Sorry, we couldn't find any article matching ''
8 Alasan Salah Untuk Bertahan di Dalam Pernikahan yang Tidak Bahagia
Apa saja alasan salah untuk bertahan di dalam pernikahan yang tidak bahagia? Ini jawabannya.
Tidak semua orang bisa dengan mudah mengambil keputusan untuk bercerai bahkan ketika ia tahu pernikahannya tidak bahagia. Terjebak dalam lingkaran keragu-raguan: “Haruskah saya bercerai?” “Bisa nggak ya pura-pura bahagia aja?’ atau “Sanggupkah nanti saya hidup tanpa suami/ istri saya?”
Mengapa seseorang begitu sulit meninggalkan pernikahannya bahkan ketika ia tahu dirinya tidak bahagia dan menderita, selama bertahun-tahun?
Ada beberapa alasan mengapa ada banyak orang yang menjalani pernikahan tak bahagia bergumul dengan keputusan untuk berpisah atau bertahan.
Baca juga: 9 Tanda Awal Pernikahan yang Akan Berakhir dengan Perceraian
8 Alasan bertahan di dalam pernikahan yang tidak bahagia
1. Anda takut …
- Membuat kesalahan dan menyesali keputusan ini.
- Menghancurkan hidup anak-anak.
- Bakal hidup sendirian selamanya!
- Biaya ekonominya sangat mahal.
- Menyakiti perasaan pasangan.
- Perubahan. “Saya nggak bahagia bersamanya, tapi di luar itu, hidup saya sangat nyaman.”
- Tidak mendapat dukungan dari orang tua, keluarga, teman-teman, termasuk mungkin takut kehilangan mertua yang baik.
- Menjadi pihak yang disalahkan karena minta bercerai, apalagi dimusuhi oleh anak-anak.
2. Merasa bersalah karena…
- tidak berusaha cukup keras mengatasi persoalan-persoalan di dalam pernikahan Anda.
- tidak mampu menepati janji pernikahan Anda.
3. Tak mau mengalami kesulitan finansial dan hidup susah
- Berat membayangkan biaya perceraian yang harus dikeluarkan.
- Bagi pihak suami yang mengalami kesulitan memenuhi kebutuhan satu rumah tangga, merasa tambah sulit jika harus membiayai dua rumah sekaligus. Alasan ini membuat orang berusaha bertahan meski rumah tangga jelas-jelas tak bahagia.
- Jika selama menikah istri tidak pernah bekerja, dia akan berpikir 1000 kali untuk berpisah meski pernikahan yang dijalani membuatnya menderita lahir batin.
4. Dikucilkan oleh lingkungan dan pandangan yang tidak mendukung perceraian
- Lingkungan akan mengucilkan wanita dengan status janda.
- Pandangan bahwa perceraian adalah aib dan dosa besar.
- Pihak yang menceraikan akan disalahkan dan dimusuhi.
- Dianggap tidak mampu menjaga kehormatan keluarga
- Tugas Anda adalah menjaga perkawinan tetap utuh, berapa pun harga yang harus dibayar.
5. Berharap pasangan berubah atau keadaan akan membaik
- Masalah akan hilang begitu saja, berulangkali mendoktrin diri sendiri bahwa Anda tidak sepenuhnya sengsara, Anda bisa mengabaikan masalahnya dan bahagia dengan bagian lain dari hidup Anda.
- Pasangan akan berubah, meninggalkan semua kebiasaan buruknya, menjadi sadar.
- Bagai api dalam sekam. Saling mengabaikan kesalahan agar rumah tangga tetap ‘damai’.
- Setelah anak-anak tumbuh besar, Anda dan pasangan berharap dapat memperbaiki hubungan.
- Terlepas dari semua usaha serta terapi pernikahan yang sudah dilakukan dan sia-sia, Anda tetap ngarep keadaan bakal berubah.
6. Anda merasa bertanggungjawab terhadap pasangan dan keluarganya
- Anda lelah tapi sudah telanjur berjanji tidak akan pernah bercerai, apa pun yang terjadi.
- Pasangan bergantung pada Anda secara emosional, mental, dan fisik.
- Pasangan mengancam akan mengakhiri hidupnya jika Anda tinggalkan.
7. Terbiasa dengan kondisi buruk meski menderita
“Iya sih dia sering bersikap kasar tapi pada akhirnya dia akan minta maaf dan kasih saya banyak hadiah.”
“Nggak apa-apa dia punya banyak pacar di luar sana, yang penting dia tetap pulang ke rumah dan bertanggung jawab sebagai ayah dan kepala keluarga.”
Anda merasa nyaman dengan hal-hal yang telanjur familier, meski sesungguhnya sangat bermasalah. Meski berulang kali diselingkuhi atau menjadi korban KDRT, Anda yakin itu terjadi akibat kesalahan Anda dan Anda layak menerima perlakuan itu.
8. Tetap bersama demi anak-anak
Terlalu banyak orang bertahan dalam pernikahan penuh penderitaan dan bahkan membahayakan demi anak, percaya bahwa keluarga yang lengkap pasti dapat menyelamatkan perkawinan. Namun, ini adalah salah satu kesalahpahaman terbesar yang dilakukan orang tua. Anak-anak memahami jauh lebih banyak daripada yang Anda yakini, salah satunya, mereka lebih suka hidup dengan 2 orang tua bahagia yang terpisah daripada 1 pasangan seatap namun selalu saling menyakiti.
Alih-alih menunjukkan kepada anak-anak seperti apa pernikahan yang tidak bahagia itu, tunjukkan kepada anak-anak bahwa mereka bisa tetap bahagia meski orang tuanya berpisah. Dan membahagiakan anak dalam berbagai kondisi adalah tanggung jawab kedua orang tua.
Bertahan dalam pernikahan atau berpisah?
Ini adalah keputusan yang diambil dengan penuh pertimbangan. Jika Anda merasa harus bertahan, ingatkan diri Anda bahwa Anda selalu punya pilihan. Jika Anda memilih untuk tetap mempertahankan pernikahan, cobalah melakukan apa pun yang Anda bisa untuk memperbaiki keadaan atau menerima bahwa ini adalah pernikahan yang telah Anda pilih dan Anda ingin bertanggung jawab, mengerahkan upaya untuk mempertahankannya.
Jika memutuskan untuk berpisah, pastikan keputusan itu tidak diambil dengan terburu-buru. Pertimbangkan matang-matang semua risiko yang harus dihadapi dan dijalani, lalu persiapkan diri sebaik mungkin. Selalu pertimbangkan mediasi, tapi jika itu juga tidak berhasil, Anda berdua harus berjuang untuk melakukan percerain yang damai dan sehat demi kebaikan anak-anak.
Cover: UnSplash
Share Article
COMMENTS