
Saat terus-menerus mengorbankan kepentingan pribadi demi kebutuhan perusahaan, hati-hati bisa jadi Mommies rela menderita demi pekerjaan. Kenali 5 tandanya!
Pernah merasa kalau pekerjaan yang Mommies lakukan di kantor tidak ada yang bisa menggantikan jika Mommies ingin cuti untuk berlibur dengan keluarga atau sekadar me time dan istirahat di rumah? Atau pernah merasa kalau Mommies selalu ingin bisa mengambil alih pekerjaan atau job desc orang lain saat orang tersebut mengalami kesulitan?
Jangan merasa bangga dulu kalau merasa mengalami beberapa kondisi tersebut. Sebab, bisa jadi Mommies sedang gila kerja dan rela menderita demi pekerjaan!
Mengutip dari Huffpost, Melody Wilding, seorang pelatih eksekutif dan pekerja sosial berlisensi, “orang yang rela menderita demi pekerjaan (martir), adalah orang yang menggunakan kesibukannya itu sebagai lencana kehormatan, mereka membanggakan diri kalau lembur, merasa menjadi orang yang tepat untuk melakukan segalanya.” Sekilas orang seperti ini superior sekali, ya.
Melody menambahkan, kategori orang seperti ini menempatkan pekerjaan sebagai prioritas pertama di atas segalanya, bahkan rela menunda liburan, dan sedihnya kesehatan mental mereka. Jika sudah sampai ke tahap paling terakhir tersebut, kondisi ini sudah termasuk cukup mengkhawatirkan, lho, Mommies!
Sebelum terjerembap lebih jauh, karena mungkin saja di antara Mommies ada yang tidak sadar sedang menjalankan peran tersebut, yuk, kenali tanda-tandanya.
BACA JUGA: Tips Jadi Clipper untuk Pemula: Skill, Etika, dan Cara Memulai dari Nol
Kata Orbé-Austin, psikolog berlisensi yang fokus membantu para profesional mengelola karier mereka, biasanya tanda ini menunjukkan orang yang mencari validasi eksternal untuk diakui istimewa. Di sisi lain, ada kerugian yang dia sedang ciptakan sendiri, yaitu justru tidak fokus pada pencapaian, keterampilan dan nilai-nilai pada diri sendiri. Akhirnya mengabaikan self love, bela-belain sakit demi beban pekerjaan yang sebetulnya bukan kapasitas diri Mommies.

Melody menjelaskan tentang sudut pandang para martir, “melihat permintaan bukan sebagai pilihan, tetapi sebagai tuntutan. Mereka berpikir, bahwa segala sesuatu yang melintasi dirinya, adalah sesuatu yang harus mereka lakukan.”
Misalnya begini, jika posisi Mommies adalah seorang supervisor, dan mendapati pekerjaan tim tidak seperti standar yang diinginkan dan langsung mengambil alih tanggung jawab tersebut. Wohooo, sabar Mommies! Coba, deh, cek lagi. Mungkin saja, kita yang harus memberikan instruksi lebih jelas, atau bisa jadi tenggat waktu yang diberikan kurang. Dan yang paling penting adalah mengelola harapan kita terhadap manusia, yang selalu berpotensi melakukan kesalahan.
Kalau terus-terusan tidak mampu mendelegasikan tugas Mommies, dampaknya bisa sampai merugikan rekan kerja, lho. Sama saja dengan “merampok” peluang orang lain untuk mengembangkan dirinya. Akhirnya sisi jenjang kariernya pun tidak berkembang.
“Para martir kerja menyamakan harga diri mereka dengan seberapa banyak yang dapat mereka lakukan dan produktivitas mereka,” jelas Melody Wilding. Bahaya sekali jika terus-terusan terjadi. Melody bilang model yang begini berpotensi tidak bisa tidur nyenyak di malam hari, karena beban pekerjaan yang terlalu tinggi berada di atas kepentingan diri sendiri keluarga.
Hati-hati dengan tipe rekan kerja seperti ini. Karena pola pikir dia, akan menganggap koleganya juga harus siap setiap saat, ketika dibutuhkan. Siap nggak dapat email tengah malam, terus menciptakan kegelisahan? Huhuhu.

“Ketika anda seorang martir kerja, anda dibutakan oleh di mana peluang itu berada, anda hanya berpikir bahwa peluang itu adalah dalam bekerja keras,” kata Orbé-Austin. Jangan mengorbankan harga diri, hanya untuk menemukan harga diri dalam sebuah pekerjaan. Jika Mommies berpikir, melakukan banyak pekerjaan berbanding lurus dengan promosi yang akan diterima, berarti Mommies belum memahami bagaimana promosi itu terjadi.
Seseorang bisa berkembang dalam kariernya juga ditentukan oleh bagaimana strategi dia dalam bekerja, berkomunikasi internal dan eksternal, hingga target-target yang dipenuhi dan tentu attitude.
Survei yang dilakukan pada 2017 oleh Asosiasi Perjalanan Amerika, menunjukkan sebagian karyawan tidak bisa mengambil cuti untuk liburan karena mereka merasa tidak ada orang lain yang dapat melakukan pekerjaannya. Duh, kok, sedih sekali. Kan ada yang konsep kerja “delegasi”, ya.
Sementara itu, di 2018 data lain mengatakan 4.000 orang enggan ambil cuti untuk libur karena takut posisinya dapat diganti orang lain, dianggap kurang berdedikasi, dan pekerjaan akan jauh lebih menumpuk kalau ambil cuti.
Padahal kata Melody, salah satu kunci keberhasilan karier adalah pemulihan lewat berlibur. Liburan berarti berinvestasi dalam bentuk energi dan re-charge tenaga.
BACA JUGA: 10 Negara dengan Gaji Tertinggi di Dunia, Tunjangan Kerja Bikin Betah!
Cover: JESHOOTS.COM/Unsplash