Dari ancaman HAM hingga ketidakstabilan ekonomi, pengesahan UU TNI membawa dampak luas bagi masyarakat khususnya perempuan dan anak.
DPR RI secara resmi mengesahkan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 mengenai Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) sebagai Undang-Undang. Keputusan ini diambil pada rapat paripurna di gedung DPR RI, Senayan, Jakarta Pusat pada Kamis (20/03/2025). Dipimpin oleh Ketua DPR Puan Maharani, rapat juga turut dihadiri oleh Wakil Ketua DPR lain, seperti Sufmi Dasco Ahmad, Saan Mustopa, dan Adies Kadir.
Gelombang protes yang sebelumnya sudah muncul semakin meluas setelah keputusan ini diumumkan. Tagar #TolakRUUTNI juga menjadi trending di media sosial, menggambarkan keresahan publik terhadap kebijakan baru tersebut karena berpotensi mengancam kebebasan sipil dan memperluas peran militer dalam kehidupan masyarakat. Bahkan, aksi demonstrasi di berbagai daerah turut digelar sebagai bentuk penolakan terhadap UU TNI.
Kekhawatiran utama yang muncul dari pengesahan UU TNI ini adalah kembalinya pola militerisasi seperti pada era Orde Baru, yakni keterlibatan TNI dalam urusan sipil semakin luas dan berpotensi mengikis supremasi hukum serta demokrasi. Selain itu, dampak dari UU ini juga dapat dirasakan dalam kehidupan sosial dan politik, dimana ruang kebebasan berpendapat dan berekspresi bisa semakin terbatas, sehingga menciptakan atmosfer ketakutan di tengah masyarakat.
Pada era Orde Baru, keterlibatan militer dalam kehidupan sipil tidak hanya berdampak pada kebebasan berpendapat, tetapi juga secara langsung mempengaruhi kelompok rentan, terutama perempuan dan anak-anak. Berikut ini beberapa kasus yang melibatkan perempuan dan anak pada Orde Baru.
Aktivis buruh yang diculik, disiksa, diperkosa dan dibunuh pada Mei 1993 setelah memperjuangkan hak-hak buruh di pabrik tempatnya bekerja. Hingga kini, pelaku utama pembunuhannya tidak pernah diadili. Menjadi kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat yang pernah terjadi di Indonesia yang menarik perhatian dunia.
Seorang perempuan berusia 45 tahun dari Kecamatan Glp. Tiga Pidie mengalami penyekapan sebanyak dua kali oleh Kopassus. Selama penyekapan, ia disiksa secara keji dan mendapatkan kekerasan seksual. Selama status Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh pada 1989 – 1998, perempuan dan anak-anak sering menjadi korban kekerasan, baik dalam bentuk penyiksaan, pelecehan seksual, maupun kehilangan anggota keluarga akibat penghilangan paksa.
Setelah peristiwa G30S 1965, anggota Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia) mengalami penyiksaan, pelecehan seksual, hingga pembunuhan. Mereka dituduh secara tidak adil sebagai bagian dari propaganda rezim untuk mendiskreditkan gerakan perempuan progresif.
Pada kerusuhan Mei 1998, terjadi serangkaian kekerasan seksual terhadap perempuan, terutama yang berasal dari etnis Tionghoa. Laporan dari berbagai organisasi HAM menyebutkan bahwa banyak perempuan diperkosa secara brutal oleh kelompok yang tidak dikenal. Kasus ini masih menyisakan luka bagi korban dan keluarganya karena hingga kini pelakunya tidak diadili.
Peristiwa ini berawal dari ketegangan antara aparat keamanan dan kelompok masyarakat di Tanjung Priok, Jakarta Utara. Aparat militer melakukan tindakan represif terhadap warga yang dianggap berseberangan dengan pemerintah. Banyak korban jatuh dalam tragedi ini, termasuk perempuan dan anak-anak yang menjadi korban kekerasan atau kehilangan anggota keluarganya.
BACA JUGA: Perlukah Layanan Konseling dengan Psikolog di Kantor? Ini Kata Pakar
Dengan disahkannya UU TNI, sejumlah dampak potensial terhadap masyarakat sipil mulai menjadi perhatian utama berbagai kalangan, terutama dari aspek demokrasi, hak asasi manusia, dan kebebasan sipil. Berikut ini beberapa dampak yang mungkin terjadi pada masyarakat sipil, antara lain.
Untuk mengurangi dampak dari pengesahan UU TNI terhadap masyarakat sipil, diperlukan langkah-langkah strategis yang melibatkan berbagai pihak, meliputi.
Masyarakat perlu mendapatkan pemahaman yang lebih luas tentang dampak pengesahan UU TNI. Kampanye edukasi melalui media sosial, seminar, dan diskusi publik dapat membantu meningkatkan kesadaran masyarakat.
Pengawasan ketat terhadap penerapan UU TNI menjadi hal yang sangat penting untuk mencegah penyalahgunaan kewenangan. Lembaga masyarakat sipil, akademisi, serta media dapat berperan aktif dalam mengawasi setiap kebijakan yang berpotensi merugikan hak-hak sipil.
Pemerintah perlu didorong untuk melakukan evaluasi terhadap implementasi UU TNI guna memastikan bahwa aturan tersebut tidak merugikan masyarakat sipil. Mekanisme evaluasi dapat melibatkan partisipasi publik, kajian akademik, serta rekomendasi dari lembaga independen.
Perempuan, anak-anak, dan kelompok minoritas sering menjadi korban dalam situasi ketidakstabilan politik. Oleh karena itu, perlindungan terhadap kelompok rentan harus menjadi prioritas dalam perjuangan menolak dominasi militer dalam kehidupan sipil.
Menyediakan layanan hukum dan psikososial bagi korban yang mengalami intimidasi atau kekerasan akibat kebijakan ini. Memastikan kasus pelanggaran HAM yang dilakukan oleh oknum militer tetap diproses secara transparan serta adil.
BACA JUGA: Program Beasiswa untuk Anak SMA, Ada yang Khusus Anak Perempuan
Dengan adanya UU TNI yang baru, masyarakat perlu terus mengawal agar kebijakan ini berjalan seimbang dan mendukung ketahanan negara tanpa mengorbankan kebebasan sipil.
Cover: detikcom