Pahit Manis Asisten Rumah Tangga

Domestic

miunds・28 Mar 2013

detail-thumb

Kalau ibu-ibu muda ibukota masa kini ditanya mana yang lebih sulit: menjaga keharmonisan hubungan dengan pasangan atau dengan asisten rumah tangga, rasanya akhir-akhir ini banyak sekali yang akan menjawab: asisten rumah tangga.  Bagaimana tidak, beberapa teman saya bahkan sampai patah hati, stres dan mengorbankan jatah cuti demi pontang-panting mengurus anak dan rumah saat ditinggalkan si asisten dengan begitu tiba-tiba hanya disertai penjelasan singkat melalui SMS:

“Bu, aq ga balik lg. Muuph.”

Salah seorang teman saya berkata dengan wajah pilu, “Bahkan baju-bajunya aja nggak dia bawa pulang ke kampungnya, Und.  Gue jadi mikir, salah gue apa sampai ditinggal sepihak begini.”

Mengapa teman saya sedemikian sedihnya?  Bayangkan saja: rumahnya jauh di pinggir kota, jauh dari orangtua atau mertua, anak masih balita dan karena kompleks perumahannya baru, agak tak mungkin menitipkan anak pada tetangga.  Bukan tak percaya, tapi rumah mereka masih kosong semua. Lalu piye?  Solusi sementara: nomaden tak terencana di rumah kakek neneknya, yang berarti perlu biaya tambahan untuk transportasi.  Rumah pun tak terurus karena pemiliknya pergi subuh pulang malam.

ART oh ART, tak dinyana tanpamu hidup di ibukota sungguh terasa kejamnya.

Banyak pula pendapat yang mulai sinis berkata, “Ah manja.  Tanpa ART juga bisa, kok.  Kenapa mesti apa-apa dilayani, sih?”  Masuk akal juga.  So what kalau kita meninggalkan rumah dalam keadaan kosong?  Anak pun dengan mudah dapat kita titipkan di daycare dekat kantor.  Anak yang sudah sekolah pun gampang, kok, naik jemputan saja, dijemput dan diantar sampai di depan rumah.  Nyaman, cepat dan orang tuanya jadi bisa konsen bekerja di kantor.

Tapi apakah kenyataannya seideal itu?

Sayangnya tidak sama sekali.  Kaum urban khususnya di Jakarta sering dihadapkan pada kenyataan hidup bahwa: rumah yang ditinggal dalam keadaan kosong berisiko jauh lebih tinggi untuk dirampok ketimbang ditunggui oleh orang yang dipercaya.  Belum semua gedung perkantoran pun telah memiliki daycare atau penitipan anak yang mumpuni.  Lagipula, bagi mereka yang bekerja di bidang kreatif yang sering terjerembab di ranah lembur mungkin juga masih bertanya-tanya apakah ada daycare yang buka sampai sekitar pukul … 10 malam?  Nampaknya belum.  Jika anak sudah sekolah, benarkah melepasnya naik jemputan kini menumbuhkan rasa aman?  Bisa ya, bisa juga tidak.  Serba dilematis, itulah judulnya.

Support system khususnya bagi orangtua yang sibuk di luar rumah rasanya memang harus diakui masih amat sangat penting demi membantu kelancaran operasi rumah tangga.  Memang selalu ada Nenek atau Kakek bahkan Tante yang bisa dimintai tolong untuk mengawasi si kecil atau sekadar memasakkan makan siang, tetapi haruskah mereka direpotkan walau mungkin mereka melakukannya dengan senang hati?

Jangan dikira hanya orangtua yang keduanya bekerja saja yang tergantung dengan ART.  Teman saya seorang ibu yang tinggal di rumah pun masih memerlukan kehadiran ART.  Mohon jangan cepat-cepat di-judge karena kemampuan mengurus rumah tangga tak hanya ditentukan dari lancar-tidaknya dia membersihkan rumah, bukan?

Mari kita terima dengan lapang dada bahwa budaya Indonesia, khususnya di pulau Jawa, memang budaya yang tidak memandang miring pada keberadaan sistem pendukung ini.  Mau yang tinggal bersama atau pun yang mampir hanya untuk mencuci atau masak dengan sistem harian, ART sudah sedemikian biasanya ada di dalam sistem rumah tangga Indonesia di mana pun daerahnya.

Kembali ke hubungan harmonis yang harus dibina dengan ART, saya termasuk orang yang amat beruntung di bidang ini.  Sejak kecil saya dibesarkan di rumah yang menganut paham bahwa ART itu penting, dan karenanya harus dihargai.  Karena prinsip ini mungkin, ART di rumah saya tahan sampai puluhan tahun.  Yang sekarang sudah 20 tahun lebih ikut orangtua saya, dan karena saya tinggal seatap dengan orang tua, maka sejak bekerja saya sudah turut berkontribusi membayar gajinya.

Saya tak urung bertanya pada ibu saya, apa yang membuat para ART kami ini bertahan lumayan lama, dan mungkin bisa saya bagi di sini beberapa kiat dari ibu saya untuk membina hubungan yang baik dan harmonis dengan para ART.

  • Gaji yang pantas … dan on-time!
  • Berapa jumlah gaji yang pantas bagi para ART memang bervariasi bagi tiap keluarga.  Tapi satu prinsip ibu saya yang juga saya terapkan saat ini pada pengasuh anak yang baru saya pekerjakan: mereka harus bisa mengirimkan setidaknya 50% gajinya ke kampung untuk keluarganya, dan tetap bisa menabung.  Selain itu yang terpenting: bayarlah gaji mereka sesuai tanggal yang disepakati.  Jangan pernah berpikir untuk menahan bayaran mereka sebagai ‘asuransi’ agar mereka selalu kembali bekerja saban mereka cuti pulang kampung.  Lagipula, jika kita bekerja, tentunya akan bete, ya, kalau gaji dibayarnya terlambat?  Sama, mereka juga, lho.

  • Penuhi kebutuhan dasar
  • Keluarga kami selalu memenuhi kebutuhan dasar para ART mulai dari sabun, sampo dan sikat gigi (dan zaman sekarang harus ada jatah pulsa).  Makanan mereka tak berbeda dengan makanan kami jadi semuanya memang sekali masak.  Ibaratnya, kami makan oseng kangkung, mereka juga.  Kami makan semur daging, mereka juga.  Jika mereka sesekali ingin jajan di luar atau masak makanan mereka sendiri, silakan.  Tapi kami tak pernah memotong gaji mereka untuk ‘uang makan’.  Prinsip kami, ketika mereka tinggal bersama kami, mereka tanggung jawab kami dan sudah kami anggap keluarga sendiri.  Ayah saya punya satu kiat yang ingin ditambahkannya: jangan pernah memerintahkan pada ART untuk makan setelah kita selesai makan.  Berikan kebebasan pada mereka untuk makan jam berapa saja saat mereka merasa lapar.  Jangan pernah kunci pintu lemari makanan atau kulkas untuk meminimalisir rasa penasaran yang bisa berujung negatif.  Bahkan, tawarkan pada mereka untuk mencicipi setiap kita membeli makanan.  Ayah saya yang dahulu juga lahir dan besar di kampung percaya bahwa ‘people think clearer with a full stomach’.  Orang bisa berpikir lebih jernih saat kenyang.  Kalau pikirannya jernih, pekerjaannya juga akan dilakukan lebih baik.

  • Percaya
  • Berpuluh tahun dengan asisten rumah tangga yang sama, tentunya ada rasa percaya yang ditanamkan di sana.  Ini benar dan sudah terbukti.  Ibu saya selalu memberi wejangan awal yang sama pada semua ART yang dipekerjakannya, dan ini saya tiru sekarang.  Isi wejangannya kurang lebih seperti ini: “Kami menghormati barang-barangmu, dan kamu harus menghormati barang-barang kami. Jika kamu dari kecil diajarkan untuk jujur, di sinilah tempat untuk membuktikannya.”  Bukan berarti keluarga kami nggak pernah kena tipu juga, sih, tapi dari kurang lebih 6 ART yang pernah bekerja untuk kami, hanya 1 yang berani menggasak kalung dan cincin orangtua saya.  Ya sudahlah, mungkin memang belum jodoh dan saat itu sedang diingatkan untuk banyak beramal :)

  • Treat them as human beings
  • Namanya manusia saat bekerja pasti ada juga naik turunnya.  ART pun begitu, karena bukan berarti mereka tak boleh merasa sedih atau bete.  Jika keadaan sedang begini, tunggu waktu yang tepat untuk mengajak mereka bicara, menanyakan masalahnya apa.  Jika mereka butuh cuti untuk pulang kampung, perhatikan urgensinya dan kita harus pandai bernegosiasi.  Jika masalahnya finansial, bantu semampu kita. Namun bila berulang kali, ya, stop saja.  Ada juga oknum ART nakal yang gemar bersandiwara soal ini.  Pesan ibu saya, sih, jeli dan percayailah insting kita.

  • Kenali keluarganya
  • Ibu saya bilang, banyak keluarga modern yang hanya ‘kenal’ sama si ART tanpa tahu asal-usulnya.  Ini nggak pernah berlaku di rumah kami karena selama ini, seluruh ART yang pernah bekerja di rumah kami pasti keluarganya kami kenal.  Bagaimana caranya?  Ya, kenalan saja.  Saat liburan road trip ke Jawa Tengah, kami menyempatkan diri mampir ke kampung mereka.  Toh, menjaga silaturahmi selalu ada baiknya.  Kami jadi tahu si A ternyata anak seorang petani jagung, si B ternyata desanya amat tertinggal, si C ternyata diam-diam sedang membangun rumah di desa hasil tabungannya selama ini.  You’ll never know these things (and actually be proud of them) unless you treat your workers the way you want to be treated.

    Nggak sempat jalan-jalan?  Mengundang orang tua mereka untuk datang menengok sesekali pun tak apa.  Beri para ART libur sehari untuk tamasya ke Ancol atau Taman Mini bersama keluarga mereka, karena mereka pun perlu refreshing sesekali.  Mengenal keluarga mereka ini penting karena jika ada sesuatu hal yang terjadi, apa pun itu, kita jadi tahu ke mana kita harus menghubungi keluarganya.

    Mungkin sebagian dari kita masih memandang miring profesi ART, apalagi banyak berita soal tindak kriminal yang dilakukan para ART berseliweran di layar kaca hampir setiap hari.  Tapi, dengan niat yang baik dan perlakuan yang baik, niscaya hal-hal buruk takkan terjadi pada keluarga kita, dan SMS yang masuk ke HP kita saat ia pulang kampung menjadi:

    “Bu, aq balik Senin y. Mo titip ap? Bls.”

    :)

    Image from here