Apa iya, nggak ada minus-nya buat orangtua menyekolahkan anak-anaknya di sekolah yang sama? Atau tetap saja ada nggak enaknya kalau si kakak dan si adik di sekolah yang sama?
Pertimbangan memiliih sekolah itu ada di tangan siapa? Orangtua, tentunya. Apalagi kalau jenjangnya masih TK atau SD. Kalau sudah masuk SMP atau SMA, biasanya akan ada perbincangan lanjut dengan si anak. Untuk Mommies yang anaknya lebih dari satu, ada pengaruh, nggak, sih, kalau anak masuk satu sekolah yang sama dengan kakaknya? Meski mungkin banyakan plus-nya buat orangtua, apakah demikian bagi si kakak dan si adik yang menjalaninya?
Seringkali, sebagai cara untuk pihak sekolah menjaga hubungan baik dengan kita orangtua sebagai pelanggannya (dan tentu dari segi marketing), adalah dengan menerapkan harga diskon untuk enrollment atau uang pangkal bagi siswa yang punya saudara (kakaknya) yang sudah masuk sekolah tersebut duluan. Siapa tidak senang akan hal ini? Apalagi kalau sudah sreg sama sekolah si kakak.
Selain diskon harga sekolah yang meringankan beban pengeluaran, satu yang juga jadi bahan pertimbangan memilih sekolah yang sama, khususnya bagi pihak yang in charge, apalagi kalau bukan: “Biar nggak ribet nganter jemput!” Mau siapapun yang bertugas mengantar dan menjemput anak, supir sekalipun, kalau tujuannya sama pasti akan berpengaruh baik dari segi waktu maupun bensin. “Wong yang sekolahnya sama aja kadang masih suka bikin pusing kalau jam belajarnya nggak serempak,” ujar salah satu teman saya ketika ditanyakan hal ini.
Khususnya buat si adik yang jadi anak baru, adanya si kakak di sekolah bisa jadi membuat ia merasa lebih aman dan nyaman. Tapi, biasanya ini terjadi ketika anak sudah di bangku SMP atau SMA, ya. Saya sendiri merasakannya, kok, ketika komplotan kakak-kakak kelas enggan buat “ngapai-ngapain” karena mereka adalah teman baik kakak saya. Bukan tidak mungkin “pride”-nya si kakak juga meningkat karena dia merasa adiknya mengikuti apa yang ia jalani.
Kalau usia TK dan SD, kakak beradik masih sama-sama bertumbuh sehingga kekompakannya masih bisa dijaga. Tetapi, masuk usia SMP maupun SMA, biasanya kedua anak sudah mulai menunjukkan ketertarikan masing-masing. Belum lagi tuntutan pergaulan dari teman-teman seusianya. Sehingga, umum sekali terjadi pada “ABG”, ketika dia merasa, “Duh, adek gue ngapain, sih, ikut-ikut?” atau sebaliknya, “Ah males, deh, sama kakak, mending sendiri aja di sekolah!” (saya jadi ingat scene film Wish Upon A Star jaman dulu). Kita tidak pernah bisa menjamin karakter kedua anak kita akan sama seperti sekarang, di mana mereka bisa kompak terus satu sama lain. Nggak tahunya malah sering berantem dan saingan? Bisa-bisa ada di satu sekolah malah bikin makin runyam.
Memang, sih, sebagai orangtua, kita pasti sudah melakukan riset mendalam mengenai sekolah yang kita pilih. Apakah di sekolah itu masih ada bullying, tipe siswa-siswi umumnya seperti apa, bagaimana pihak sekolah menangani kasus-kasus yang mungkin pernah terjadi, dan sebagainya. Kita sendiri juga pasti tahu betul sifat kedua anak kita. Jangan sampai, si adik yang masuk sekolah kemudian jadi merasa terancam karena teman-teman kakaknya sudah “ngincer” dirinya buat jadi bahan rundungan. Balik lagi, semua ini kembali ke karakter dan pola asuh yang kita terapkan di rumah.
Salah seorang teman ada yang bilang, bahwa ketika ia menyekolahkan anak bungsunya di sekolah yang sama dengan anak pertamanya, pihak sekolah, yakni guru-guru berkomentar yang menyinggung, seperti, “Oh, B ini adiknya A? Kok beda, ya?” Bila dilihat dari segi karakter kedua anak, mungkin kita sebagai orangtua masih bisa menerimanya. Namun, beda cerita ketika salah seorang anak memang berkebutuhan khusus atau memiliki keterbatasan fisik. Kemampuan si kakak dan si adik tentu berbeda. Bagaimanapun juga, kita tidak akan bisa merasa nyaman kalau pihak sekolah menggunakan hal tersebut sebagai perbandingan antara kedua anak kita.
Kalau Mommies, lebih sering menemukan yang mana, nih? Plus atau minus?