Mengenal Mental Load Remaja Gen Z: FOMO, Burnout dan Kecemasan, Apa yang Harus Dilakukan Orang Tua?

Parenting & Kids

Sisca Christina・an hour ago

detail-thumb

Dari pada hanya melabeli remaja Gen Z sebagai generasi yang kurang resilien, mari kenali mental load mereka, berempati dan memberi bantuan yang dibutuhkan.

Lahir dan hidup di era digital yang dinamis dan serba cepat, remaja Gen Z tumbuh menjadi pribadi yang secara umum cerdas, kreatif, kritis dan piawai dalam hal teknologi. Mereka juga memiliki rasa toleransi yang tinggi, cepat beradaptasi, peduli terhadap sesama dan isu-isu lingkungan. Bagusnya lagi, remaja Gen Z juga memiliki kesadaran atau kepedulian tentang pentingnya menjaga kesehatan mental.

Namun, di balik karakter baik mereka, ada sisi-sisi dari Gen Z yang kita belum pahami sepenuhnya. Generasi-generasi pendahulunya sering menyebut remaja Gen Z manja, mau serba instan, kurang resilien, dan lekas mengeluh dan butuh healing. Padahal, mungkin saja kita yang belum paham bagaimana sebetulnya mental load atau beban mental remaja Gen Z.

Seberapa besar tekanan yang mereka alami di tengah gempuran arus teknologi dan media sosial? Apa kecemasan mereka tentang masa depan? Bagaimana kekhawatiran mereka ketika tidak bisa mengikuti gaya hidup peer group mereka? Atau, adakah mereka kelelahan karena merasa harus memenuhi tuntutan untuk terus produktif, berprestasi dan menjaga citra diri?

Mari kita tilik satu per satu.

Fenomena FOMO pada Remaja Gen Z

Nggak hidup di era Coldplay, tapi ikutan nonton Coldplay, demi update status dan koleksi foto. Terus menyimak, membalas dan jump in dalam percakapan di group chat supaya nggak ketinggalan, padahal tubuh sudah lelah. Aktif ikut ini dan itu supaya memiliki pengalaman yang serupa dengan teman-teman. Takut ketinggalan informasi terkini, takut dianggap tidak berpartisipasi, dan seterusnya adalah contoh-contoh fenomena FOMO atau fear of missing out yang berkembang di kalangan remaja Gen Z.

remaja gen z

Foto: Image by freepik

Menurut Jurnal Psikologi tentang Social Construction of FOMO (Fear Of Missing Out) For Psychological Well-Being Among Generation Z yang ditulis oleh Elok Azimatuz Zahroh dari UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, Jawa Timur, fenomena FOMO ini sangat terkait dengan penggunaan media sosial yang tinggi. Pada jurnal tersebut disebutkan bahwa FOMO muncul akibat perbandingan sosial dan ekspektasi yang berkembang di sekitar individu yang ditunjukkan melalui media sosial. Ini menyebabkan munculnya perasaan cemas, stres dan rendahnya kepuasan hidup. Sehingga, FOMO dapat memengaruhi kesejahteraan mental Gen Z.

Terlepas dari dampak negatifnya, ternyata, Gen Z pun paham bahwa FOMO bisa jadi boomerang buat diri mereka. Sehingga, mereka pun berusaha mengelola FOMO dalam hidup mereka.

Baca juga: Mengenal Perbedaan Parenting Antargenerasi: Dari Silent Generation, Boomer, hingga Gen Z

Masih Remaja, Sudah Burnout, kok, Bisa?

Burnout itu nggak pandang usia. Burnout bukan hanya milik orang dewasa yang memiliki multiperan dan segudang urusan. Remaja Gen Z pun ternyata bisa burnout. Tuntutan akademis, aktivitas yang padat, tekanan sosial, persepsi remaja akan ekspektasi orang lain terhadap diri mereka, bisa membuat mereka kelelahan, baik secara fisik maupun mental. Akhirnya, mereka burnout!

Saya pernah mendapat sebuah cerita seorang remaja yang satu hari ada empat les, kemudian dia sedang persiapan untuk mengikuti kejuaraan Tae Kwon Do. Hampir setiap hari pergi pagi pulang malam (padahal bukan karyawan). Akhirnya fisiknya kelelahan. Boro-boro bermain, istirahatpun kurang. Dia jalani itu semua untuk memenuhi ekspektasi orang tua, bukan untuk memenuhi kebutuhannya sendiri. Pada akhirnya, kelelahan fisik dan mental yang mereka alami dapat termanifestasi dalam bentuk frustrasi, ketidakstabilan emosi, penurunan performa akademis, hingga burnout.

Gejolak Kecemasan pada Remaja Gen Z

Gen Z tumbuh di dunia di mana media sosial memberitakan banyak peristiwa tak menyenangkan hingga mengerikan. Perang, kerusuhan, dinamika politik, perubahan iklim, kasus penipuan, kekerasan, bullying ketidakpastian masa depan/karir dan seterusnya. Belum lagi, terpapar hoax yang belum dicari tahu kebenarannya namun sudah keburu masuk ke benak.

Semua gejolak dan ketidakpastian tersebut memengaruhi kesehatan mental mereka. Ini memicu kecemasan hingga depresi di kalangan remaja. Kabar baiknya, remaja Gen Z sudah lebih melek akan kesehatan mental. Sehingga, berkonsultasi dengan psikolog mengenai gangguan kecemasan yang mereka alami, bukan hal yang tabu bagi mereka.

Orang Tua Harus Apa?

Mengasuh remaja di era 90an tentu berbeda dengan mengasuh remaja Gen Z di abad 21. Kita sebagai orang tua tak bisa menggunakan kalimat: “Mama papa dulu begini begitu”, dan membandingkan kondisi di masa lalu dengan sekarang. Sebab itu jelas tidak relevan.

Foto: Image by freepik

Pertama-tama, orang tua perlu mengikis gap antargenerasi terlebih dahulu, untuk bisa lebih memahami karakteristik anak-anak generasi sekarang dan beradaptasi dengan era mereka. Kemudian, perkuat bonding dan ciptakan relasi orang tua dan anak yang sehat dan aman.

Relasi keluarga yang sehat adalah fondasi kesehatan mental remaja. Kalau anak sudah merasa sehat, aman, dengan tangka cinta yang cukup dari keluarga, seheboh apapun gempuran media sosial, niscaya mereka sanggup memfilter mana yang penting dan mengabaikan yang tidak penting bagi mereka. Dengan demikian, mereka pun memiliki kemampuan untuk mengatasi berbagai tekanan mental yang hadir di hidup mereka.

Baca juga: Kebiasaan Instan Gen Alpha: Apa Dampaknya Saat Mereka Dewasa? Ini Jawaban Psikolog!

Cover: Image by freepik