banner-detik
PARENTING & KIDS

8 Kebiasaan Gen Z dan Gen Alpha yang Bisa Memicu Demensia Dini

author

RachelKalohin 4 hours

8 Kebiasaan Gen Z dan Gen Alpha yang Bisa Memicu Demensia Dini

Bila orang tua terus membiarkan kebiasaan ini terjadi pada anak gen Z dan gen Alpha, jangan heran bila nanti mereka mengalami demensia dini.

Menurut Yankes Kemkes, prevalensi penyakit demensia Alzheimer di Indonesia sekitar 27,9% dan lebih dari 4,2 juta penduduk Indonesia menderita demensia. Alzheimer’s Association melaporkan bahwa pada tahun 2021, penyakit Alzheimer merupakan penyebab kematian terbanyak kelima di antara orang berusia 65 tahun ke atas. Menurut proyeksi demensia statistic, pada tahun 2050, jumlah orang yang berusia di atas 65 tahun yang menderita demensia akan mencapai 1.6 juta. 

Apa yang terjadi ketika mengalami Demensia Alzheimer?

Demensia Alzheimer dapat mulai berkembang bertahun-tahun sebelum gejala pertama muncul. Kerusakan sering kali dimulai di wilayah otak yang mengendalikan ingatan. Demensia ditandai dengan penurunan fungsi kognitif/memori, yang progresif, dan sudah menganggu aktivitas sosial dan pekerjaan.

Apakah demensia dini dapat terjadi?

Ya, demensia dini bisa terjadi. Young Onset Dementia terjadi pada individu yang didiagnosa saat usianya di bawah 65 tahun (20-50 tahun). Namun, meski pada usia muda masih jarang terjadi, karena faktor utamanya merupakan faktor genetik, gaya hidup serta lingkungan juga dapat meningkatkan risiko seseorang mengalami demensia dini. 

Kebiasaan yang bisa memicu demensia dini

Meski risiko terkena penyakit demensia alzheimer sangat rendah di kalangan usia gen Z dan gen Alpha, setidaknya kita bisa mengusahakan anak untuk menghindari kebiasaan berikut ini, seperti yang juga tertulis di Alzheimer.ca.

  1. Screen time lebih dari 2 jam per hari

Sebetulnya, kita pun pasti sudah paham kalau screen-time pada anak, bukannya tidak diperbolehkan sama sekali, namun setiap usia punya batasan yang dianjurkan. Perkara kita menerapkannya di rumah atau tidak, memang kembali ke keputusan masing-masing. Hanya saja, dengan begitu, kita berperan meningkatkan risiko yang akan didapat dengan membiarkan anak terpapar gadget lebih dari yang seharusnya. Remaja pasti sudah sangat familiar dengan istilah brain rot, maka patutlah kita ingatkan mereka tentang makna sesungguhnya, yakni penurunan fungsi mental dan intelektual akibat konsumsi berlebihan konten daring yang berkualitas rendah, bernilai rendah, atau tidak masuk akal.

Baca juga: Aturan Durasi Screen Time Anak dan Remaja, Jangan Berlebihan!

2. Tidak ikut dalam kegiatan di luar sekolah

Sebetulnya, memang yang seringkali menjadi kendala adalah, makin banyak kegiatan di luar sekolah, makin banyak pengeluaran. Namun, dalam hal ini, kegiatan yang sifatnya non-akademis ini dapat membantu perkembangan anak, dengan mendukung skill yang sesuai minatnya, membuatnya aktif secara fisik, maupun mengasah kemampuan sosial anak. Semua ini sangat diperlukan anak, baik di masa pertumbuhannya, maupun bagi masa depannya.

3. Terlalu lama menggunakan headphone

Gen Z kerap menggunakan headphone saat jalan-jalan di mal. Selain untuk mendengarkan musik, nampaknya hal ini merupakan trend di kalangan mereka. Pada dasarnya, sebelum memberikan anak perangkat audio ini, kita perlu mengingatkan bahwa ada berbagai aktivitas yang melibatkan interaksi dengan orang lain, sehingga headphone perlu dilepas. Perangkat audio yang memiliki earcup besar dan menutupi seluruh telinga pengguna ini membuat anak terpapar terus menerus secara langsung terhadap suara yang keras, hal ini tidak baik bagi kesehatan pendengarannya. Sementara, hal terburuk seperti kehilangan pendengaran, terutama di usia paruh baya, dapat meningkatkan risiko demensia rata-rata sebesar 90%.

4. Tidak pernah melakukan pemeriksaan kesehatan selama setidaknya setahun

Sesuai anjuran dokter, anak remaja disarankan untuk menjalani pemeriksaan kesehatan tahunan atau berkala (meski keadaan tubuhnya sedang fit/tidak sedang sakit), terutama selama masa pubertas dan pertumbuhan, untuk mendeteksi masalah kesehatan sejak dini, memantau perkembangan fisik dan mental, serta mendapatkan edukasi gaya hidup sehat.

5. Tidak pernah mendapatkan kesempatan untuk bercerita

Ketika orang tua tidak membuka kesempatan untuk anak menceritakan tentang kehidupannya, anak pun tidak akan tahu cara memvalidasi perasaannya. Bahkan, sebetulnya orang tua juga disarankan untuk membawa anak berkonsultasi dengan psikolog, baik karena adanya masalah atau gejala yang mengkhawatirkan seperti gangguan perilaku, emosi, atau tumbuh kembang, maupun untuk menggali minat, bakat, dan potensi anak di masa depan. Konsultasi juga penting setelah anak mengalami pengalaman traumatis. Dengan demikian, anak dapat terhindar dari risiko mengalami depresi. Bila dibiarkan, depresi tidak hanya dapat mengganggu suasana hati, tetapi juga fungsi otak yang secara tidak langsung juga berpengaruh terhadap risiko penyakit Demensia Alzheimer.

6. Kegiatan yang berisiko tinggi

Biasanya, di usia remaja, anak mulai suka eksplor kegiatan yang menurut mereka menantang, yang artinya risikonya juga lebih tinggi. Bila kegiatan ini memiliki dasar dan tujuan tertentu, misalnya seperti ekskul panjat tebing, bela diri, dan sejenis olahraga lainnya yang rentan berhadapan dengan bahaya, pastikan Anda dan anak sudah benar-benar menyadari dan memahami risikonya. Namun, anak juga perlu diberi pemahaman terhadap kegiatan lain di luar ini yang biasanya membuatnya terpapar melalui pergaulan, seperti balapan motor, balapan mobil, merokok, dan mengonsumsi alkohol.

7. Begadang, tidak cukup tidur, atau tidurnya tidak berkualitas

Kebiasaan begadang ini bisa berlangsung bahkan di usia remaja. Misalnya, ketika libur panjang, anak tidak perlu bangun pagi untuk sekolah, maka ia merasa wajar bila ia tidur lepas tengah malam. Ketika anak menemukan kenyamanan saat begadang, apalagi bila dilakukan demi kegiatan lain, seperti main game, nonton bola, maupun nongkrong bareng temannya, lama-kelamaan anak akan semakin sulit mendapatkan waktu tidur yang cukup, maupun tidur yang berkualitas. 

8. Tidak mendapatkan cukup vitamin D

Salah satu cara mencegah demensia terjadi adalah dengan mendapatkan asupan vitamin D yang cukup. Disebutkan bahwa terdapat hubungan antara kekurangan vitamin D dengan penurunan kognitif. Kebutuhan vitamin D ini bahkan sebaiknya terpenuhi sejak usia dini. Caranya, dengan berjemur atau beraktivitas di luar ruangan, atau dengan mengonsumsi suplemen yang kaya akan vitamin D, seperti Boost D, Prove-D3, Forti-D, Now, dan sebagainya.

Yuk, Mommies, jaga kebiasaan anak dari sekarang, supaya masa depannya cerah dan bebas dari risiko demensia dini.

Photo by Freepik

Share Article

author

RachelKaloh

Ibu 2 anak yang hari-harinya disibukkan dengan menulis artikel dan content di media digital dan selalu rindu menjalani hobinya, menjahit.


COMMENTS


SISTER SITES SPOTLIGHT

synergy-error

Terjadi Kesalahan

Halaman tidak dapat ditampilkan

synergy-error

Terjadi Kesalahan

Halaman tidak dapat ditampilkan