
Masih banyak yang belum sadar, padahal dad burnout nyata dan sering diabaikan. Yuk, pahami faktanya supaya bisa bantu pasangan sebelum terlambat.
Sama seperti ibu, ayah juga bisa lelah secara emosional. Ketika ayah nggak cuma capek fisik karena kerja seharian tapi juga secara emosional, ia akan kelihatan gampang tersinggung, susah fokus, bahkan menarik diri dari keluarga. Itu bukan sekadar stres biasa, melainkan tanda-tanda dad burnout.
Fenomena dad burnout ini sering luput dari perhatian karena masyarakat cenderung melihat ayah sebagai sosok yang harus selalu kuat dan tangguh. Padahal, di balik peran sebagai kepala keluarga, banyak ayah yang diam-diam lelah karena terus-menerus menanggung stres.
Yuk, kenali penyebab dan tanda-tanda dad burnout lebih dalam, sekaligus cari tahu cara membantu ayah bangkit lagi dari kelelahan yang sering diabaikan ini.
BACA JUGA: Diam-diam, Ini 7 Kekhawatiran yang Sering Dirasakan Suami! Istri Wajib Tahu

Di era sekarang, banyak ayah nggak cuma jadi pemenuh kebutuhan keluarga, tetapi juga makin aktif dalam pengasuhan. Peran ayah yang makin luas ini bagus banget tapi sekaligus risikonya juga makin besar. Parental burnout terjadi ketika kewajiban mengasuh dan bekerja jadi beban yang bikin fisik dan emosi kelelahan.
Secara sederhana, dad burnout dan parenting burnout adalah bentuk kelelahan emosional, mental, dan fisik yang dialami oleh ayah (dan orang tua) ketika beban tanggung jawab sebagai ayah dan kepala keluarga, serta ekspektasi sosial yang tinggi terasa terlalu berat.
Seperti yang dikatakan ahli manajemen stres Andrew Shatte, “Fenomena dad burnout itu nyata dan memengaruhi banyak ayah saat ini. Mengenali tanda-tandanya dan mengambil langkah proaktif untuk mengelola stres bisa membuat perbedaan besar.”
Dengan kata lain, mengetahui penyebab dan mengenali tanda-tanda awalnya adalah langkah pertama untuk mencegah dampak yang lebih serius seperti kehilangan semangat kerja, motivasi, dan depresi.
Ini beberapa faktor yang kerap bikin ayah “kehabisan bensin”:
Tekanan di dunia kerja saat ini luar biasa. Lembur jadi hal biasa, batas antara jam kantor dan waktu keluarga makin kabur, apalagi kalau masih ‘suka’ bawa pulang urusan kantor. Menurut laporan American Psychological Association, sekitar 60% pekerja (termasuk ayah) mengalami stres kerja tinggi dan efek dominonya langsung terasa dalam kehidupan rumah tangga.
Dulu, ayah cukup dikenal sebagai pencari nafkah utama. Sekarang, peran mereka juga dituntut aktif dalam pengasuhan anak. Pergeseran ini positif, tetapi di sisi lain menambah tekanan emosional. Banyak ayah merasa harus selalu ada, baik secara finansial maupun emosional padahal kapasitas setiap orang berbeda.
Penelitian Harvard Business Review menemukan bahwa 56% ayah pekerja merasa bersalah karena kurang waktu bersama anak-anak. Rasa bersalah inilah yang bisa berubah jadi stres kronis kalau tidak diolah dengan baik.
Ayah sering kali jadi “superman” keluarga tapi lupa bahwa pahlawan juga butuh istirahat. Tidur kurang, jarang olahraga, dan minim waktu santai bisa bikin tubuh dan pikiran kolaps. Penelitian yang dilakukan oleh National Sleep Foundation, 40% ayah mengaku kurang tidur karena sulit menyeimbangkan kerja dan kehidupan keluarga.
Gimana kita bisa tahu kalau ayah mulai burnout? Berikut beberapa alarm yang perlu diperhatikan:
Penelitian yang diterbitkan di Psychology Today menunjukkan bahwa parental burnout yang tidak ditangani bisa berdampak serius:

Dilansir dari Dad Ceo, Psikolog keluarga Dr. Lisa Damour, penulis The Emotional Lives of Teenagers, mengingatkan, “Merawat diri sendiri bukanlah sikap egois. Hal ini justru penting untuk menjaga energi dan kestabilan emosional yang dibutuhkan seorang ayah untuk mengasuh anak secara efektif dan meningkatkan kinerja di tempat kerja.”
Mommies, yuk, bantu pasangan supaya burnout yang dialaminya nggak numpuk dan menghancurkan dari dalam. Ini langkah-nyata yang bisa diterapkan:
Misalnya coba stop mengecek email setelah jam kerja resmi selesai, saat weekend, dan ketika sedang bersama keluarga. Batas ini membantu ayah “keluar” dari mode karyawan kantoran dan masuk ke mode ayah yang santai.
Ayah juga butuh me time. Jadi jadwalkan olahraga ringan, tidur cukup, atau waktu untuk menikmati hobi.
Mommies dan pasangan perlu ngobrol jujur: “Saya capek”, “Saya butuh waktu untuk diri sendiri”, “Tolong bantu ini ya”. Bila beban dibagi, burnout bisa ditekan.
Jangan semua momen jadi “tugas”. Misal: malam game bareng, jalan-jalan sore santai, atau beresin kebun mini bersama anak. Waktu yang nyaman bikin pasangan Mommies ingat kenapa dulu dia ingin menjadi ayah.
Ayah nggak harus selalu kuat. Bagikan tugas kepada istri, anak yang lebih besar, atau orang terdekat. Bantu juga pasangan Mommies memahami bahwa minta bantuan bukan tanda lemah tapi langkah cerdas.
Ayah bukan Superman. Ada hari baik, ada hari kurang baik. Turunkan standar “sempurna” karena riset menyebut bahwa perfeksionisme erat kaitannya dengan fenomena dad burnout.
Ada banyak grup ayah online dan komunitas parenting. Bicara dengan ayah-ayah lain yang berpengalaman bisa menjadi pelepas stres dan sumber ide. Coba ajak pasangan Mommies untuk mengikuti satu komunitas parenting.
Jika suami sudah merasa sangat lelah, menarik diri, atau ada gejala yang mengganggu keseharian (misal: sulit tidur, depresi), jangan tunggu minggu depan. Segera cari bantuan, Dukungan dari psikolog atau konselor bisa sangat membantu. Jangan beride bahwa masalah dad burnout yang dialami suami bakal sembuh sendiri!
Penting banget buat kita untuk sadar bahwa ayah bukan robot. Di balik sosok tenang dan kuat, bisa jadi ada rasa lelah tidak terucapkan.
Dengan saling memahami, berbagi peran, dan memberi ruang istirahat yang cukup, kita bisa bantu pasangan tetap sehat. Bukan cuma secara fisik tapi juga mental.
BACA JUGA: Paternity Leave: Mengapa Cuti Ayah Penting? Ini Jawaban Langsung dari Para Ayah
Cover: Freepik