Awalnya saya mempunya cita-cita mulia, namun ketika kondisi di lapangan tidak sesuai, maka saya pun berubah menjadi ibu bekerja pernah saya benci.
Mama saya adalah ibu bekerja. Beliau pernah terjun ke dunia kerja yang memiliki office hour 9 to 5, business trip selama berminggu-minggu dan membuat saya menangis setiap kali mama berangkat kerja. Saat itu, saya versi anak-anak bergumam di dalam hati, bahwa kalau saya dewasa kelak, saya nggak akan mau menjadi ibu bekerja yang sibuk ‘meninggalkan’ anaknya untuk business trip.
Fast forward ke masa kuliah, magang lalu bekerja namun belum menikah, saya masih memiliki idealisme menjadi perempuan sekaligus ibu bekerja yang mampu membagi waktu dengan sempurna, antara urusan pekerjaan dan anak. Itu pasti adalah hal yang mudah. Yah well, Fia dengan segala mimpi dan harapannya yang semanis gulali di abang-abang jualan, kan ya :D.
Lalu kemudian hadirlah anak pertama saya. Rencana indah pun saya buat. Memaksimalkan masa cuti melahirkan, bonding dengan si kecil, menyusui. Lalu kembali kerja, harus pulang on time, nggak ada tuh kongkow atau lembur. Sampai rumah, harus singkirkan gadget, dst-nya. Berhasil? Lumayan walaupun sambil terengah-engah.
Lahir anak kedua, karier meningkat, tanggung jawab bertambah besar. Dan perlahan, semua versi ibu bekerja sempurna di mata saya kala itu pelan-pelan memudar.
– Ibu bekerja yang pernah saya benci karena nyaris tidak bisa lepas dari gadget, karena kebutuhan untuk terus berkomunikasi dengan rekan kerja atau pun klien.
– Ibu bekerja yang dengan mudahnya bilang “iya nak, iya…” tanpa benar-benar mendengarkan apa yang dikatakan oleh anak-anak saya.
– Ibu bekerja yang kadang harus lembur hingga subuh ketika deadline naik cetak atau menjelang event besar perusahaan berlangsung.
– Ibu bekerja yang harus deg-degan maju mundur bicara ke anak-anak ketika harus meninggalkan mereka sementara waktu karena ada perjalanan bisnis yang wajib dilakukan.
– Ibu bekerja yang ternyata tidak bisa untuk selalu menemani anak sakit karena ada urgensi pekerjaan.
– Ibu bekerja yang kadang meminta anak-anak untuk jangan terlalu berisik ketika sedang fokus bekerja dari rumah.
– Ibu bekerja yang kadang tetap harus bekerja di akhir pekan dan melupakan sejenak waktu berkumpul bersama keluarga.
– Ibu bekerja yang kangeeen luar biasa sama anak-anaknya ketika sehabis melakukan business trip sekian hari, namun langsung merasa capek ketika bermain bersama anak yang full baterai.
– Ibu bekerja yang kadang bahagia bisa ambil cuti untuk menjemput anak pulang sekolah, namun di lain waktu tidak bisa memberikan kepastian ke anak kapan akan pulang dari kantor karena revisi yang tidak kelar-kelar.
– Ibu bekerja yang menampilkan tatapan “sssst nak, jangan ganggu mama dulu karena ada pekerjaan yang harus mama selesaikan.”
– Ibu bekerja yang kadang memberikan waktu lebih untuk anak bermain gadget agar bisa tidur siang lebih lama.
Ya, ternyata menjadi ibu bekerja yang sempurna dan mampu menyeimbangkan hidup itu susah bukan main. Dan akhirnya saya melihat kembali ke masa kecil saya yang sempat tumbuh besar di bawah pengasuhan seorang ibu bekerja. Ibu bekerja yang juga melakukan beberapa hal di atas (kecuali bagian smartphone karena dulu hanya ada telepon rumah, ahahaha).
Apakah dengan segala kesibukan mama membuat saya menjadi manusia yang tidak bahagia? Tidak terpenuhi kebutuhan emosinya? Merasa tidak lengkap menjadi seorang anak? Merasa diabaikan oleh orangtua?
Jawabannya adalah tidak.
Dengan segala kesibukan mama, meskipun ada masa ketika saya jengkel luar biasa dengan aktivitas kantornya, namun ada periode waktu ketika kami pada akhirnya sama-sama menyesuaikan diri, ketika kami sama-sama belajar memahami, bahwa mama bekerja karena ada tujuan baik, dan kami, anak-anaknya masuk ke dalam tujuan baik tersebut. Bahwa mama bekerja untuk masa depan yang lebih indah, di mana kami anak-anaknya masuk ke dalam masa depan tersebut.
Maka saya pun meyakini, bahwa saya dan anak-anak saya juga akan baik-baik saja dengan segala keterbatasan saya sebagai seorang ibu bekerja.
Mungkin hidup saya sebagai seorang ibu bekerja tidak selalu semanis gulali di abang-abang jualan, tapi kalau sepanjang usia saya hanya mencicipi rasa manis tanpa rasa asam atau bahkan pahit (sesekali), bagaimana saya bisa menjadi manusia yang tangguh dan mendidik anak-anak yang tangguh, iya nggak?
Jadi untuk sesama ibu bekerja yang tidak sempurna di luar sana, nikmati ketidak sempurnaan kita, karena dari ketidak sempurnaan ini, kita belajar banyak hal dan mengajarkan banyak hal pada anak-anak :).