Kemampuan bersosialisasi pada anak remaja menjadi salah satu hal yang sering dikhawatirkan orang tua. Ini tips menurut psikolog anak!
Anak remaja dewasa ini berbeda dengan zaman kita dulu. Interaksi yang sering terjadi adalah melalui ponsel atau dunia maya. Belum lagi ditambah masa pandemi dulu yang membuat mereka semakin minim paparan untuk bersosialisasi. Tak heran semakin banyaka orang tua yang khawatir padahal ini menjadi salah satu skill penting di dunia kerja.
Baca juga: 8 Kalimat Menyakitkan yang Sering didengar Anak dari Orang tua
Vera Itabiliana Hadiwidjojo, S. Psi, Psikolog Klinis Anak dan Remaja bilang, mengembangkan keterampilan sosial dan emosional yang kuat berarti mengajari anak bagaimana memiliki hubungan yang bermakna dengan orang lain, bagaimana mengembangkan rasa empati, dan bagaimana beradaptasi dengan situasi yang sulit.
Memiliki keterampilan sosial dan berkomunikasi secara efektif akan sangat menguntungkan anak. Kesuksesan masa depan mereka sangat bergantung pada seberapa baik mereka memanfaatkan keterampilan itu saat mereka beranjak dewasa, mulai dari pergaulan, hubungan dalam keluarga, hingga karier.
– Anak terkucil dari pergaulan, sulit punya teman, atau anak cenderung djauhi karena terlalu dominan atau kurang empati.
– Anak terlihat kaku/ canggung saat berada di lingkungan sosial, di luar keluarga inti.
– Anak terbatas dalam mengembangkan diri karena lingkungan pergaulannya terbatas.
Melakukan kontak mata dengan teman bicara merupakan salah satu keterampilan sosial yang paling penting. Masalahnya, justru ini yang paling dihindari oleh para anak remaja. Gangguan telepon, rasa malu, ketidakpedulian, rendah diri atau mungkin suasana hati yang sedang tidak baik adalah alasan mengapa banyak remaja menghindari menatap mata orang lain. Berikut beberapa tip untuk membantu mereka:
Zaman berubah. Anda pasti lebih sering mendengar anak-anak menyapa kawannya dengan bilang “Hei”, “Woi” atau yang paling sopan, “Bro”. Tapi karena mereka kelak akan menjadi orang dewasa, mereka perlu meningkatkan skill sosial mereka. Apalagi saat berinteraksi dengan guru, dosen, orang tua teman mereka, tetangga, dan orang dewasa lain. Mereka perlu tahu cara yang santun menyapa orang lain dengan menyebutkan nama yang benar.
Ketika anak-anak mampu mengingat nama seseorang dan menyapa orang lain dengan nama pribadinya, itu akan membuat orang tersebut merasa istimewa dan meninggalkan kesan yang luar biasa.
Mulai dengan melatih beberapa keterampilan tanya jawab sederhana. Contoh, jika seseorang bertanya, “Apa kabarmu?”, anak harus menjawab dengan “Saya baik-baik saja. Kabarmu bagaimana?”
Contoh lain, jika seseorang bertanya, “Libur sekolah mau kemana?” Anak dapat menjawab, “Kami mau pergi ke pantai? Kamu sendiri mau liburan kemana?”
Tapi kasih tau anak juga untuk tidak melakukannya secara berlebihan. Yang penting, tunjukkan ketertarikan yang tulus.
Selain interaksi orang tua, keluarga, dan guru, anak-anak kita mungkin tidak memiliki banyak pengalaman berdialog dengan orang dewasa lain. Di awal-awal, mereka mungkin meraba-raba dan sedikit gagap, tetapi seraya waktu berjalan, keterampilan mulai terasah, dan kepercayaan diri bertambah, mereka akan lebih santai saat mengobrol dengan orang dewasa.
Ekspresi wajah dan bahasa tubuh – hal-hal yang tidak kita sampaikan secara lisan – dapat berbicara banyak tentang apa yang kita pikirkan dan rasakan. Anak tidak hanya perlu terbiasa membaca bahasa tubuh orang lain, mereka juga perlu mengingat bahwa bahasa nonverbal mereka sebenarnya banyak berbicara untuk mereka.
Kebanyakan remaja terbiasa memperkenalkan temannya dengan cara seperti ini, “Ma, kenalin, ini Lisa, teman sekelasku.” Di lingkungan nonformal, memang nggak masalah. Namun, seiring bertambahnya usia, anak remaja Anda perlu menambah beberapa keterampilan dasar “perkenalan yang tepat”.
Tunjukkan respek. Misalnya, jika si anak remaja ingin memperkenalkan teman sekolahnya kepada orang yang jauh lebih tua, dia bisa mengatakan, “Om dan Tante, ini Tommy, sahabatku”, sambil melihat ke wajah dan mata orang yang ia ajak bicara. Kemudian, berpalinglah ke temannya dan bilang, “Tommy, kenalin, ini Om dan Tante saya, Om dan Tante Kusuma.”
Ini juga harus diterapkan ketika memperkenalkan siapa pun ke orang dewasa lain seperti senior, guru, kakek, nenek, bahkan satpam komplek.
Sejujurnya, harus diakui, kebanyakan remaja bukanlah pendengar yang baik. Namun, itu bukan salah mereka mungkin karena memang tidak ada yang mengajari mereka caranya menjadi pendengar yang baik.
Untuk menjadi pendengar yang baik, anak-anak perlu diajar untuk menjauhkan dulu apa pun itu yang bisa mengganggu mereka untuk fokus menjadi pendengar yang baik. Mendengarkan untuk memahami, bukan mendengarkan untuk segera memberi tanggapan. Belajarlah menyimpan pendapat pribadi kecuali memang dimintai saran.
Hal lain dari menjadi pendengar yang baik adalah paham apa yang tidak boleh dikatakan ketika anak ingin menyampaikan sesuatu. Ingatkan anak Anda, “Jika kamu tidak memiliki sesuatu yang baik untuk dikatakan, sebaiknya diam.”
Berbicara dengan remaja yang tampaknya tidak peduli itu bikin frustrasi. Inilah alasan mereka perlu belajar bagaimana mengungkapkan empati dan simpati kepada orang lain.
Mereka juga bisa belajar dengan mendengarkan dan memperhatikan kita. Jika mereka mendengar dan melihat kita menunjukkan perhatian, kepedulian, dan kasih sayang kepada orang lain dan menunjukkan keinginan yang tulus untuk membantu, mereka akan meniru.
Seseorang cuma butuh waktu tiga detik untuk menilai kita saat pertemuan pertama. Mereka akan menilai berdasarkan penampilan, bahasa tubuh, tingkah laku, sikap, dan cara berpakaian. Begitu kesan pertama terbentuk, sangat sulit untuk mengubahnya. Kesan pertama mungkin nggak terlalu penting ketika mereka bergaul dengan yang seumuran, tetapi berpengaruh ketika mereka pergi ke perguruan tinggi, berkenalan dengan orang tua pacarnya, apalagi saat wawancara kerja.
Bersikap sopan, penuh perhatian, disiplin, rapi, dan tepat waktu perlu dilatih dari kecil karena sangat menentukan kesan pertama yang istimewa.
Jadilah contoh untuk anak setiap kali Anda berinteraksi dengan orang lain. Apakah Anda menunjukkan kepedulian dengan bertanya dan meluangkan waktu untuk mendengarkan? Apakah Anda menunjukkan empati yang tulus kepada teman dan keluarga Anda? Menjadi panutan butuh usaha dan sikap yang matang. Anak-anak akan selalu memperhatikan ucapan, terutama tindakan orang tua mereka.
Sumber artikel dari sini