
Pesan penuh cinta dari seorang ayah untuk anak laki-lakinya tentang luka, kompromi, dan makna menjadi suami serta ayah yang hadir dan bertanggung jawab.
Setelah belasan tahun menjadi suami dan ayah, ada banyak hal yang hanya bisa dipahami lewat perjalanan, bukan hanya sekadar teori. Seperti luka-luka kecil, kompromi yang tak terlihat, tawa yang mengikuti pertengkaran, dan berbagai ujian rumah tangga yang bisa dibilang nilainya jauh dari 100.
Namun ayah tetap ingin membagikannya kepadamu—bukan untuk menakut-nakuti tentang pernikahan, tapi untuk mempersiapkan kamu menjadi lelaki yang dapat menghargai dan menghormati suatu hubungan pernikahan serta menjadi sosok ayah panutan kelak nanti.
BACA JUGA: 7 Pesan dari Ibu untuk Anak Laki-laki, saat Kelak Jadi Suami dan Ayah
Nak, banyak orang mengira menikah itu untuk menjadi lebih bahagia. Layaknya film-film romantis yang memberi angle saat menikah maka film berakhir dengan happy.
Padahal berdasarkan pengalaman dua orang yang bahagialah yang dapat membuat pernikahan mereka bahagia, kita tidak bisa mengharapkan pasangan kita membuat kita bahagia, dan kehidupan baru yang clueless akan dimulai tepat saat kamu menyandang status sebagai suami istri.
Pernikahan itu perjalanan panjang yang hanya akan berjalan baik jika kamu dan istrimu berjalan dengan tujuan yang sama. Bicarakan masa depan, kebiasaan, keuangan, impian, nilai hidup—semua. Karena perjalanan yang seru hanya mungkin kalau kalian berdua paham arah yang sedang dituju.
Jangan berharap orang lain membaca pikiranmu. Kalau kamu ingin sesuatu, katakan dengan jelas. Kalau kamu tidak setuju dengan sesuatu, sampaikan dengan jujur. Komunikasi yang sehat selalu berjalan dua arah.
Jangan berharap pasanganmu akan diam, menurut, atau selalu positif. Ia akan punya pendapat, ia akan berargumen, dan itu normal.
Ajari dirimu berdiskusi tanpa meninggikan suara. Berargumen tanpa menyakiti. Mendengarkan tanpa merasa kalah.
Di situlah kedewasaanmu sebagai suami diuji.
Ketika anak hadir, hidup berubah—kamu akan kembali merasakan jatuh cinta lagi, kali ini kepada makhluk kecil yang akan memanggilmu Daddy. Tapi jangan lupa: hubunganmu dengan istri adalah fondasi keluarga.
Luangkan waktu untuk berdua. Date night minimum seminggu sekali atau sekadar ritual duduk berdua di balkon sambil minum teh. Ritual kecil yang dilakukan rutin akan menjaga kedekatan. Dan ritual itu boleh berubah atau berkembang—yang penting kalian tetap bertemu sebagai pasangan, bukan hanya orang tua.
A little surprise now and then? Selalu menyenangkan.
Ia tidak akan selamanya seperti saat pertama kali kamu bertemu.
Dan kamu pun tidak akan sama. Manusia berubah—kadang pelan, kadang cepat.
Hari ini ia mungkin rajin berdandan dan blow rambutnya setiap pagi.
Besok, saat hamil 9 bulan, ia mungkin tidak punya tenaga untuk itu.
Hari ini ia mungkin tersenyum sebelum tidur dan bilang ‘I love you’.
Besok ia mungkin pulang dengan hari yang buruk: presentasi yang ditolak atasan, ponsel jatuh, jalanan macet. Dan malam itu, ia mungkin melewatkan semua “ritual indah”.
Nak, di momen seperti ini… segelas teh hangat dan pijatan lembut dari dirimu mungkin cukup untuk membuat hari buruknya terasa sedikit lebih ringan.
Cinta itu bukan saja kepada versi terbaik seseorang, tapi cinta itu tetap memilih dia—bahkan di hari terburuknya. Lagi dan lagi. Tanpa lelah.

Pesan untuk calon suami dan ayah sebenarnya tidak dimulai di pelaminan.
Tidak juga dimulai saat kamu menggendong bayi pertamamu.
Semuanya dimulai… saat kamu pertama kali bilang, “Yah, aku suka sama seorang perempuan.”
Di situlah ayah ingin kamu belajar: menghargai perempuan, berani bersikap jujur walau dalam situasi apapun, dan bertanggung jawab pada setiap apapun yang kamu lakukan bersamanya.
Karena perilaku baik tidak tumbuh dalam semalam. Ia tumbuh dari kebiasaan kecil, sejak kamu remaja, sejak kamu jatuh cinta pertama kali.
Ajari mereka menghadapi masa sulit dengan keberanian dan menghadapi masa baik dengan kerendahan hati. Yang kamu wariskan bukan sekadar nasihat, tetapi cara memandang hidup.
Apa pun pencapaian yang kamu lihat pada seseorang—kemandirian, kebijaksanaan, ketegasan—semuanya lahir dari masa-masa sulit yang dia hadapi sendiri.
Tanpa struggle, seseorang tidak pernah benar-benar mengenal dirinya.
Kenyamanan tanpa tantangan membuat anak tidak siap menghadapi dunia. Bukan berarti kamu harus membuat hidup mereka susah, yang perlu kamu lakukan adalah memberi ruang bagi mereka untuk mencoba, gagal, lalu belajar bangun kembali.
Tanggung jawab kecil—merapikan barang, mengelola waktu, menjaga komitmen—adalah bentuk struggle yang aman. Itu membentuk karakter mandiri sebelum mereka menemukan tantangan yang lebih besar di luar rumah. Ingat juga bahwa struggle bukan berarti hidup keras tanpa arah, tapi harus terarah: ada tujuan, ada pemikiran, ada evaluasi.
Kuat itu bukan tidak pernah jatuh. Kuat itu kemampuan bangkit berulang kali dengan pikiran yang semakin teratur. Ini yang akan membuat mereka mampu menghadapi dunia.
Akhirnya, Nak…
Ayah tidak bisa menjamin perjalananmu sebagai suami dan ayah akan selalu mulus.
Tapi ayah ingin kamu tahu:
Naik dan turun dalam kehidupan itu siklus alamiah. Pemimpin keluarga yang baik tidak panik saat roda kehidupan berputar ke bawah, dan tidak sombong saat roda membawa ke atas. Di bawah, kamu ditempa. Di atas, kamu diuji.
Keduanya penting. Keduanya menentukan kualitasmu sebagai suami, ayah, dan manusia.
Dan kamu? Ayah percaya kamu akan dapat menjalani dengan baik kehidupan itu nanti.
Bukan karena kamu sempurna, tapi karena kamu berusaha — setiap hari.”
BACA JUGA: 10 Tipe Ayah Saat Mengurusi Urusan Sekolah Anak, Daddies Tipe yang Mana?
Ditulis oleh: Saskia Elizabeth
Cover: Freepik