Apa itu ideologi incel culture? Apa dampaknya pada kesehatan mental anak laki-laki? Dan bagaimana mengatasinya? Ini penjelasannya dari psikolog.
Sebuah serial televisi berjudul Adolescence, yang tayang perdana di Netflix pada Maret 2025, telah memicu diskusi luas tentang sisi gelap masa remaja anak laki-laki. Serial drama kriminal produksi Inggris ini berkisah tentang Jamie Miller, seorang remaja berusia13 tahun yang dituduh membunuh teman sekelasnya, Katie.
Dalam empat episode, cerita berkembang selama 13 bulan dan berakhir dengan pengakuan mengejutkan Jamie kepada ayahnya. Namun, yang membuat serial ini begitu berdampak adalah pesan kuat yang disampaikan: betapa mudahnya anak laki-laki terperosok ke dalam pola pikir misoginis yang ekstrem—seperti ideologi incel culture—yang dalam kasus tragis, dapat berujung pada tindak kekerasan.
Di dunia maya, anak laki-laki yang melabeli dirinya dengan sebutan kaum incel membentuk komunitas tertutup yang memperkuat rasa frustrasi dan kebencian terhadap perempuan, dengan narasi bahwa perempuan adalah penyebab utama penderitaan mereka.
Incel culture bukan sekadar fenomena internet yang akan hilang dengan sendirinya. Ini adalah ancaman nyata yang berdampak pada kesehatan mental anak laki-laki, hubungan gender, serta keamanan publik.
Mari kita gali lebih dalam apa itu incel culture, bahayanya, serta tanda-tanda yang dapat para orang tua kenali pada anak laki-laki yang merasa diri mereka kaum incel, bersama Nadya Pramesrani, Psikolog Keluarga & Pernikahan sekaligus Co-Founder Rumah Dandelion.
BACA JUGA: 10 Pelajaran Berharga Serial Adolescence, Ungkap Realitas Kelam Remaja Masa Kini
“Involuntary celibates culture atau budaya incel adalah sekelompok orang (mayoritas adalah laki-laki) yang melihat dirinya sebagai seseorang yang tidak mampu menjalin hubungan seksual ataupun romantis dengan perempuan karena memiliki karakteristik fisik yang tidak diinginkan oleh lawan jenis. Dari jurnal penelitiannya Whittaker, Costello, & Thomas (2024) tentang Predicting Harm Among Incels, diketahui bahwa orang-orang dengan keyakinan incel ini adalah mereka yang berada di kelompok usia 18-21 tahun dan 22 – 25 tahun,” ungkap Psikolog Nadya.
Psikolog Nadya melanjutkan, “Kenapa banyak di kelompok usia tersebut, bisa dilihat juga dengan keterkaitannya terhadap tugas perkembangan seseorang. Di usia remaja (15 – 21 tahun) adalah masanya seseorang membentuk identitas dirinya, mengenali kekuatan dan kelemahan diri, dan bagaimana mereka berelasi dengan teman dan lingkungan sosial akan dapat memengaruhi cara pandangnya atas dirinya. Sedangkan di usia dewasa muda (22 tahun – 30 tahunan) adalah periode tugas perkembangan menjalin relasi romantis dan membentuk hubungan bermakna. Pengalaman-pengalaman gagal atau kesulitan dalam aspek ini ditambah dengan minimnya kemampuan regulasi emosi bisa membuat seseorang jadi melihat dirinya sebagai incel.”
Apa sih bahayanya jika anak laki-laki punya ideologi Incel Culture terhadap kesehatan mental serta relasinya dengan orang lain? Berikut ini penjelasan Psikolog Nadya sekaligus menjadi peringatan bagi para orang tua:
Apa tanda-tanda yang bisa dikenali jika seorang anak laki-laki memiliki pola pikir incel culture? Beberapa ideologi yang diyakini oleh anak laki-laki yang memiliki ideologi incel culture adalah:
Jika tanda-tanda ini muncul, penting bagi orang tua untuk tidak mengabaikannya dan segera cari bantuan.
Sekolah bisa menjadi garda terdepan dalam menyediakan ruang aman dan sumber daya kesehatan mental bagi anak laki-laki. Memberikan pendampingan sejak dini membantu mencegah perasaan terasing dan penolakan yang menjadi awal mula berkembangnya ideologi incel.
Anak-anak remaja sebaiknya hanya menonton tayangan atau mengakses konten internet yang telah disetujui orang tua. Batasan waktu dan pendampingan digital penting untuk mencegah mereka mengakses forum-forum penuh kebencian yang bisa mengubah cara berpikir mereka secara drastis.
Anak perlu merasa aman untuk menyampaikan perasaan dan pertanyaan mereka, tanpa takut dihakimi. Komunikasi yang baik akan mencegah anak mencari jawaban di tempat yang salah—seperti forum incel di internet. Dengarkan mereka dengan empati dan arahkan dengan kasih sayang.
Pendidikan tentang kesetaraan gender, konsen, serta hubungan yang sehat harus menjadi bagian dari kurikulum sekolah dan budaya rumah. Anak laki-laki harus diajarkan untuk menghormati perempuan sebagai individu yang setara, bukan sebagai objek yang harus dimiliki.
Ideologi incel memperkuat stereotip keliru tentang laki-laki dan perempuan, seolah laki-laki berhak atas seks dan hubungan, sementara perempuan hanya objek pemuas. Ketika anak laki-laki tumbuh dengan pola pikir ini, mereka tak hanya bakal gagal menjalin hubungan yang sehat, tetapi juga berkontribusi pada budaya pelecehan dan kekerasan seksual.
Relasi antara laki-laki dan perempuan menjadi kompetitif, bukan kolaboratif. Alih-alih membangun hubungan setara, anak-anak yang terpapar ideologi incel justru tumbuh dalam ketidakpercayaan, kemarahan, dan pandangan merendahkan terhadap perempuan.
Masyarakat dan institusi pendidikan harus menjamin tersedianya layanan psikologis yang terjangkau dan mudah diakses oleh anak-anak serta remaja. Dengan mendapatkan bantuan profesional, anak laki-laki yang merasa frustasi atau kesepian bisa diarahkan pada jalan yang lebih sehat.
BACA JUGA: Anak Menjadi Saksi Bullying? Ajarkan Anak Lakukan Hal Ini!
Sekali lagi, ini peringatan serius bagi para orang tua bahwa incel culture bukan sekadar istilah asing dari dunia maya—ini adalah ideologi beracun yang bisa merusak masa depan anak laki-laki, relasi antargender, dan kehidupan bersosial. Sebagai orang tua, pendidik, dan bagian dari masyarakat, kita semua tidak boleh tinggal diam. Dengan perhatian, edukasi, dan dukungan yang tepat, kita bisa melindungi generasi muda dari jatuh ke dalam jurang kebencian yang tak berdasar, yang ujungnya bisa saja berlanjut pada tindak kekerasan.
Cover: Freepik