Kampanye politik di lingkungan pendidikan dizinkan oleh aturan MK yang baru. Walaupun mungkin hanya SMA dan lingkungan kampus, setujukah Anda sebagai orang tua?
Kabar gembira, sebentar lagi kita akan punya presiden baru. Alih-alih bergembira karena pesta demokrasi akan segera tiba, malah lebih dominan deg-degannya. Sebab, masa-masa menjelang pilpres memang selalu menegangkan di negeri ini. Secara umum, kita belum dewasa dalam berpolitik. Hal ini terlihat dari masih mudahnya rakyat dipolarisasi, dihasut untuk punya sikap fanatisme berlebihan dengan partai atau calon pemimpin jagoannya, dibujuk dengan uang, dan dibohongi janji-janji palsu.
Baca juga: 10 Jurusan Favorit di PTN Terbaik Indonesia
Belum lama, keluar aturan baru, Mahkamah Konstitusi (MK) mengizinkan peserta pemilu berkampanye di fasilitas pemerintahan dan pendidikan selama tidak menggunakan atribut kampanye, lewat Putusan MK Nomor 65/PUU-XXI/2023.
Oke, fokus ke lingkungan pendidikan, artinya kampus-kampus hingga SMU, di situlah usia pemilih termuda berada. Menurut data BPS 2020, jumlah generasi Z kita mencapai 27,94 persen, kurang lebih 75 juta dari total populasi di Indonesia, yang mana mayoritas dari 75 juta itu akan menjadi pemilih pemula di Pilpres 2024 nanti.
Di Amerika Serikat, aturan terkait kampanye politik di sekolah memang lebih longgar, meskipun aturannya bisa sangat berbeda tiap wilayah maupun kebijakan masing-masing sekolah. Namun, secara umum, prinsip dasarnya adalah perlindungan terhadap kebebasan berbicara dan berpartisipasi dalam proses politik. Siswa sekolah di sana memiliki hak untuk menyuarakan pandangan politik mereka, dengan beberapa batasan yang diberlakukan oleh pihak sekolah tentunya.
Namun, apabila hal ini mentah-mentah mau ditiru di sini, rasanya akan lebih banyak efek negatifnya. Kenapa?
Baca juga: Biaya Pendidikan di 5 Jurusan Favorit di UI, Unair dan UGM
Alangkah lebih baik jika lembaga pemerintah atau institusi pendidikan menjadikan momentum Pilpres untuk memasukkan kurikulum pendidikan politik, tapi tugas ini jangan diberikan kepada pihak partai atau politisi yang tujuannya hanya mengambil keuntungan pribadi atau kelompoknya semata. Selama ini, sekian lama pemerintah sudah abai mengajarkan tentang nilai-nilai Pancasila di sekolah. Tidak pernah serius memberikan pelajaran sejarah. Tidak pernah mengajarkan tentang toleransi dan pemahaman tentang bhinneka tunggal ika. Tahu-tahu mau menjadikan sekolah sebagai medium kampanye dengan dalih pendidikan politik.
Untuk sampai ke sana, perlu ada fondasi dulu yang kuat. Pendidikan politik yang tepat untuk sekolah, misalnya, pelajaran sejarah bangsa, mempelajari pemikiran para tokoh pahlawan dan pendiri bangsa, gagasan-gagasan besar tentang kepemimpinan yang ideal, maupun biografi pemimpin-pemimpin besar di masa lalu. Tanpa bekal fondasi ini, kampanye hanya akan jadi ajang vote getter, dilupakan setelah tidak dibutuhkan.
Kampanye politik di lingkungan pendidikan dapat menyebabkan polarisasi di antara siswa dengan pandangan politik yang berbeda. Para siswa sudah melihat dan menyerap polarisasi ini dari para orang tua maupun orang dewasa di sekitarnya, dan sekolah yang seharusnya menjadi safe space atau ruang aman bagi mereka, sekarang akan berubah. Selain itu, polarisasi ini juga dapat mengganggu relasi sosial dan menggangu atmosfer pembelajaran untuk berdiskusi secara konstruktif dan belajar mengembangkan toleransi.
Terjadi disrupsi pada kegiatan belajar, baik akademik, ekskul, maupun berbagai aktivitas pembelajaran lainnya, yang akhirnya bisa merugikan para siswa itu sendiri.
Dalam beberapa kasus, kampanye politik di sekolah atau kampus dapat dikuasai oleh kelompok atau individu tertentu, yang dapat menghambat inklusivitas dan representasi beragam pandangan politik. Kalangan minoritas berbasis agama, etnis, atau pandangan politik yang berbeda dari kelompok mayoritas menjadi kehilangan representasi dan aspirasinya.
Kampanye politik bisa menjadi intens, berisiko friksi atau konflik, sehingga dapat mengganggu ketenangan dan lingkungan belajar yang kondusif di sekolah atau kampus.
Masih kuatnya politik identitas di sini, ‘jualan’ partai tapi bawa-bawa agama, bisa menjadi preseden buruk bagi terapan nilai-nilai Pancasila di sekolah.
Penting untuk memahami bahwa pendidikan politik di kalangan pelajar dan lingkungan sekolah adalah tugas kita bersama. Saatnya kembali ke nilai-nilai Pancasila, mengakar di lingkungan sekolah.
Jadi setuju atau tidak? Untuk saat ini sih saya belum setuju. Bagaimana dengan Anda?