Plus Minus Sekolah Homogen

Education

dewdew・01 Nov 2022

detail-thumb

Ada yang perlu diketahui dan dilakukan oleh orangtua, ketika memilih sekolah homogen sebagai tempat anak menempuh pendidikan.

Sekolah homogen, apakah itu berdasarkan gender, agama, hingga status sosial, saat ini menjadi salah satu pilihan orangtua sebagai tempat anak menempuh pendidikan. Layaknya semua hal di dunia ini, pasti ada plus minusnya, kan? Termasuk sekolah homogen. Nah, kali ini saya ngobrol-ngobrol sama mbak Farraas A. Muhdiar., M.Sc.,M.Psi.,Psikolog untuk cari tahu apa saja, sih, manfaat sekaligus konsekuensi menyekolahkan anak di sekolah homogen? Syukur-syukur bisa membantu mommies dan daddies dalam mempertimbangkan jenis sekolah seperti ini. 

Punya nilai yang sama dengan orangtua

Benefit memasukkan anak ke dalam sekolah homogen, seperti sekolah agama adalah bahwa penanaman nilai akan lebih sama dan sesuai dengan yang orangtua harapkan. Misalnya, ketika orangtua ingin menerapkan nilai-nilai agama, tentunya akan lebih mudah diberikan kepada anak ketika sekolah punya nilai yang sama. Guru-gurunya pun juga memiliki pemahaman yang sama. Ini menjadikan semuanya selaras terutama antara nilai yang ingin ditanamkan orangtua dan yang diajarkan di sekolah. Nilai ini juga yang akan menjadi lingkungan terdekat anak setiap hari, hingga pada akhirnya anak menjadi terbiasa terhadap nilai yang ingin kita ajarkan.

Pendidikan yang didapat lebih spesifik

Pengajaran yang dilakukan oleh sekolah bisa lebih spesifik dan sesuai dengan kebutuhan anak, misalnya sekolah yang homogen secara standar akademis bisa menyediakan pengajaran yang cocok untuk anak-anak dengan karakteristik yang sama. Sekolah homogen gender bisa memberikan pelajaran dan pendekatan khusus untuk siswanya. Karena siswa di sekolah menjadi lebih homogen, guru pun  dapat merancang pembelajaran dengan lebih fokus. 

Tantangan terkait toleransi

Selain manfaat, tentu ada konsekuensi saat bersekolah di sekolah homogen. Ini tak hanya berlaku bagi sekolah homogen yang agamanya sama, atau gendernya sama, tapi juga pada sekolah yang punya status sosial yang sama. Anak jadi lebih terbiasa terpapar dengan society yang sejenis, sehingga minim kesempatan untuk bisa bertoleransi dengan masyarakat yang status sosialnya berbeda dengan dirinya. 

Bukan solusi untuk masalah seksualitas anak

Untuk anak-anak yang bersekolah di sekolah homogen gender, ada yang patut diperhatikan oleh orangtua. Ada kalanya, orangtua merasa perlu memasukkan anak laki-lakinya, misalnya, ke sekolah yang isinya laki-laki semua agar anaknya terlihat lebih maskulin atau macho, terutama ketika ia melihat anak laki-lakinya memiliki sisi feminin yang dominan. Yang perlu diingat, memasukkan anak ke sekolah yang homogen terkait gender bukanlah solusi jika anak memiliki isu terkait gender atau seksualitasnya. Bisa jadi anak malah lebih merasa berbeda dengan teman-temannya dan lebih rentan mengalami bullying, atau justru tidak mendapatkan kesempatan untuk berinteraksi dengan lawan jenis, sehingga lebih bingung dengan orientasi seksualnya. 

Social skills terhadap lawan jenis perlu dilatih

Ini juga lebih banyak terjadi pada anak-anak yang bersekolah di same-sex school. Mbak Farraas sendiri beberapa kali menemukan anak-anak yang kagok saat harus berinteraksi dan berkomunikasi dengan lawan jenisnya. Hal ini disebabkan karena dalam keseharian mereka sendiri jarang terpapar dengan interaksi tersebut. Mereka jadi jarang memiliki kesempatan melatih social skills dengan lawan jenis. Jika terlalu dibatasi dan tidak dibiasakan di lingkungan lain, akan ada 2 kemungkinan. Yang pertama, anak jadi takut berinteraksi dengan lawan jenis, sehingga merasa ada jarak yang lebih besar. Yang kedua malah jadi penasaran, saking terlalu dilarang dan tak pernah ketemu setiap hari, sehingga ia justru akan semakin mencari tahu tentang lawan jenisnya tersebut.

Bisa jadi tak siap menghadapi dunia nyata 

Dunia nyata sendiri sifatnya sangat heterogen, kan, ya? Kalau dari kecil anak dibiasakan dalam lingkungan yang homogen, lalu tiba-tiba ‘nyebur’ ke dunia heterogen tanpa persiapan matang dan sebelum identitasnya tertanam kuat, tanpa diajarkan sikap-sikap kritis terhadap pilihan-pilihan yang ia hadapi, menurut mbak Farraas, sangat mungkin nilai-nilai yang sudah ditanamkan di sekolah homogen itu malah jadi lepas. Pada beberapa kasus yang ditemui mbak Farraas, anak yang sedari kecil sekolah di sekolah homogen lalu saat kuliah ke luar kota dan berada di lingkungan heterogen malah membuat ia jadi ‘telat bandel’. Hal ini disebabkan sebelumnya ia berada di lingkungan yang sangat steril dan jarang melihat perbedaan-perbedaan. Justru dia malah makin penasaran dan mencoba-coba. 

Tips untuk orangtua

Orangtua tak perlu khawatir, menurut mbak Farraas sendiri, bersekolah di sekolah homogen adalah hal yang juga baik. Sama saja dengan sekolah heterogen, kok. Namun, orangtua perlu tahu PRnya, ketika sekolah sangat homogen, ia perlu dikenalkan juga dengan dunia heterogen di luar sekolahnya, agar anak belajar bahwa berbeda itu tidak apa-apa dan bukan isyu yang besar. Contohnya ketika berinteraksi dengan lawan jenis, bukanlah suatu hal yang perlu ditakutkan atau khawatirkan, selama masih berada di dalam batasan yang aman sesuai nilai yang dianut. Bisa saja orangtua mengikutsertakan anak di lembaga bimbingan belajar yang sifatnya lebih heterogen, baik dari sisi gender, status sosial, dan lingkungan. 

Pastikan juga bahwa keputusan menyekolahkan anak di sekolah homogen adalah hal yang anak juga butuhkan atau harapkan, bukan sekadar keinginan atau harapan orangtua saja. Diskusikan dengan anak mengenai pilihan-pilihan sekolah yang tepat untuk anak. Bila perlu, konsultasikan dengan psikolog, khususnya jika anak memiliki isu tertentu. Pastikan juga apa yang anak dapatkan di sekolah dan di rumah bukan hanya diberikan sebagai doktrin secara satu arah, sehingga anak tetap mampu beradaptasi dengan baik di dunia nyata dan tetap mampu menerapkan nilai-nilai yang diajarkan saat berada di situasi lain. 

Photo by Taylor Flowe on Unsplash