Sorry, we couldn't find any article matching ''

Bahaya Orangtua Abai Alias Denial Alias Mengecilkan Masalah Tumbuh Kembang Anak
Ada caranya supaya kita nggak jadi orangtua yang abai. Semua demi anak agar ia bisa bertumbuh kembang dengan optimal. Termasuk saat ia dewasa nanti.
Cerita sedikit dulu, deh, tentang orangtua yang denial alias mengecilkan masalah tumbuh kembang anak. Jadi pernah, nih, saya bertemu dengan seorang ayah yang sedang panik mendaftarkan anaknya ke SMP anak saya, yang kebetulan menerima anak inklusi. Dia mengaku baru menyadari (baca: menerima) gangguan tumbuh kembang anaknya. Bukan autis, sih, tapi semacam gangguan fokus, konsentrasi dan verbal.
“Selama ini saya selalu merasa, ah nggak apa-apa. Dia anak laki-laki, pasti bisa menghadapi segala masalah. Justru itu yang bikin dia kuat sebagai laki-laki sejati,” demikian dulu ia selalu berkata pada dirinya sendiri. Akhirnya apa? Karena gangguan tumbuh kembangnya tak diatasi sejak dini, di sekolah sang anak pun mengalami bully karena dianggap berbeda dengan teman-temannya yang lain. Beberapa pelajaran pun si anak mengalami kesulitan. Untungnya, meski terlambat, sang anak kini ditangani oleh ahlinya dan bersekolah di sekolah yang sesuai dengan kondisinya.
Tanda-tanda orangtua abai
Menanggapi fenomena ini, saya pun ngobrol sama mbak Kara Handali, M.Psi.,Psikolog gimana, sih, kita mengenali apakah kita ini orangtua yang abai atau bukan? Tentunya ini penting, agar setiap anak, utamanya dalam hal ini yang memiliki masalah dapat bertumbuh dengan optimal.
Terkait perkembangan anak, menurut pengalaman Kara Handali memang terdapat beberapa kemungkinan saat orang tua tampak menyangkal, alias denial, alias abai terhadap isu tumbuh kembang yang dialami anak, baik dalam aspek fisik, kemampuan berpikir, maupun sosial-emosional:
- Orangtua tidak menyadari adanya perubahan/kejanggalan dari perkembangan anak
- Orang tua menyadari ada perbedaan, namun menganggap hal tersebut sebagai hal yang wajar karena belum memiliki informasi menyeluruh mengenai isu terkait
- Orang tua menyadari ada perbedaan, namun sulit untuk menerima kondisi tersebut.
Nah, yang akan kita bahas di artikel ini adalah kemungkinan ke-3. Dengan begitu, beberapa ciri-ciri orang tua yang menyangkal berdasarkan kemungkinan ke-3, antara lain:
– Menolak atau mengalihkan pembicaraan yang menyangkut kondisi anak.
– Mengabaikan kondisi anak dan memperlakukan anak seperti tidak terjadi apapun.
– Mengecilkan kondisi anak, menganggap “Ah, dia nggak kenapa-kenapa” atau “Nanti juga beres sendiri”.
– Memaksakan kondisi anak untuk memiliki kemampuan yang sama dengan ‘yang seharusnya’ berdasarkan standar orang tua (misalnya orang tua yang memiliki anak dengan intellectual disabilities bersikeras serta menuntut anak untuk memiliki prestasi akademis setara/melebihi anak-anak yang tidak memiliki kebutuhan khusus).
Yang terjadi ketika orangtua abai kondisi anak yang butuh bantuan
Kalau sudah begini, tentu ‘kasihan’ anaknya, ya. Ada banyak hal yang akhirnya akan dialami anak jika orangtua abai, terutama untuk tumbuh kembangnya. Padahal, bila ditangani sejak dini, gangguan tersebut bisa diatasi, anakpun bertumbuh kembang dengan optimal.
Kara Handali sendiri memaparkan beberapa dampak yang mungkin terjadi ketika orang tua abai terhadap kondisi anak yang butuh bantuan:
– Apabila berkaitan dengan tumbuh kembang, maka anak mungkin mengalami keterlambatan dalam perkembangan dirinya. Misalnya saja perkembangan bahasa, fisik, atau sosial-emosional.
Hal ini tentu akan sangat memengaruhi proses belajar di sekolah, seperti sulit memahami materi pelajaran, sulit menjaga fokus, sehingga anak tidak dapat mengeluarkan potensi yang optimal.
Aspek sosial-emosional juga bisa terdampak, misalnya anak sulit mengekspresikan perasaan atau pendapat sehingga sulit dipahami teman-temannya dan membuatnya sulit beradaptasi secara sosial.
– Terkait perkembangan emosi, orang tua yang mengabaikan atau mengecilkan kondisi anak (misalnya anak yang merasa takut berlebihan, cemas berlebihan, atau sulit mengendalikan amarah) dapat membuat anak ‘belajar’ untuk mengabaikan, atau justru menekan emosinya. Akibatnya, ia pun kesulitan untuk mengelola emosi. Bila diabaikan, kesulitan ini akan terus ada hingga ia dewasa.
Baca juga: 25 Kalimat Gas Lighting Yang Bisa Bikin Mental Breakdown
Apa yang harus dilakukan agar tak jadi orangtua denial?
Pada dasarnya sikap orangtua abai atau denial ini merupakan respon ketika seseorang sulit menerima realita. Kenapa sulit? Karena rasanya memang tidak nyaman. Terutama jika orangtua sendiri, dulu sebagai anak juga tidak terbiasa memproses emosi-emosi yang tidak nyaman.
Untuk itu, Kara Handali menyarankan agar kita sebagai orangtua melihat ke dalam diri dan amati bagaimana diri ini merespon hal-hal yang kurang menyenangkan. Misalnya saja, apakah kita menerima kondisi tersebut? Atau kita justru mengabaikannya. Sering, nih, kita ngomong, “Ah sudahlah lupain aja” atau “Nggak usah dipikirin, ntar juga beres sendiri.” Nah, itu bisa jadi pertanda, lho.
Kalau kita mau jadi orangtua yang menerima kondisi anak, tentunya diawali dari menerima kondisi diri sendiri dulu. Kalau menurut Kara Handali, baiknya kita memahami dan berpulih dari luka-luka yang membuat kita ‘alergi’ pada rasa tidak nyaman.
Yang perlu diingat, kesulitan orangtua dalam menerima kondisi anak juga dapat disebabkan karena kita seringkali meletakkan keberhargaan diri pada anak. Itu sebabnya orangtua perlu ‘memisahkan’ dirinya dari anak.
Ingat, hey, orangtua! Anak bukan investasi atau prestasi, sehingga ‘keberhasilan’ dan ‘kegagalan’ anak tidak akan menambah-kurangi keberhargaan diri
Self denial nggak perlu dilawan kalau kata Kara lagi, tetapi justru perlu disadari dan diterima. Melalui penerimaan diri, kita menjadi lebih mudah untuk bertumbuh menjadi pribadi yang lebih baik.
Bagaimana jika pasangan yang denial?
Kara Handali meminta kita untuk mencoba memahami sudut pandang pasangan. Jangan langsung fokus pada fakta dan data yang kita miliki. Baiknya, nih, cari tahu apa kekhawatirannya, pendapatnya, termasuk penilaian dan pandangannya apabila anak dibawa ke dokter atau psikolog.
Kalau bisa, nih, kalau bisaaaa ajak pasangan untuk melihat konsultasi ke dokter atau psikolog sebagai kunjungan berkala yang bertujuan untuk memantau tumbuh kembang anak sehingga orangtua dapat menentukan langkah yang sesuai untuk optimalisasi potensi anak.
Biasanya, penolakan dari pasangan terjadi karena seseorang memiliki pandangan bahwa konsultasi ke dokter/psikolog disebabkan adanya ‘masalah’, padahal seperti melakukan cek darah rutin atau medical check-up, pun konsultasi wajar dilakukan dalam kondisi apapun.
Share Article


POPULAR ARTICLE


COMMENTS