembalilah pertanyaan-pertanyaan,ajakan, bahkan desakan, itu hadir.
"Kapan nih, adeknya Bumy?"
"Udah pas loh jaraknya, nanti makin lama, makin kejauhan umur anaknya."
"Ayo dong, nyusul!"
Dari sekian banyak komentar, personally, menurut saya yang paling mengganggu adalah ini: "Gak kasihan nanti Bumy jadi anak tunggal?"
Kalau saya mau jujur, mungkin pertanyaan itu paling mengganggu because it questions one thing i feel insecure about.
Apa iya saya membuat Bumy kehilangan sesuatu? Sesuatu yang bisa dirasakan hanya jika dia memiliki saudara(-saudara) sedarah? Apakah dia akan menjadi anak yang manja dan kesepian seperti stereotip anak-anak tunggal? Apakah saya bersikap egois?
Tapi, sebelum saya mulai mellow dan merasa bersalah tanpa sebab yang jelas, ada baiknya kita mulai menelaah beberapa fakta seputar anak tunggal.
Menurut artikel di media online babble.com, keluarga dengan satu anak adalah unit keluarga dengan tingkat pertumbuhan tercepat. Ini berarti semakin banyak keluarga yang memilih memiliki satu anak saja. Hal ini tidak hanya terjadi di Amerika Serikat, melainkan di seluruh belahan dunia, terutama di negara-negara berkembang. Di Inggris, misalnya, 46 persen keluarga memiliki satu anak. Sementara di Spanyol dan Portugal, jumlahnya sebesar 30 persen. Menurut sensus yang dilakukan di Amerika Serikat, sebanyak 22 hingga 30 persen (jumlah ini diprediksi akan terus menanjak) keluarga hanya memiliki satu anak.
Format keluarga tradisional yang kita akrabi selama ini, yaitu "satu anak lelaki untuk ibu, satu anak perempuan untuk ayah" telah berubah. Nampaknya, kondisi sosio-ekonomi di abad ini memungkinkan perempuan untuk memilih jenis unit keluarga yang paling masuk akal sekaligus nyaman bagi dirinya.
Lalu, bagaimana dengan begitu banyak "mitos" tentang anak tunggal yang membayangi pandangan masyarakat? Sering sekali kita dengar kalau anak tunggal kesepian, egois, manja, dan sulit membawa diri secara sosial karena tidak punya saudara sedarah.
Ternyata, telah banyak penelitian dibuat seputar mitos-mitos ini bahkan sejak tahun '70an. Hasilnya menyatakan bahwa karakteristik kepribadian anak tunggal tidaklah seperti stereotype masyarakat. Misalnya riset oleh University of Ohio, menunjukkan bahwa anak-anak tunggal dapat bersosialisasi sebaik anak-anak lain yang memiliki saudara kandung. Anak-anak tunggal masa kini dapat menjadi lebih terkoneksi dengan teman-teman sebayanya melalui bantuan teknologi. Koneksi melalui jasa smartphone dan internet memberikan mereka kehidupan sosial yang berjalan jauh sesudah waktu sekolah usai. Anak tunggal juga terbukti dapat menikmati waktu personalnya dengan lebih baik.
Sementara dalam hal memanjakan, ternyata penyebab utama masalah ini adalah ketidaksanggupan orangtua untuk berkata "tidak" kepada anak. Jadi, anak-anak yang manja tidak didominasi oleh mereka yang tidak punya saudara kandung, melainkan oleh mereka yang tidak dibatasi aturan dari orangtuanya.
Dari artikel di babble.com tersebut, dapat disimpulkan bahwa hal terpenting yang memengaruhi temperamen dan kualitas pribadi anak ketika dewasa kelak adalah pengasuhan, alih-alih keberadaan saudara sekandung.
Kembali ke diri sendiri, apakah sekarang saya sudah siap?
Terbayang mengulang pengobatan yang menguras biaya dan mental untuk berusaha hamil.
Terbayang malam demi malam tanpa terlelap. Memerah air susu, kenangan terjangkit TBC, belum lagi memikirkan dana pendidikan sang anak.
Mungkin saya hanya belum bisa move on, atau belum berani mengambil risiko.
Or maybe... because this is the life I feel comfortable with: dengan satu anak, dengan pilihan sebagai ibu rumah tangga yang bekerja sambilan dari rumah.
Dengan demikian untuk saat ini, jawaban saya untuk "Are you ready for another child?" belum berubah.
Saya bersyukur, suami menghargai pilihan ini.
Seulas senyum hinggap di wajah saya ketika mengingat diskusi itu dan kini melihat ke arah suami dan buah hati kami satu-satunya.
So this is it, there will be just us three. Mungkin dalam beberapa tahun ke depan, atau mungkin hingga anak kami memberikan cucu, barulah jumlah keluarga inti kami bertambah.
"In the end, only three things matter: how much you loved, how gently you lived, and how gracefully you let go of things not meant for you." - Buddha.
Referensi:
- http://www.babble.com/baby/only-child-selfish/
- http://www.babble.com/kid/5-common-misconceptions-about-only-children/
- www.time.com/time/magazine/article/0,9171,2002530-1,00.html
Share Article
POPULAR ARTICLE
COMMENTS