Sebagai orang tua, kita menginginkan yang terbaik untuk anak, tetapi terkadang tanpa sadar kita malah jadi overprotektif dan membahayakan tumbuh kembangnya.
Apa itu orang tua overprotektif? Dilansir dari artikel “Overprotective Parents : How to Let Go and Raise Independent Kids” yang ditulis oleh Lauren Barth, orang tua overprotektif adalah sosok yang terlalu melindungi anak dari rasa sakit fisik, mental atau emosional. Mereka ingin memastikan anaknya sukses dengan cara memudahkan jalur yang harus dilalui anak dan memiliki kecenderungan mengambil alih pengambilan keputusan yang harusnya menjadi hak dan tanggung jawab anak, karena mereka percaya bahwa mereka tahu yang terbaik.
Dijelaskan oleh Rizkia Nurannissa Chrismansyah M.Psi.,Psi (Psikolog Anak), cara asuh orang tua overprotektif biasanya berlebihan dalam melindungi anak, terlibat terlalu jauh dalam segala aspek kehidupan anak, mengontrol dan tidak memberikan kesempatan anak memutuskan, juga tidak memberikan cukup kesempatan pada anak untuk mendapatkan pengalaman & kemandirian sesuai tahapan usianya, atau seringkali disebut sebagai pola asuh “helicopter parents”.
BACA JUGA: Membesarkan Gen Z, Ini 10 Hal yang Harus dilakukan Orang Tua
Lalu, apa saja tanda-tanda orangtua overprotektif?
Mengatur dan memonitor anak hingga aspek terkecil dalam kehidupannya atau micro-managing, misalnya mengatur pilihan bajunya, aktivitas harian anak atau pilihan temannya dapat menjadi tanda overprotektif.
Mengingatkan anak tentunya wajar, namun selalu memberikan instruksi hingga anak kebingungan juga bukanlah hal yang tepat dilakukan.
Tanda lainnya adalah memberi hiburan yang berlebihan jika anak sedih, misalnya harus mengajak anak pergi ke tempat istimewa jika ia kecewa. Padahal yang lebih diperlukan anak adalah pelukan hangat, dengarkan & validasi perasaannya.
Orangtua yang kerap membuat keputusan, tanpa membiarkan anak memikirkan sendiri pilihannya termasuk tanda orangtua overprotektif. Tentunya wajar untuk memberikan arahan & berdiskusi, tapi kembalikan pilihan dam keputusan pada anak.
Sebagai orangtua, ada kecenderungan untuk melindungi anak. Namun sebenarnya untuk membesarkan anak yang tangguh, kita harus memberikan kesempatan pada mereka untuk belajar bangkit dari kegagalan dan menjadikannya sebagai hal wajar dan pembelajaran berarti, bukan akhir dari segalanya. Jika anak bersalah, orangtua overprotektif juga cenderung mencari alasan pembenaran & tidak membiarkan anak bertanggungjawab serta menanggung risiko perbuatannya.
Bersikap waspada tentu penting, namun menjerit atau berteriak setiap saat untuk memastikan keselamatan anak bukanlah hal yang positif. Anak bisa menjadi ikut cemas & memiliki ketakutan berlebihan.
Orangtua overprotektif cenderung hanya merayakan pencapaian besar anak, misalnya dibidang akademis, tanpa merayakan kemajuan dan pertumbuhan anak setiap harinya, juga seringkali melewatkan momen berharga bersama anak.
Memberikan reward luar biasa untuk sebuah pencapaian dan hukuman jika dianggap anak melanggar adalah cara yang umum diterapkan orangtua overprotektif. Lama kelamaan, anak terbiasa melakukan hal positif hanya untuk mengejar reward, bukan karena melakukan sesuatu yang dia anggap benar.
Orangtua overprotektif seringkali “menciptakan bubble” agar anak hidup nyaman misalnya tidak mengijinkan ikut kegiatan sekolah atau tidak boleh naik kendaraan umum, karena khawatir anak tidak nyaman. Padahal anak perlu dihadapkan dengan realita kehidupan sesuai usianya.
Rizkia juga menjelaskan banyak aspek negatif dari pola asuh overprotektif yang dapat mengganggu tumbuh kembang dan pembentukan karakter anak. Apa saja bahayanya orang tua yang overprotektif untuk anak?
Anak menjadi kurang mandiri, karena kurang diberikan kesempatan untuk mencoba dan melakukan hal secara mandiri, serta terlalu bergantung pada bantuan orang lain.
Anak juga mengalami hambatan dalam kemampuan memecahkan masalah, karena selalu dibantu atau dicarikan solusi oleh orangtua, tidak terlatih memutuskan sesuatu dan menanggung risiko atas pilihannya.
Anak yang diasuh secara overprotektif merasa dirinya tidak kompeten & sulit mencintai serta menghargai dirinya dengan tulus, akibat tidak dipercaya oleh orangtuanya sendiri untuk mengatur hidup, membuat keputusan & bertindak.
Hal ini diakibatkan oleh proteksi berlebihan yang dilakukan orangtua, hingga anak tidak terbiasa mengatasi tantangan dalam hidupnya, menjadikannya terlalu takut mencoba dan memilih mundur.
Kecemasan dan ketakutan berlebihan kerap dirasakan anak yang mempunyai orangtua overprotektif, terutama di situasi dan pengalaman baru tanpa orangtua di dekatnya, misalnya di sekolah.
Anak juga kurang bisa menerima kegagalan, karena mereka jarang diberikan kesempatan untuk mencoba dan mengalami kegagalan. Padahal, dari kegagalan anak belajar meregulasi emosinya dan bangkit kembali. Hal ini juga bisa berdampak pada kesehatan mental anak, dimana anak cenderung mudah stress jika gagal.
Anak dapat memiliki masalah sosial, karena pengalaman sosialisasi anak dibatasi dan anak tidak memiliki pertemanan normal sesuai usianya. Selain itu, anak juga dapat memiliki masalah insecure attachment style ketika dewasa, sebagai refleksi hubungannya dengan orangtua yang tidak saling percaya.
Dilansir dari artikel “8 Negative Effects of of Overprotective Parenting” yang ditulis oleh Joanna Pantazi, anak juga dapat memiliki karakter people pleasing karena terbiasa melakukan sesuatu untuk menyenangkan orangtuanya, bukan untuk kebahagiaan dirinya sendiri, juga perfeksionis karena merasa harus sempurna, seperti dia dituntut oleh orangtuanya.
BACA JUGA: Ini Dia 5 Tanda Bahwa Kita Orangtua yang Terlalu Protektif
Cover: Freepik